Hukum Jual-Beli Barang KW

Hukum Jual-Beli Barang KW

Hukum Jual-Beli Barang KW

Membeli barang KW memiliki daya tarik tersendiri. Selain berharga murah, kualitas yang ditawarkan pun tidak berbeda jauh dari barang orisinil. Bahkan, barang KW terkadang lebih diminati konsumen, terutama konsumen dengan kantong pas-pasam.

Terkadang hal ini juga disebabkan sulitnya mendapatkan produk orisinil atau harganya yang terlampau mahal. Terlepas dari itu semua, sebenarnya bagaimanakah hukum melakukan jual-beli barang KW?

Secara garis besar pembahasan dalam artikel ini akan dibagi menjadi dua poin yakni memproduksi barang KW (untuk kemudian dijual) dan juga hukum jual belinya.

Sebelumnya, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan barang KW. Kata “KW” merujuk pada kata kualitas dalam KBBI. Istilah “KW” oleh orang Indonesia telah dialihartikan sebagai istilah dari barang imitasi atau tiruan. Dalam arti, barang yang secara visual identik dengan barang orisinil, namun tidak dibuat oleh pembuat aslinya.

Berbeda dengan barang OEM (Original Equipment Manufacturer) yakni produk buatan pihak ketiga yang identik dengan orisinil, namun telah mendapatkan lisensi dari produsen asli. Tentu, untuk kasus yang demikian sah-sah saja dilakukan.

Lantas, bagaimanakah hukum memproduksi barang KW untuk kemudian dijual?

Salah satu dari lima syarat barang boleh diperjual-belikan adalah kepemilikan yang sempurna dari seorang penjual. Jadi yang penting dzatiyyah benda itu adalah miliknya, maka ia bebas memperdagangkannya.

Fikih klasik belum mengenal hak kekayaan intelektual ataupun merek dagang. Maka cukup sulit menjawab permasalahan ini dengan menggunakan referensi kitab salaf secara sarih.

Namun demikian, kita tetap bisa menghukumi hal tersebut melalui nilai-nilai universal dari teks-teks yang telah dirumuskan oleh para ulama salaf. Itu juga yang dilakukan oleh Syaikh Dr. Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami-nya (J. 7 h. 103) dalam menyikapi kasus ini:

الاسم التجاري، والعنوان التجاري، والعلامة التجارية، والتأليف والاختراع أو الابتكار هي حقوق خاصة لأصحابها، أصبح لها في العرف المعاصر قيمة مالية معتبرة لتمول الناس لها. وهذه الحقوق يعتد بها شرعاً فلا يجوز الاعتداء عليها.

“Merek dagang, logo, karangan, inovasi yang orisinil, dan paten penemuan merupakan hak-hak yang spesifik bagi pemiliknya. Yang dalam era ini ia telah memiliki nilai komersil yang diakui sebab publik menganggapnya demikian. Hak yang semacam ini diakui oleh syariat dan tidak boleh dilanggar.”

Di bagian lain (J. 4, h. 386) beliau menjelaskan,

أما حق المؤلف الذي يدخل تحت عنوان قانوني جديد وهو الحق الأدبي فهو حق مصون في تقديري شرعاً على أساس قاعدة الاستصلاح أو المصلحة المرسلة ( وهي الأوصاف التي تلائم تصرفات الشرع ومقاصده، ولكن لم يشهد لها دليل معين من الشرع بالاعتبار أو الإلغاء،. والمؤلف قد بذل جهداً كبيراً في إعداد مؤلْفه، فيكون أحق الناس به، سواء فيما يمثل الجانب المادي: وهوالفائدة المادية التي يستفيدها من عمله، أو الجانب المعنوي: وهو نسبة العمل إليه. وبناء عليه يعتبر إعادة طبع الكتاب أو تصويره اعتداء على حق المؤلف، أي أنه معصية موجبة للإثم شرعاً، وسرقة موجبة لضمان حق المؤلف في مصادرة النسخ المطبوعة عدواناً وظلماً، وتعويضه عن الضرر الأدبي الذي أصابه

“Adapun hak seorang pengarang yang terhimpun dalam undang-undang kekinian adalah hak yang dijaga oleh syariat yang telah sesuai dengan kaidah maslahat. Ia telah sesuai dengan sikap-sikap syariat dan tujuan-tujuannya meski tidak ada dalil yang khusus tentangnya.

Adapun seorang pengarang, ia telah berusaha keras dalam menyusun karangannya. Maka ia adalah orang yang paling berhak dengannya, baik secara fisik maupun non-fisik. Maka dari itu, mencetak ulang sebuah karya tanpa seizin pengarang adalah sebuah maksiat yang berdosa, pencurian yang mengharuskan ganti rugi.”

Dari dua referensi di atas sudah cukup kuat untuk menyimpulkan bahwa meniru atau memalsukan sebuah produk hukumnya adalah tidak boleh. Sebab ia telah merugikan orang yang memiliki hak. Terkecuali, jika ada dugaan ridha (kerelaan) dari produsen asli, maka hukumnya boleh.

Lantas, bagaimana hukum memperjualbelikan barang tersebut?

Sudah disinggung di atas bahwa syarat suatu benda boleh diperjualbelikan adalah kepemilikan sendiri secara sempurna. Maka, meski barang tersebut tiruan namun merupakan barang miliknya sendiri maka jual-belinya sah, namun dihukumi haram sebab jual beli itu adalah jual beli yang menimbulkan mudarat pada orang lain. Maka walaupun transaksinya haram, namun kita dapat memiliki barang tersebut.

Bagaimana bisa sebuah jual-beli dihukumi haram namun tetap sah?

Dalam kaidah ushul fikih keharaman dalam jual beli dibedakan menjadi dua yakni keharaman yang disebabkan faktor internal dan keharaman yang disebabkan faktor eksternal.

Keharaman yang disebabkan faktor internal, selain menimbulkan hukum haram juga akan bisa membuat transaksi jual beli tidak sah (batal), seperti menjual barang hasil curian atau menjual barang yang najis.

Sedangkan keharaman yang disebabkan faktor eksternal, maka transaksi dihukumi haram namun tetap sah, seperti jual beli yang dilakukan pada saat salat Jumat.

Dalam kasus ini pun demikian, kaharaman melakukan jual beli barang KW bukanlah karena barangnya yang haram namun karena akan menimbulkan mudarat (kerugian) bagi orang lain (produsen asli).

Namun, keharaman di sini akan hilang jika ada dugaan kuat terdapat kerelaan (ridha) dari pemilik hak atau saat membeli kita tidak tahu bahwa itu adalah barang KW.

Walaupun begitu, Undang-undang di Indonesia mengancam pelaku pembuatan dan penjualan barang KW dengan hukuman satu tahun penjara atau denda Rp 200 juta sesuai Pasal 94 ayat (1) UU No 15 tahun 2001 tentang Merek.

Wallahu a’lam.