Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis Saat Lebaran

Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis Saat Lebaran

Berjabat tangan dengan lawan jenis saat lebaran, bagaimana ya?

Hukum Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis Saat Lebaran

Kerkunjung ke rumah kerabat atau tetangga merupakan tradisi yang lumrah dilakukan di hari raya. Selepas melaksanakan shalat id, setiap orang akan bersilaturrahmi untuk saling bermaafan, bersuka cita, dan mendoakan satu sama lain, yang biasanya dilakukan dengan berjabat tangan terlebih dahulu untuk menunjukkan hubungan persaudaraan yang erat.

Tentang anjuran untuk berjabat tangan telah disebutkan dalam hadits:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

Artinya: “Tidaklah dua pribadi muslim yang bertemu, lantas saling bersalaman, kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah SWT sebelum mereka berpisah.” (HR. at-Tirmidzi)

Akan tetapi bagaimana bila kita mengunjungi seseorang yang merupakan lawan jenis, bolehkah berjabat tangan dengan mereka?

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwa tidak diperbolehkan untuk berjabat tangan dengan lawan jenis selain mahram. Sebagaimana riwayat dari Aisyah R.A yang menjelaskan jika Nabi tidak pernah bersalaman dengan lawan jenis kecuali dengan istri dan putrinya.

أَخْبَرَناَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ أَخْبَرَ ناَ عَبْدُ الرَّزَّاقْ عَنْ مُعَمَّرْ عَنِ الزُّهْرِيْ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قالت مَا مَسَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ قَطٌّ إِلاَّ امْرَأَةً يَمْلِكُهَا

“Dari Aisyah berkata: Rasulullah tidak pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan, kecuali perempuan yang dimilikinya”.

Juga ditegaskan dalam hadits lain:

إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita.” (diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan an-Nasa’i)

Sedangkan sebagian ulama’ yang lain menyatakan boleh untuk berjabat tangan dengan lawan jenis dengan syarat tidak ada syahwat, aman dari fitnah. Sebagaimana pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tukhfah al-Mukhtaj fi Syarkhi al-Minhaj:

قَالَ الْأَذْرَعِيُّ وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَاهِقَ كَالْبَالِغِ نَاظِرًا أَوْ مَنْظُورًا،وَيَجُوزُ لِلرَّجُلِ دَلْكُ فَخِذِ الرَّجُلِ بِشَرْطِ حَائِلٍ وَأَمْنِ فِتْنَةٍ وَأُخِذَ مِنْهُ حِلُّ مُصَافَحَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ مَعَ ذَيْنِك وَأَفْهَمَ تَخْصِيصُهُ الْحِلَّ مَعَهُمَا بِالْمُصَافَحَةِ حُرْمَةَ مَسِّ غَيْرِ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ وَلَوْ مَعَ أَمْنِ الْفِتْنَةِ وَعَدَمِ الشَّهْوَةِ

 

Menurut Imam al-Adzro’i “Seorang laki-laki boleh memijit paha laki-laki lain dengan syarat terdapat sebuah penutup yang menghalanginya, dan dipastikan aman dari fitnah”. Dan dari pendapat Imam al-adzro’i itulah diambil hukum bahwa berjabat tangan antara kaum laki-laki dengan perempuan lain adalah boleh dengan syarat dengan adanya hajat (untuk penghormatan), dan harus menggunakan perantara satir (kaos tangan) walaupun sudah aman dari fitnah dan sudah tidak adanya syahwat.”

Jadi, tidak perlu lagi memperpanjang perdebatan ini karena ulama juga berbeda pendapat tentang. Tinggal bagaimana kita bijak bersikap dan terus silaturrahim, mumpung hari raya.