Beberapa hari lalu, tepatnya Senin 25 November 2019 diperingati Hari Guru Nasional. Secara resmi, Hari Guru Nasional ditetapkan sejak tahun 1994. Tepatnya ialah melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Keputusan ini mencerminkan penghargaan besar dari pemerintah dan rakyat Indonesia terhadap jasa para guru. Tanpa perjuangan para guru, sulit rasanya membayangkan kemajuan Indonesia. Guru ibarat begawan peradaban sebuah bangsa.
Hari Guru bermula dari organisasi perjuangan guru-guru pribumi sejak era penjajahan Belanda. Tepatnya pada 1912 didirikan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi ini mewadahi berbagai guru dengan latar belakang yang berbeda-beda. Seiring perjalanan waktu, di tengah semangat mengobarkan kesadaran pergerakan kemerdekaan, dibentuk pula berbagai organisasi guru yang lain. Di antaranya ialah Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD) Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan Normaalschool (PNS), dan masih banyak lagi.
Di tahun 1932, PGHB diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama dengan mencantumkan kata Indonesia ini menunjukkan semangat kebangsaan. Pada zaman pendudukan Jepang, PGI dibubarkan. Baru setelah Indonesia merdeka, PGI menggelar Kongres Guru Indonesia pada 24-25 November 1945 di Kota Surakarta. Di hari terakhir kongres, dibentuklah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Hari pembentukan PGRI inilah ditetapkan sebagai Hari Guru nasional.
Dari rekam jejak sejarah di atas, dapat kita pahami bersama bahwa perjuangan guru sangatlah besar bagi Indonesia. Bukan sesuatu yang berlebihan jika pemerintah menetapkan 25 November sebagai Hari Guru Nasional. Setiap tahun, berbagai kegiatan marak diselenggarakan, baik oleh instansi pemerintah, sekolah, ataupun unsur masyarakat lainnya. Ucapan selamat Hari Guru juga melimpah diunggah di media sosial oleh netizen. Salah satunya ialah sebagai ungkapan rasa hormat dan terima kasih.
Jika di masa pergerakan kemerdekaan, guru menjadi prasyarat bagi upaya membangun kesadaran meraih kemerdekaan, maka di saat ini, guru merupakan prasyarat bagi upaya mengisi kemerdekaan. Prestasi yang telah diraih oleh generasi muda saat sekarang ini tidak lepas dari jasa guru. Semangat persatuan dan kesatuan Indonesia yang hingga kini terus terjaga juga berkat didikan seorang guru.
Wajib memuliakan guru
Dalam Islam, memuliakan seorang guru adalah sebuah keharusan. Sayidina Ali bin Abi Thalib ra dalam sebuah riwayat menyatakan diri sebagai budaknya seorang guru yang telah mengajarinya, meskipun hanya satu huruf. Menantu Rasulullah saw tersebut lebih lanjut menegaskan bahwa diri beliau siap dimerdekakan atau dijual sebagai hamba sahaya oleh gurunya. Kisah ini meyiratkan betapa agung derajat seorang guru. Murid wajib taat dan memuliakannya.
Selain itu, memuliakan guru merupakan prasyarat bagi kemudahan memahami dan memanfaatkan ilmu yang dipelajari. Syaikh al-Zarnuji dalam kitab Talim al-Muta’allim menegaskan bahwa seorang pelajar tidak akan mendapatkan kemanfaatan ilmu yang ia pelajari kecuali dengan memuliakan guru. Menghormati guru merupakan kunci bagi kemudahan mendapatkan ilmu. Begitu pula dalam mengamalkan dan mengembangkannya.
Demikian pula, Syaikh Hasyim Asy’ari (1871-1947) dalam karyanya yang berjudul Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim menyatakan bahwa sudah seharusnya seorang murid memuliakan guru. Setiap orang yang mengajari pengetahuan dan budi pekerti wajib untuk dimuliakan. Dari rasa memuliakan inilah, seorang murid akan mendapatkan keberkahan ilmu. Di antaranya ialah mudah mengamalkan, mengembangkan, dan mengajarkan kepada orang lain.
Dari titik ini, harus menjadi perhatian bersama, khususnya kita sebagai generasi muda penerus bangsa untuk memuliakan guru-guru kita. Jika di antara kita sudah bisa meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau sukses meniti karir, maka jangan sampai melupakan jasa guru. Baik guru yang dulu mengajari kita di TPA, TK, SD, SMP ataupun SMA.
