Pangan adalah salah satu kebutuhan primer manusia. Kebutuhan manusia terhadap pangan adalah kebutuhan yang pasti dan berlangsung saban hari. Tanpanya, manusia akan terancam keberlangsungan hidupnya. Meski begitu, aktivitas makan hendaknya selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas apa yang dimakan, dan yang terpenting adalah untuk apa makan itu dilakukan.
Syaikh Nawawi Banten dalam kitab Maraqil ‘Ubudiyyah, sebagaimana yang ia kutip dari Mandzumah Ibni Ma’ad, menjelaskan bahwa aktivitas makan yang dilakukan manusia memiliki tujuh tahapan dan kesemuanya memiliki hukum masing-masing, yang mana empat tahapan pertama berkaitan dengan tujuan makan itu dilakukan dan tiga yang terakhir berkaitan dengan seberapa banyak makanan yang masuk ke dalam perut.
Tahapan pertama: makan sebagai sarana melangsungkan kehidupan
Makan dengan tujuan seperti ini adalah makan yang memang harus dan tidak bisa tidak. Jika seseorang tidak makan dalam arti ini, maka ia akan terancam keberlangsuangam hidupnya (mati). Sebagaimamna kita ketahui, salah satu dari maqashid al-syariah (tujuan dari didirikannya syariat agama) adalah untuk hifdz al-nafs, menjaga jiwa. Oleh karenanya, hukum makan pada tahapan ini adalah wajib.
Tahapan kedua, makan agar mampu melaksanakan ibadah wajib
Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan, “maa laa yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib”. Sesuatu yang menjadi penyempurna terhadap satu hal yang wajib maka hukumnya wajib. Dalam menjalankan ibadah shalat, misalnya, seseorang jelas harus bertenaga. Dan salah satu sumber tenaga adalah denagn adanya asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh (makan). Maka, hukum mengkonsumsi makanan dengan tujuan seperti ini adalah wajib.
Tahapan ketiga, makan agar bisa melakukan ibadah sunnah
Sebagaimana diketahui bersama, definisi sunnah adalah bila dikerjakan mendapat pahala dan jika tidak dikerjakan, maka tak apa-apa. Oleh karenanya, mengkonsumi makanan dengan tujuan mengerjakan hal-hal sunnah adalah juga dihukumi sunnah. Misalnya, makan agar kuat melakukan shalat dhuha, makan agar kuat wiridan, dan lain-lain.
Tahapan keempat, makan agar mampu bekerja dan mencari ilmu
Syaikh Nawawi tidak menjelasan hukumnnya. Ia hanya menyebut bahwa makan yanng demikian dan jika kenyang, maka disebut “kenyang yang syar’i”. Agaknya tidak terlalu berlebihan jika makan pada tahapan ini berhukum wajib, mengingat belajar dan bekerja adalah salah satu yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim.
(Bagaimana jika makan yang dilakukan bertujuan agar kuat dalam melakukan kemaksiatan? Jika dilihat dari ulasan di atas, maka makan yang demikian dihukumi haram)
Tahapan kelima, makan yang mengenyangkan sepertiga perut
Makan pada tahapan ini adalah yang biasa dilakukan manusia. Hukum dari makan tipe ini adalah tidak makruh (boleh, pen.), dengan catatan, bila yang dimakan adalah makanannya miliki sendiri. Bagaimana jika yang dimakan milik orang lain? Menurut al-Qurafi hukumnya haram, kecuali bila sang pemilik makanan itu mengizinkan (maka tidak haram).
Tahapan keenam, makan yang mengenyangkan lebih sepertiga perut
Makan pada tahapan ini adalah makan yang paling umum dilakukan oleh orang kebanyakan dan memiliki hukum makruh (lebih baik ditinggalkan). Apa pasal? Karena makan yang kenyangnya sampai pada level ini akan membuat badan berat untuk beraktifitas dan menyebabkan kantuk. Syaikh Nawawi tidak menyebutkan apa batasan “lebih dari sepertiga perut” itu. Namun agaknya ini akan terjawab pada bahasan di bawah ini.
Tahapan ketujuh, makan melebihi tingkatan sebelumnya
Makan pada tahapan terakhir ini adalah makan yang lebih dari sebelumnya. Apa batasannya? Batasannya adalah ketika ketika sampai membahayakan diri. Orang yang selera makannya sudah pada level ini, maka ia disebut seorang yang rakus. Juga, dari sini terjawab apa batasan makan pada tahapan keenam adalah kenyang yang tidak sampai membahayakan diri.
Walhasil, hukum makan tergantung pada niat/tujuannya, kuantitas yang dimakan, dan dampak yang akan ditimbulkannya. Makan yang diperbolehkan adalah makan yang bertujuan baik, jumlah yang dimakan tidak berlebihan dan tidak memabayakan diri. Wallahu a’lam