Di tengah memanasnya kawasan Timur Tengah, ketika ancaman perang dunia ketiga sudah di depan mata, saat perang Amerika – Iran akan menjadi perang yang berkepanjangan, Atha bin Khalil Abu Al-Rasytah (Amir Hizbut Tahrir) sedang galau. Dia mengeluarkan pernyataan panjang (nasyrah) tentang peringatan pembukaan kota Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada fajar hari Selasa 20 Jumadul Ula 857 H / 29 Mei 1453.
Kata Amir Hizbut Tahrir di awal pernyataannya: “Sungguh di dalam sejarah umat-umat ada hari-hari yang bersinar. Itu merupakan kebanggaan untuk umat-umat itu. Lalu bagaimana jika hari-hari itu adalah hari terealisasinya kabar gembira Rasulullah saw? Sungguh tidak diragukan lagi, hari itu merupakan bintang yang bersinar terang di langit bahkan laksana matahari yang menyinari dunia dan mengangkat umat ke ufuk langit …”
Dia melanjutkan: “Dan di antara hari-hari itu adalah hari-hari kita yang memikat ini, hari peringatan penaklukan Konstantinopel… Al-Fatih mulai menyerang dan mengepung Konstantinopel mulai 26 Rabiul Awal sampai bisa ditaklukkan pada fajar hari Selasa 20 Jumadul Ula 857 H seperti bulan ini. Artinya, pengepungan berlangsung selama sekira dua bulan. Ketika memasuki kota sebagai pemenang, al-Fatih turun dari kudanya, berjalan kaki dan bersujud kepada Allah SWT sebagai ungkapan syukur atas kemenangan dan keberhasilan ini…”
Sikap Amir Hizbut Tahrir kali ini, tidak lazim. Biasanya Hizbut Tahrir lebih dahulu membuat komentar dan analisa politik. Apalagi krisis politik global yang terjadi di Arab yang melibatkan musuh utama Hizbut Tahrir, Amerika. Amerika, Irak dan Iran, menjadi momok yang menakutkan bagi Hizbut Tahrir. Sekutu-sekutu Amerika di Teluk, bersikap keras terhadap aktivis Hizbut Tahrir. Negara-negara Teluk tidak mentolerir keberadaan aktivis Hizbut Tahrir. Keciduk, langsung dibui.
Sedangkan di Irak, Hizbut Tahrir punya pengalaman sangat pahit dan menyakitkan. Taqiyuddin An-Nabhani (muasis Hizbut Tahrir) mati di tangan intelijen Irak pada tanggal 11 Desember 1977. Dia sempat ditanya oleh intelejen Irak, mengenai sebab kedatangannya ke negeri Iraq. Dia pun menjawab dengan lirih: “Sesungguhnya, aku hanyalah orang tua lemah, yang datang untuk mencari solusi.” Kemudian beliau rahimahullaahu disiksa sampai lumpuh, sempat dilepaskan dan dibawa ke Beirut Lebanon dan beliau wafat di sana dan dimakamkan di pemakaman al auzaiy Beirut.
Di Iran, nasib Hizbut Tahrir tidak lebih baik. Iran bermadzhab syi’ah meyakini konsep Imamah. Bagi mereka negara Republik Islam Iran merupakan prototype Imamah Mahdliyah. Mereka meyakini negara Republik Islam Iran, negara yang syar’i menurut ajaran syi’ah. Wajar, kedatangan delegasi Hizbut Tahrir kepada Imam Khomenei dalam rangka meminta pertolongan, ditolak mentah-mentah. Iran sampai sekarang menolak keberadaan Hizbut Tahrir di negaranya.
Perang Amerika – Iran di wilayah Irak tidak begitu menarik bagi Hizbut Tahrir. Tidak ada nilai politik yang bisa dipetik dari perang tersebut. Berbeda ketika Amerika menginvasi pemerintahan Taliban 2001, Irak tahun 2003 dan ISIS, tiga bulan pasca deklarasi Khilafah 2014. Kali ini Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrir tidak membuat kampanye global: Khilafah Solusi Perang Amerika – Iran.
Di balik sikap politik Hizbut Tahrir yang aneh ini, ternyata Hizbut Tahrir internasional sedang dilanda masalah. Hizbut Tahrir sedang goyang. Galibnya, sebuah gerakan, Hizbut Tahrir rentan dilanda konflik internal. Kelompok-kelompok ini sulit bersatu, karena sifat dasar mereka yang intoleran.
Mereka merasa benar, syar’i dan shalih sendiri. Di luar dirinya, adalah orang-orang bejat, ahli maksiat, bodoh dan munafik. Suasana kebatinan komunal yang kemudian menjadi karakter personal. Ketika terjadi masalah antar personal kaum ‘radikal’, mereka bersikap intoleran, satu sama lain. Akhirnya pecah.
Kelompok ini memandang orang lain sebagai mad’u (objek dakwah) dengan pandangan penuh hawa nafsu. Mereka ingin mendominasi akal pikiran orang lain, mengikat hatinya dan menguasai raganya agar mengikuti kelompok mereka. Pendekatan dakwah mereka jauh dari rasa kasih sayang, dalam rangka menyelamatkan orang lain dari bencana dunia dan azab akhirat.