Setali tiga uang, jika kita masih sedang dalam proses menempuh jenjang pendidikan di atas, maka pantang bagi kita untuk melawan atau durhaka kepada guru. Tanpa berkat seorang guru, kita tidak mungkin dapat memperluas pengetahuan dan keterampilan. Guru tak ubahnya orang tua bagi ruh dan kedewasaan berpikir kita.
Bentuk memuliakan guru
Tidak sedikit ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan adab dan etika kepada guru. Dalam surat al-Nahl ayat 43, Allah ta’ala memerintahkan untuk bertanya dan meminta penjelasan kepada orang yang memiliki pengetahuan. Perintah ini merupakan kewajiban yang harus kita tunaikan ketika kita belum memahami suatu hal. Terlebih dalam urusan agama. Pertanyaan di sini juga mesti diajukan dengan tenang, jelas, dan penuh hormat.
Dalam sebuh kisah yang bersumber dari sahabat Abi Said al-Khudri ra, diceritakan bahwa ketika para sahabat sedang duduk di majelis ilmu dengan Rasulullah saw, maka tidak ada satupun sahabat yang bercanda dan berbicara yang tak ada perlunya. Karena terlalu tenangnya, diibaratkan setenang orang yang di kepalanya dihinggapi seekor burung. Ia tenang khitmat agar burung tersebut tidak terbang menjauh.
Lebih rinci, dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, Syaikh Hasyim Asy’ari menyebutkan dua belas adab seorang murid kepada gurunya. Tiga di antaranya ialah bertutur kata dengan perkataan yang baik. Kedua, mendengarkan dengan baik petuah guru. Ketiga, mendoakan dan memintakan ampun kesalahan guru, baik ketika seorang guru masih hidup atau setelah wafat.
Karena itu, baik di dalam sekolah ataupun di luar sekolah, guru harus dihormati. Tidak boleh kita berkata dengan tidak sopan. Apalagi berkata kasar dan menentang. Jika bertanya atau minta penjelasan, maka diutarakan dengan sebaik mungkin. Kita menyakini bahwa dari penjelasan guru, pintu pemahaman kita akan terbuka. Meskipun dunia internet sudah canggih, akan tetapi bimbingan dan arahan seorang guru tidak tergantikan.
Sebagai misal ialah, kecenderungan generasi muda yang mengakses pengetahuan agama melalui media internet ternyata rawan terpapar doktrinasi ajaran radikalisme dan ekstremisme. Bahkan, tidak sedikit perekrutan anggota terorisme yang berkedok agama dilakukan melalui jejaring internet.
Selain itu, peran guru juga tidak tergantikan dalam mendampingi pertumbuhan kesadaran siswa. Baik kesadaran beragama ataupun berbangsa. Terkait hal ini, keberadan guru ataupun mentor sangat penting di organisasi-organisasi kesiswaan. Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir, keberadaan organisasi kesiswaan sedikit berada di persimpangan jalan. Dalam artian, organisasi kesiswaan yang awalnya diniatkan untuk menempa generasi penerus bangsa malah dijadikan sebagai wadah doktrinasi. Mengenalkan siswa pada pemahaman keagamaan yang eksklusif dan tak bijak hidup di tengah kemajemukan.
Sebagaimana ditemukan oleh penelitian nasional yang diadakan oleh Ma’arif Institute.Dari penelitian 6 kota di 5 provinsi yang dilakukan pada Oktober-Desember 2017 tersebut, ditemukan beberapa organisasi kesiswaan yang dibina oleh mentor yang kurang tepat. Siswa diajarkan pemahaman agama yang menjurus pada fundamentalisme dan radikalisme. Imbasnya, anak didik menjadi anti terhadap keragaman pemahaman dan keagamaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Orang atau kelompok yang tidak sepaham lantas mudah dicap bid’ah dan salah. Dari hal ini, penting kiranya pengetahuan agama didapat dari seorang guru yang tepat. Serta dengan adab dan etika yang tepat.
Dengan adab dan etika ini, kita berharap ilmu yang kita pelajari dapat terpahami secara baik dan benar. Begitu pula dalam mengamalkannya. Bimbingan guru menentukan keberhasilan pembelajaran. Baik dalam ilmu agama ataupun ilmu lainnya. Maraknya radikalisme dan ekstremisme tidak lepas dari kesalahan kita mengakses jejaring internet yang disediakan oleh gerakan-gerakan tak bertanggungjawab. Imbasnya ialah agama yang semestinya menjadi rahmat berubah menjadi bencana. Sebaliknya, bimbingan guru yang tepat, akan mengantarkan pada pemahaman yang benar. Begitu pula akan mengarahkan kita meraih kesuksesan dan masa depan.
*Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di bulletin Muslim Muda Indonesia