)Guru Besar Hukum Islam abad 19 M Muhammad Khudhari Bek menulis buku bagus yang memaparkan sejarah bagaimana sebuah hukum Islam diproduksi di masa turunnya Al-Quran. Di buku ini Khudhari Bek mengatakan bahwa Al-Quran di banyak ayat menjelaskan dua sebab yang mendorong umat Islam harus berperang. (silakan baca: Hukum Berjihad bagi Perempuan: Bagian 1).
Pertama, pembelaan diri dari kezaliman pasukan kafir. Kedua, pembelaan dakwah dari upaya fisik pihak-pihak kafir yang memaksa orang beriman meninggalkan Islam. (Lihat Muhammad Khudari Bek, Tarikh Tasyri’ Al-Islami, Darul Fikr, Beirut, halaman 35, 1995).
Lalu apakah ada lagi ketentuan lain sebelum seseorang memutuskan untuk berjuang di jalan Allah?
Syekh Wahbah Az-Zuhaily dengan eksplisit menyebut perang sepenuhnya berdasarkan pertimbangan presiden sebagai simbol negara. Rakyat harus menaati pertimbangan presiden terkait perang. (Lihat Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz 6 halaman 419, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985).
Dari sejumlah keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa putusan untuk berjuang di jalan Allah tidak dibenarkan atas inisiatif pribadi, pandangan suatu kelompok masyarakat, atau pandangan-pandangan subjektif lainnya. Putusan untuk menjadi relawan yang berjuang di jalan Allah harus memerhatikan rambu-rambu terkait jihad di jalan Allah seperti uraian di atas.
Bentuk Lain Jihad di Jalan Allah
Islam agama yang sangat luas. Ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW tidak bisa disempitkan. Karenanya jihad sebagai perjuangan di jalan Allah tidak mengambil bentuk tunggal, perang. Jihad bisa mengambil banyak bentuk.
Dalam karyanya, Kiai Afif memberikan catatan kaki pada judul bab “jihad” dengan kata “qitali”, jihad bermakna perang. Dengan kategori jihad qitali, Kiai Afif mengisyaratkan adanya kategori “jihad ghairu qitali”, jihad yang bukan perang. Artinya selain perang, lapangan jihad lainnya masih terbuka lebar dan menunggu partisipasi umat Islam laki-laki dan perempuan.
Sahabat Aisyah RA pernah ditanya soal jihad perempuan. Ia menjawab, “Jihad perempuan itu adalah menunaikan ibadah haji.” (Lihat Muhammad Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, 593-594, Darul Basyair, 1999).
Mengapa perempuan tidak diwajibkan jihad perang? Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyatakan bahwa waktu perempuan sudah cukup untuk berkhidmah kepada suami.
Dari sini, kita bisa berkata bahwa Islam membuka seluas-luasnya pelbagai bentuk lapangan jihad selain perang untuk perempuan. Di sini kesempatan bagi perempuan terbuka luas dan membutuhkan pengorbanan yang tidak ringan.
Karenanya sebuah kekeliruan besar ketika seorang perempuan memutuskan untuk meninggalkan suami lalu menggabungkan diri dengan gerakan yang diakui sepihak sebagai jihad qitali. Ulama justru memandang putusan itu sebagai bentuk nusyuz (durhaka) istri terhadap suami.
Imam Nawawi, salah seorang pemuka fikih madzhab Syafi’i menyebutkan sejumlah praktik durhaka istri terhadap suami. “Keluar dari rumah, menolak tinggal di rumah, menolak untuk bersedap-sedapan dengan suami di mana upaya suami membujuk istrinya kembali taat tidak membuahkan hasil karena penolakan istri, sudah cukup menjadi dakwaan atas kedurhakaan istri.” (Lihat Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa ‘Umadatul Muftiyin, Darul Fikr, Beirut, juz 6, halaman 347, 2005).
Baik juga Penulis mengutip peta jihad yang dikemukakan Rais Syuriyah PBNU KH Masdar F Mas’udi. Dalam wawancara khusus dengan Penulis, Kiai Masdar mengatakan, “Perang adalah short term jihad. Perang itu perjuangan jangka pendek ketika perdamaian tidak bisa diwujudkan. Tetapi long term jihad (perjuangan jangka panjang) ini yang menjadi tujuan risalah Nabi Muhammad SAW.”
Short term jihad, kata Kiai Masdar, hanya dibenarkan pada posisi bertahan, bukan menyerang lawan. Sedangkan long term jihad membutuhkan perencanaan yang matang karena perjuangan ini berdurasi panjang tak terbatas.
Kiai Masdar menyebut gerakan keadilan, perjuangan kesejahteraan, gerakan toleransi beragama, perbaikan pendidikan, peningkatan gizi, gerakan persaudaraan, gerakan akhlaq, gerakan kesehatan, gerakan pencerahan, gerakan menjaga lingkungan hidup sebagai long term jihad.
Tantangan ke depan adalah bagaimana agar fenomena di atas tidak terulang bagi para istri dan juga suami? Di sinilah para pemuka agama dan juga umat Islam perlu melakukan long term jihad. []
Alhafiz Kurniawan adalah pengasuh rubrik ubudiyah di NU Online.