Di Jakarta ada beberapa daerah yang biasa disebut sebagai kawasan kumuh. Di daerah-daerah ini biasanya tinggal berbagai ras dan jenis manusia, termasuk asal komunitas dan nasibnya. Ada bos-bos lokal, pegawai rendahan ada pemulung, ada pelacur, ada ustadz, para pendakwah dan para pengemis. Banyak di antara mereka adalah orang lemah yang hanya bisa dihargai sebagai manusia, tidak lebih.
Ada banyak di antara mereka adalah orang bodoh, tanpa akses pendidikan dan tanpa identitas administrasi. Mereka tidak bisa mengakses hukum apa pun selain hukum dagang atau uang. Padahal mereka seringkali tak punya uang sama sekali. Mereka mencari uang dengan mengandalkan kekuatan fisiknya, tidak lebih. Kadang bisa makan, kadang pun tidak.
Banyak orang pandai dan berduit di luar kawasan-kawasan ini yang tidak pernah tahu atau tidak mau tahu. Bahwa manusia-manusia jenis tanpa identitas administrasi tadi masih ada di muka bumi. Sehingga mereka hanya bicara tentang hukum administrasi, tanpa pernah menyinggung hukum kemanusiaan sama sekali.
Ke manakah orang-orang jenis ini bergantung? Tentu kepada bos-bos dan para tokoh di daerah itu, bisa ustadz, atau preman atau orang yang sekarang biasa disebut sebagai makelar kasus. Kenapa, karena mereka bisa melihat dan berinteraksi tanpa administrasi. Sedangkan pejabat adalah orang yang mensyaratkan administrasi sejak sebelum lahir.
Bila ditanyakan, dari manakah orang-orang ini lahir? Mereka lahir dari sistem peradaban orang-orang kota, penguasa dan jenis-jenis keserakahan atau ketakutan dunia lain. Ada yang lari dari paksaan sebagai pelacur. Ada yang dibuang keluarganya dan ada orang yang memang minggat menghilang dari komunitas asalnya. Berbagai hal.
Ada yang memang sengaja datang, entah sebagai pelacur, pedagang kecil atau mungkin tertambat cinta. Orang-orang ini saking lemah, bodoh dan tanpa/terputus koneksi, maka banyak yang tidak bisa mengakses kebijakan-kebijakan pemerintah kota, atau gubernur atau presiden. Misal BPJS atau puskesmas? Sedangkan KTP saja mereka tidak punya!!! Banyak pula yang tidak tahu dari mana mereka berasal, bahkan tidak kenal orang tuanya.
Lalu kenapa mereka sering tidak terlihat? Khususnya oleh para pengambil dan pelaksana kebijakan? Karena mereka tersembunyi (entah sengaja, terpaksa atau dipaksa) di balik lapis atasnya. Yakni yang masih memiliki identitas atau koneksi dan sedikit atau banyak uang cenderung berlaku jahat/nakal terhadap berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah. Misalnya para pemilik kontrakan atau bos-bos lokal di lahan-lahan kumuh/gelap/sengketa atau serobotan tak bertuan. Lapis ini biasanya terlihat cenderung kriminal.
Lapis atas ini cenderung terdidik, pandai bersiasat, memiliki uang dan memanfaatkan, memanipulasi serta mengakali berbagai kebijakan. Mereka inilah yang sering berhadapan vis a vis atau berkolaborasi dengan pelaksana kebijakan di tingkat bawah untuk keuntungan masing-masing. Kalian tahu siapa korbannya? Korbannya adalah lapis terbawah tadi, yang tidak tersentuh dan tidak bisa mengakses hukum administrasi.
Bagi lapis terbawah ini, pahlawan mereka adalah lapis atasnya. Lapis yang cenderung manipulatif dan mengakali serta berhadapan langsung dengan administrasi tadi. Kenapa mereka menjadi pahlawan bagi lapis terbawah? Karena mereka mampu berinteraksi dengan lapis terbawah tanpa administrasi. Mereka mampu meloby aparat terendah agar memberikan fasilitas ilegal bagi keduanya. Artinya fasilitas ilegal ini juha dinikmati oleh lapis terbawah dengan perantara lapis atasnya. Misal listrik dan air bersih. Mereka bisa meloby agar listrik dan air bisa masuk ke kawasan yang tidak ada di dalam peta kelurahan, apalagi petanya gubernur. Demikian pun dengan keamanan, mereka bisa melobi koramil polsek bahkan hingga polres dan kodim untuk menerjunkan personel menjamin keamanan kegiatannya.
