Suatu ketika saya berkunjung ke rumah seorang Kristen Tionghoa di Pamekasan, Madura. Panggil saja namanya Om Johan. Umurnya 80 tahun lebih, usia yang sudah sangat sepuh, tapi ingatan dan cara bicaranya masih terlihat gagah. Saat kami ngobrol, dia ditemani sang istri, Tante Ret, yang sudah berusia 72 tahun. Saya datang untuk bertanya banyak hal seputar sejarah perkembangan agama Katolik di Pamekasan dan tentang seseorang yang telah berjasa menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Madura.
Berbincang dengan mereka berdua sangat mengasyikkan. Lazimnya orang-orang yang sudah berumur, keduanya memberikan banyak cerita soal kenangan-kenangan di masa lalu, tentang sejarah, termasuk memori masa lalu mengenai hubungan lintas agama dan interaksi Islam-Kristen di Pamekasan Madura.
“Dulu, sewaktu masih muda, saya menjalin hubungan dengan banyak tokoh Muslim di sini. Utamanya memang karena persoalan bisnis, tapi pada perkembangannya kami menjadi teman yang layaknya saudara. Saling berkunjung dan saling membantu.” Om Johan menyebutkan beberapa nama tokoh Muslim di Pamekasan yang hampir semuanya sudah meninggal dunia. Mereka, kata Om Johan, adalah teman-teman yang baik pada masa mudanya. Hubungan pertemanan itu terjalin tanpa menyinggung persoalan perbedaan keyakinan dan agama. Om Johan beragama Katolik, sementara mereka adalah Muslim.
Salah satu kisah yang secara spesifik Om Johan ceritakan dalam obrolan itu adalah pertemanannya dengan ulama besar di Pamekasan bernama Kiai Abdul Hamid Baqir—yang lebih dikenal dengan panggilan Kiai Baqir (w. 1980). Ia adalah sosok kiai kharismatik yang menjadi salah satu pengasuh Pondok Pesantren Banyuanyar, sebuah pesantren bersejarah di Madura (berdiri pada tahun 1787 M).
“Kiai Baqir sering main ke sini, ke rumah ini.” Kenang Om Johan. “Saya juga sering ke sana, ke pesantrennya. Sayang, dia meninggal dalam usia yang relatif masih muda.” Saya melihat mata Om Johan menerawang. Meski pertemanan mereka berpusat pada perdagangan tembakau, tapi pada tahapan selanjutnya persahabatan mereka melampaui sekadar urusan bisnis. Misalnya, dalam beberapa kesempatan acara takbir keliling, Johan terbiasa meminjamkan mobil truk tembakaunya untuk digunakan dalam pawai menjelajah kota Pamekasan.
“Kiai Baqir itu setengah sakti,” lanjut Om Johan sambal tersenyum. “Dia bisa melewati masalah-masalah sulit yang orang lain nggak bisa. Pernah suatu ketika terjadi kerusuhan dan pembakaran di gudang tembakau yang saya miliki. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Lalu Kiai Baqir datang. Dia hanya melihati kerumunan orang-orang itu. Ajaibnya, semua orang tunduk dan takzim. Perlahan mereka mulai mundur satu demi satu.”
Om Johan terlihat merenung. Saya terpekur. Apa yang dia ceritakan menjelma menjadi semacam romantisme, sebentuk kerinduan akan hadirnya teladan pertemanan lintas iman yang tulus dan tanpa kecurigaan. Di tengah menguatnya gerakan Islamisme di Pamekasan (khususnya) dan Indonesia (umumnya), hubungan antara Om Johan dan Kiai Baqir menjadi semacam oase yang menyejukkan dan dirindukan. Kiai Baqir memberikan pelajaran yang berharga bahwa pertemanan dan persaudaraan bisa dilakukan melampaui perbedaan keyakinan dan agama.
Dalam beberapa penelitian terakhir, ada semacam kesimpulan tentang menguatnya Islamisme di Pamekasan, yang bisa dilihat, misalnya, dari munculnya beberapa organisasi Islam bernuansa sektarian (Zamzami, 2017). Ada upaya-upaya untuk menyeragamkan pemahaman keislaman dan mengabaikan keragaman dalam merajut hubungan sosial, termasuk keragaman lintas agama. Hal ini sedikit banyak mengubah pola pandang dan pola interaksi masyarakat. Perbedaan pemahaman seringkali menjadi benih perselisihan yang dibesar-besarkan.
Salah satu fragmen yang diingat Om Johan dalam kisah pertemanannya dengan Kiai Baqir adalah perkataan Kiai Baqir yang pendek dan tegas. “Kamu kan Kristen, pergilah ke gereja. Aku Islam, aku pergi ke masjid.”
Kiai Baqir sepenuhnya sadar dengan siapa dia berteman. Ia tidak segan-segan untuk berbagi nasehat dengan temannya yang Kristen agar tidak melupakan ajaran agama. Perkataan semacam ini adalah contoh kesalingpahaman dan sikap ketulusan yang patut diteladani dalam konteks membangun harmoni hubungan lintas agama.
Baca juga: Ramuan Politisasi Agama dan Etnis di Madura
Kisah pertemanan karib lintas agama seperti di atas perlu kita rawat dan senantiasa kita ingat, sebagai penyemangat dan motivasi dalam membangun harmoni antar agama. Menurut Apostolov (2004), relasi Islam-Kristen saat ini dipengaruhi, salah satunya, oleh ingatan dan memori kolektif di masa lalu. Jika ingatan kita dipenuhi oleh memori konflik dan perselisihan antara Islam dan Kristen pada masa klasik, maka perspektif kita dalam melihat hubungan antar agama tidak akan jauh dari hal tersebut: konfliktual. Sebaliknya, apabila kenangan masa lalu kita adalah kisah-kisah harmoni dan toleransi, maka besar harapan kita akan cenderung bersikap inklusif dan saling menghargai satu sama lain.