Bulan Ramadhan merupakan bulan penuh berkah. Dalam bulan tersebut, kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah demi meraih rahmat dan ridha Allah.
Pada bulan ini terdapat banyak amal istimewa yang tidak kita temui pada bulan-bulan lain, seperti tarawih, zakat, dan sebagainya.
Tujuannya, tentu untuk menunjang semangat orang islam dalam beribadah. Bahkan dalam sepuluh malam terakhir bulan ini, kita dianjurkan untuk beri’tikaf dengan iming-iming lailatul qadar.
Maka, ketika memasuki Bulan Ramadhan, jamak kita temui di mushala dan masjid-masjid yang menggelar tadarus Al Qur’an hingga larut malam untuk memenuhi anjuran tersebut. Padahal, mereka yang membacanya pada hari-hari biasa saja diganjar pahala, sebagaimana firman Allah dalam Surat Faathir 29-30:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membawa kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahian dari rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-tarangan, mereka itu mengharapkan periagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. [QS. Faathir:29-30]
Pahala tersebut dengan rinci dijelaskan oleh Rasulullah melalui hadis-hadisnya. Salah satu diantaranya adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi:
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم َرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia akan mendapatkan satu kennaikan dengan huruf itu, dan satu kebaikan akan dilipagandakan menjadi sepuluh. Aku tidaklah mengatakan Alif Laam Miim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)
Itu baru di hari-hari biasa, bagaimana dengan Bulan Ramadhan.
Maka, dengan semangat berbagi kebaikan, mereka mengeraskan suara dengan speaker. Namun bagaimana hukumnya jika kegiatan tersebut justru menjadi bumerang dan mengganggu orang-orang sekitarnya? Lebih-lebih bila di lingkungan sekitarnya ada orang sakit yang notabene membutuhkan ketenangan dan keheningan?
Ibnul Arabi berpendapat bahwa mendengarkan bacaan hukumnya wajib dalam semua keadaan. Ini merujuk pada sebuah ayat dalam Surat Al A’raf ayat 204:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapatkan rahmat. [QS. Al A’raf: 204]
Meski sebagian mufassir seperti Mujahid, Sa’id bin Jubair, Atha’ dan lain-lain mengatakan bahwa ayat tersebut turun sebagai peringatan untuk mendengarkan khutbah juma’at, namun Ibnul Arabi membantahnya. Sebab, ayat Al Qur’an yang disampaikan dalam khutbah hanya sedikit, beda halnya dengan orang yang memang bertujuan murni membacanya.
Abu Zahrah berpendapat bahwa yang dimaksud “dengarkanlah” dalam ayat tersebut adalah menyelami dan memikirkan makna yang terkandung dalam ayat yang didengarnya, bukan sebatas mendengar saja. Tentu kondisi ini semakin mempersempit ruang gerak orang-orang yang mendengar bacaan Al Qur’an seperti dalam kasus diatas.
Oleh karenanya, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah pernah menegur sekelompok orang yang mengeraskan suaranya saat membaca Al Qur’an padahal beliau sedang beri’tikaf di masjid. Melihat hal itu, Rasulullah bersabda:
أَلاَ إِنّ كُلّكُمْ مُنَاجٍ رَبّهُ، فَلاَ يُؤْذِيَنّ بَعْضُكُمْ بَعضاً. وَلاَ يَرفَعُ بَعضُكُم عَلَى بَعْضٍ في الْقِرَاءَةِ أَوْ قالَ: فِي الصّلاَةِ
Setiap dari kamu adalah orang yang sedang bermunajat pada Tuhannya, maka janganlah sebagian dari kalian menyakiti yang lain. Dan janganlah kalian mengeraskan suaramu dibandingkan yang lain saat membaca Al Qur’an atau saat shalat. (HR. Abu Dawud)
Dengan hadis tersebut, Abu Dawud menunjukkan adanya larangan bagi mereka yang mengeraskan suara baik dalam shalat maupun membaca Al Qur’an jika mengganggu orang yang ada di sekitarnya. Terlebih jika mengganggu orang yang sedang sakit.
Sebab, hal itu mengganggu aktivitas mereka, sekaligus menimpakan kewajiban untuk mendengar, memahami dan memahami kandungan isi ayat. Wallahu a’lam.