Kesimpulannya, setiap pejabat yang masih mampu melihat mereka sebagai manusia dan mengabaikan tertib administrasi serta memberlakukan hukum kemanusiaan, kendati menyalahi administrasi, maka mereka masih dianggap baik oleh lapisan terbawah. Sedangkan pejabat/penguasa yang sama sekali mengabaikan hukum kemanusiaan dengan berdalih pada hukum administrasi adalah sejahat-jahat manusia. Karena pejabat model ini bahkan meniadakan satu-satunya hukum yang mampu di akses oleh orang-orang lapis terbawah ini. Lapis yang sudah tidak tersentuh oleh administrasi negara.
Kenapa? Karena dengan menggunakan tertib administrasi sebagai satu-satunya pendekatan, sesungguhnya pada kenyataannya mereka sedang mendustakan sebuah manipulasi yang terjadi pada saat bersamaan.
Contoh : Saya pernah bertanya pada seorang ustadzah, istri pak ustadz yang pernah tinggal di daerah kumuh. Kenapa begitu membenci seorang Gubernur?
Jawabnya: Karena dia menyebabkan kematian (untuk tidak mengatakan membunuh) beberapa jamaah miskinnya (jamaah yang tidak bisa mengakses administrasi tadi). Dia menggusur tanpa sama sekali memberi uang kerahiman. Diganti RUSUN? darimana bisa mengakses rusun? KTP saja tidak punya.
Salah seorang jamaah, seorang buruh cuci pakaian menabung bertahun-tahun untuk untuk membeli sepetak kontrakan yang kemudian digusur tanpa ampun, tanpa ganti apa pun. Saat petakan itu baru ditempati 3 bulan sejak dibelinya.
Dua bulan sejak penggusuran, jamaahnya ini lalu meninggal. “Mungkin terlalu kepikiran,” kata ustadzah itu.
“Lahan itu kini dikuasai PT yang dijaga oleh aparat bersenjata. Dulu bapak tentara itu menjaga kita. Sekarang dia mengusir kita dan membela PT yang menguasai lahan yang dulu kita tempati. Dan dialah yang menyebabkan itu semua terjadi.”
Dari kacamata dengan sudut pandang masyarakat uncivilized. Biasanya dari dulu penggusuran selalu ada uang kerahiman (yang tentu saja sangat dikorup). Tapi bagi mereka yang sangat bawah masih dapat beberapa lembar ratus ribu untuk makan sehari dua hari dan mencari pindah kontrakan itu sesuatu.
Di tempat-tempat model begini, apalagi yang lebih parah. Administrasi pemerintahan adalah salah satu kendala, ditambah bila cenderung korup.
Banyak anak-anak terus terlahir di luar administrasi pemerintah. Ini memang masalah kemanusiaan, bukan sekedar masalah pemerintahan.
Konteks perkotaan, tata administrasi pemerintahan adalah kelurahan bukan kepala desa. Pejabat sering berganti orang dari luar sesering penduduk yang datang dan pergi entah dari mana dan kemana.
Tahun 2004-an. Waktu ngaji. Saya tanya ke GUSDUR, Gus Kenapa GusDur ngurusin PKB saja? Bukankah banyak di antara warga NU adalah grasroot yang jauh dari akses kekuasaan elit?
Jawab GusDur, “Anda itu tahu apa tentang Grasroot. Saya ini sudah 35 tahun berjuang bersama grasroot. ……. Bahwa apa yang kita perjuangan untuk masyarakat bawah itu harus juga diperjuangkan di atas. Karena dari sanalah kita bisa memperjuangkan masyarakat bawah secara lebih luas.”
Di kawasan-kawasan kumuh itu, di tempat-tempat yang tak masuk peta pemerintah, masjid, gereja, meja kasino, bar dan bilik pelacuran dapat hidup berdampingan tanpa saling mengganggu. Di sana hanya berlaku satu hukum selain hukum dagang: Hukum Kemanusiaan.