Salah satu larangan bagi orang yang sedang berpuasa pada bulan Ramadlan yaitu bersetubuh atau jima’. Apabila seseorang melakukannya maka puasanya batal dan ia harus mengqadla serta membayar kafarat (puasa selama dua bulan berturut-turut selain hari mengqadla). Kewajiban membayar kafarat dibebankan kepada suami, bukan istri yang menjadi pasangan jima’-nya.
Lalu bagaimana dengan hukum bersetubuh bagi orang yang mendapatkan keringanan (rukhshah) tidak berpuasa seperti musafir (orang yang bepergian) dan orang sakit? Bagaimana hukum jima’ bagi orang yang sudah membatalkan puasanya dengan makan atau minum terlebih dahulu?
Musafir dan orang yang sedang sakit boleh bersetubuh pada siang Ramadlan meski ia belum makan atau minum (belum membatalkan puasanya), juga meski ia tidak berniat mengambil rukhshah atau keringanan dalam beragama ini.
Abu al-Husain Yahya asy-Syafi‘i (w. 558 H) dalam kitabnya, Al-Bayan fi Madzhab al-Imam asy-Syafi‘i menyatakan:
إِذَا نَوَى الْمُسَافِرُ الصَّوْمَ، وَقُلْنَا: يَجُوْزُ لَهُ الْإِفْطَارُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ فَإِنْ أَفْطَرَ بِالْجِمَاعِ مُتَرَخِّصًا قَضَى الصَّوْمَ، وَلَا كَفَارَةَ عَلَيْهِ
“Jika orang yang bepergian (musafir) niat berpuasa, maka pada hari itu ia boleh membatalkan puasanya. Apabila ia membatalkannya dengan bersetubuh karena memanfaatkan rukhshah atau keringanan dalam berislam, maka ia cukup mengqadla puasa saja, tidak perlu membayar kafarat.” (2000: III, 517).
Syamsuddin asy-Syirbini (w. 977 H) dalam karyanya, Al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’ memberikan penjelasan bahwa apabila orang yang berpuasa pada siang Ramadlan membatalkan puasanya dengan selain jima’, misalkan dengan makan atau minum, lalu melakukan hubungan suami istri maka setelah Ramadlan ia punya kewajiban mengqadla puasanya saja, tidak membayar kafarat. Demikian juga dengan orang yang sedang sakit dan musafir meski tidak berniat mengambil rukhshah. (2003: I, 483).
Kendati demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa orang yang membatalkan puasa tanpa ada “udzur” (alasan yang diperbolehkan syariat) menurut kesepakatan pakar fikih (ijma’ al-‘ulama’) hukumnya dosa, sedangkan membatalkan puasa karena ada ‘udzur tidak berdosa meski dibatalkannya dengan bersenggama.