Hal ini terbukti, ketika mereka emosi, membenci dan mem-bully mad’u yang menolak dakwah mereka karena menganggap dakwah kaum radikal itu justru salah dan sesat. Karakter sebagai predator mempengaruhi interaksi antar pengurus dan anggota Hizbut Tahrir. Pengurus di atas akan memangsa pengurus di bawah dan anggota, jika mereka tidak sependapat dengan pengurus yang di atas.
Sistem organisasi gerakan ini, termasuk Hizbut Tahrir semi militer. Loyalitas tegak lurus ke atas secara mutlak dan tanpa syarat. Kepemimpinan bersifat tunggal. Pemimpin yang wewenang dalam segala hal. Keadaan ini membuka pintu bagi aksi main hakim sendiri (vigilante) pengurus yang di atas. Aksi main hakim sendiri akibat dari aksi main “tafsir” sendiri atas semua fakta dan realitas.
Sudah pasti, sebagai manusia biasa yang banyak keterbatasan, seorang radikal yang menjadi pemimpin/pengurus, salah dalam memahami fakta/realitas. Namun demikian, untuk menjaga wibawa, pemimpin/pengurus memaksakan “tafsiran”nya adalah benar. Sebagai pemimpin/pengurus berhak menghukumi anggota yang berlainan “tafsir” dengannya. Ujung-ujungnya terjadi perpecahan di internal Hizbut Tahrir.
Hizbut Tahrir partai politik yang penuh dengan konflik internal. Meski tidak terekspos, pernyataan Amir Hizbut Tahrir terbaru tertanggal 7 Jumadul Ula 1441 H / 2 Januari 2020 M, menunjukkan sedang terjadi goncangan besar di dalam tubuh Hizbut Tahrir yang disebabkan oleh serangan-serangan pemikiran dan politik dari mantan pengurus dan anggota Hizbut Tahrir di berbagai belahan dunia.
Amir Hizbut Tahrir dengan keji menyebarkan fitnah di tengah-tengah anggota, dia mengatakan: “Kemudian berjalan bersama mereka dalam kebohongan yang dibuat-buat ini, sebagian tarikin (orang-orang yang keluar dari Hizbut Tahrir), an-nakitsin (orang-orang yang melanggar sumpahnya) dan orang-orang yang dikenai sanksi di antara mereka yang dahulu ada di dalam Hizb … “
“Begitulah, semua golongan itu bersekutu dalam kebohongan yang dibuat-buat, pemalsuaan fakta, dan manipulasi fakta. Setiap dari mereka memiliki peran: kaum kafir, orang-orang munafik, orang-orang yang gemetar (al-murjifûn), kemudian sejumlah kecil dari orang yang meninggalkan dakwah (at-târikîn), orang yang dijatuhi sanksi (al-mu’âqabîn), orang yang melanggar sumpah (an-nâkitsîn) dan orang-orang yang ada penyakit di hatinya, mereka berserikat dalam tipudaya terhadap Hizb dan membuat-buat fitnah kebohongan terhadapnya.”
“Dalam yang demikian itu mereka menyusuri jalan beracun yang mereka lingkupi dengan kebohongan pada setiap tahapan mereka. Setiap kali satu kebohongan gagal, mereka datangkan kebohongan yang lain. Orang-orang yang berbajukan kebohongan itu lupa atau pura-pura lupa bahwa syabab Hizb memiliki pikiran yang jernih, kecepatan berpikir dan kecerdasan yang dalam yang membuat mereka bisa membedakan yang buruk dari yang baik sehingga mereka tidak membiarkan kebohongan memasuki kemah besar mereka …”
“Begitulah, bagaimanapun alat rias yang mereka gunakan mendandani berbagai kebohongan, dan bagaimanapun industri dekorasi untuk memalsukan fakta yang mereka ikuti dalam merekayasanya, maka tidak ada telinga pada syabab Hizb dan tidak pula pada orang yang berakal dari kaum Muslim yang mau mendengarkannya.”
Mulut kotor Amir Hizbut Tahrir di atas, tidak bisa ditutupi dengan kampanye global Hizbut Tahrir memperingati Penaklukan Kota Konstantinopel (kota Heraklius). Kampanye yang merupakan cara lama Amir Hizbut Tahrir untuk mengalihkan perhatian para pengurus dan anggota dari konflik-konflik sesama pengurus Hizbut Tahrir di berbagai wilayah. Mengalihkan perhatian dengan menyibukkan para pengurus dan anggota dalam agenda kampanye global, bukan solusi, sebab, akar masalah konflik-konflik di tubuh Hizbut Tahrir adalah tiga sifat dasar mereka: Intoleran, predatoris dan vigilante.
Selama sifat-sifat dasar ini masih melekat dalam jiwa pengurus dan anggota Hizbut Tahrir, maka, konflik-konflik internal yang mengarah kepada perpecahan, akan menjadi siklus rutin di tubuh Hizbut Tahrir. Dengan demikian, sebenarnya konflik dan perpecahan internal Hizbut Tahrir menunjukkan bahwa Hizbut Tahrir tidak layak dan tidak bisa dipercaya memimpin umat dalam menegakkan khilafah.