Hukum Datang Ke Gereja dalam Perayaan Natal

Hukum Datang Ke Gereja dalam Perayaan Natal

Hukum Datang Ke Gereja dalam Perayaan Natal

Bagi orang Kristen dan Katolik, Natal adalah perayaan kebahagiaan atas lahirnya Isa al-Masih Sang Juru Selamat. Keyakinan Kristen dan Katolik atas Isa tentu berbeda dengan iman Islam terhadapnya. Kendati berbeda, ketiga agama ini sama-sama meletakkan Isa sebagai tokoh penting dalam perjalanan sejarah agama.

Tulisan ini tidak akan membahas perbedaan ketiga agama tersebut dalam memandang Isa, karena perbedaan dalam pemahaman dan keyakinan agama atasnya tidak hanya terjadi di dalam ketiga agama tersebut, melainkan di internal masing-masing agama itu sendiri ada banyak perbedaan pemahaman. Yang hendak ditegaskan di sini, Natal sebagai perayaan kebahagiaan yang dilakukan umat Kristen dan Katolik apakah seorang muslim boleh “menyambanginya” atau datang ke gerejanya untuk menyampaikan ucapan selamat (tahni`ah)?

Hukum asal datang ke gereja menurut Izzuddin seperti dikutip Syamsuddin Asy-Syirbini (w. 977 H), pakar fikih dari madzhab Syafi’i dalam kitabnya, Mughni al-Muhtaj, hukumnya diperbolehkan apabila pemilik gereja mengizinkannya. Pendapat ini oleh asy-Syirbini diberi catatan apabila di dalam gerejanya tidak ada gambar (shurah). (Asy-Syirbini, 1994: VI, 78).

Manshur bin Yunus al-Bahuti (w. 1051), pakar fikih dari madzhab Hanbali, dalam karyanya, Kasysyafu al-Qina’ ‘an Matni al-Iqna’, mengatakan:

وَيُبَاحُ دُخُولُ الْبِيَعِ وَ دُخُولُ الْكَنَائِسِ الَّتِي لَا صُوَرَ فِيهَا، وَ تُبَاحُ الصَّلَاةُ فِيهَا إذَا كَانَتْ نَظِيفَةً

“(Seorang muslim) diperbolehkan masuk ke dalam sinagog dan gereja yang di dalamnya tidak ada gambar. Juga (seorang muslim) diperbolehkan shalat di dalamnya apabila tempatnya suci.” (Al-Bahuti al-Hanbali, tt: I, 293).

Sedangkan apabila di dalam sinagog atau gereja terdapat gambar, hukum masuk ke gereja dan shalat di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan pakar hukum Islam madzhab Hanbali. Satu pendapat mengatakan haram, pendapat kedua makruh (boleh, tapi lebih baik tidak dilakukan), pendapat ketiga memperbolehkannya (jawaz). Pendapat ketiga ini berdasarkan hadis yang menginformasikan Nabi Muhammad pernah melakukan shalat di dalam Ka’bah yang saat itu di dinding dan sekitarnya banyak gambar dan patung.

Secara umum para fuqaha` dari berbagai madzhab fikih memperbolehkan seorang muslim masuk ke dalam gereja. Hanya saja masing-masing dari para ulama ada yang memberikan catatan apabila di dalam gerejanya tidak ada gambar, ada yang melarang apabila tujuannya untuk shalat di dalamnya karena gereja dianggap sebagai tempat najis, ada juga yang tidak memperbolehkan apabila tujuannya untuk makan karena makanan gereja dianggap haram, dan sejumlah catatan lainnya yang bersifat sekunder, yakni bukan hukum asal dari masuk ke gereja itu sendiri. (Al-Qurthubi, Al-Bayan wa at-Tahshil, 1988: I, 225, 464).

Lalu bagaimana jika datang ke gereja dengan tujuan untuk menyampaikan “tahni`ah” atau mengucapkan selamat Natal? Jika mengacu pada ajaran Islam yang memerintahkan perlunya berbuat baik (husnu al-khuluq) kepada non muslim sebagaimana tersurat dalam QS. Al-Mumtahanah 8 maka diperbolehkan. Terlebih bagi para tokoh agama atau pejabat pemerintah yang punya tanggungjawab lebih dalam menjaga persaudaraan lintas agama di antara sesama anak bangsa ini, tentu lebih dianjurkan.

Datang ke gereja untuk menyampaikan “tahni`ah” bukan berarti mengikuti ritual keagamaan umat Kristen atau Katolik. Di dalam kedua agama ini sebagaimana dalam agama-agama lainnya, di dalam hari raya ada acara ritual (kebaktian atau ibadah) dan ada acara-acara yang bernilai tradisi (adat) atau dalam Islam Indonesia katakanlah seperti halal bihalal atau seremoni kebudayaan lainnya.

Datang ke gereja dalam perayaan Natal di sini maksudnya acara yang bersifat non ibadah, meski jika seorang muslim mengikuti ibadahnya orang Kristen atau Katolik juga tidak semata-mata menjadi Kristen atau Katolik. Karena untuk menjadi Kristen tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan, tapi harus melalui pembaptisan dan prosesi lainnya. Persoalan ini sama sebagaimana orang Kristen atau Katolik tidak serta merta menjadi muslim hanya gara-gara melakukan gerakan seperti shalat. Karena untuk menjadi muslim harus bersaksi kepada Allah dan utusannya (syahadatain), mengimani konsep ketuhanan, kitab suci dan yang lainnya.