Sebagai penikmat sepakbola, entah lewat layar kaca atau menonton langsung di stadion, kita semua ikut berbelasungkawa atas tragedi di stadion Kanjuruhan, Malang. Tidak ada yang boleh kehilangan nyawa dalam sepakbola. Satu nyawa saja terlalu berharga. Apalagi 100 nyawa lebih melayang. Sulit dibayangkan ketika 120 orang lebih meregang nyawa di lorong sempit penuh sesak, akibat berlarian dari gas air mata di tribun stadion Kanjuruhan.
Selama lima hari terakhir ini, saya mengikuti perkembangan pasca tragedi yang memilukan ini, yang membuat banyak kalangan, termasuk Presiden FIFA Gianni Infantino, turut merasa prihatin. Soal siapa yang salah? Siapa yang harus bertanggungjawab atas semua ini, saya perhatikan, semua elemen saling tuding.
Beberapa nama tersangka sudah dirilis oleh pihak Kepolisian. Akan tetapi fakta yang beredar di berbagai media tidak terbantahkan. Gas air mata menjadi pemicunya. Ini mendorong banyak pihak mengatakan bahwa tembakan gas air mata oleh aparat kepolisian sebagai dalang utama dibalik tewasnya ratusan orang di Stadion Kanjuruhan. Banyak pihak yang menyayangkan sikap aparat keamanan yang terlalu represif dan agresif dalam merespon kerusuhan ini, saya sendiri salah satunya.
Soal siapa yang sebenarnya harus bertanggungjawab penuh, siapa yang harus dipenjarakan, dan lain sebagainya, saya serahkan kepada Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF). Cukuplah kita menunggu kabar baik dari tim yang dikomandoi oleh Mahfud MD tersebut. Besar harapan semoga tim ini bekerja dengan integritas dan transparan. Itu saja.
Kita sebagai penikmat bola, hanya berharap semoga tragedi yang sangat menyesakkan dada ini tidak terulang lagi di masa depan. Meski sebenarnya tragedi Kanjuruhan ini bisa diantisipasi sejak awal, tapi apa boleh buat karena Allah Swt telah berkehendak. Mereka tidak akan kembali. Kita doakan semoga para korban mendapatkan tempat yang terbaik di sisi sang Khalik. Dari nestapa musibah yang terjadi, saya percaya selalu ada hikmah yang bisa kita ambil.
Saya melihat hikmah dari tragedi Kanjuruhan ini yang pertama adalah soal perdamaian antar suporter di Indonesia. Musibah yang terjadi di stadion Kanjuruhan, yang menyebabkan 120 lebih Aremania meninggal, telah menyayat hati kelompok suporter di Indonesia. Suporter-suporter klub Sepakbola Indonesia ikut berbelasungkawa, mereka menyalakan 1000 lilin sebagai tanda berdukacita.
Aksi menyalakan 1000 lilin terjadi di beberapa daerah, antara lain di Solo, Bandung, Pekalongan, Surabaya dan kota-kota lain di penjuru tanah air. Adanya tragedi ini membuka mata, hati serta pikiran setiap suporter, bahwa tak ada sepakbola yang sebanding dengan nyawa manusia. Tragedi ini adalah luka bagi seluruh pecinta sepakbola dunia.
Upaya perdamaian antar suporter di Indonesia sudah terlihat pasca tragedi Kanjuruhan. Bonek, misalnya. Suporter Persebaya Surabaya, yang notabene rival Aremania, telah berinisiatif mengajak perdamaian dengan Aremania. Bonek dan Aremania menyatakan siap untuk berdamai. Mereka dengan lapang dada menyepakati untuk mengakhiri permusuhan yang telah mengakar sejak puluhan tahun silam.
Selain Bonek dan Aremania yang bersepakat damai. Kelompok suporter di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Solo juga telah bersepakat damai pascatragedi Kanjuruhan Malang. Suporter Persiba Bantul, PSIM Yogyakarta, PSS Sleman dan Persis Solo, sepakat berdamai. Tagar #MataramIsLove ramai dicuitkan, merujuk bahwa keempat klub tersebut merupakan satu darah Mataram. Mereka sepakat mengakhiri rivalitas olahraga yang berubah jadi permusuhan mengerikan, demi kemajuan sepakbola Indonesia. Langkah serupa juga diambil oleh the Jak, suporter Persija Jakarta dan Viking sebagai garis suporter Persib Bandung.
Pokoke sip pic.twitter.com/vCLM4b402w
— Gibran Rakabuming (@gibran_tweet) October 4, 2022
Setelah kita dibuat sesak oleh tragedy gas air mata Kanjuruhan, memang sudah saatnya suporter Indonesia bersatu. Tinggalkan rasa kebencian. Bukankah damai itu jauh lebih indah? Di luar maupun di dalam stadion, suporter sepakbola adalah saudara dalam kemanusiaan, yang tak seharusnya saling menyakiti melainkan untuk saling peduli, menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. Tragedi Stadion Kanjuruhan amat layak sebagai pembelajaran. Jangan ada korban-korban lagi karena sepakbola.
Mari kita bersatu. Perdamaian adalah suatu keniscayaan yang harus terus diupayakan. Toh, jika ada kerusuhan, yang rugi bukan dari pihak suporter saja. Tapi, orang-orang yang berada di sekeliling mereka, yang tak bersalah, yang juga akan merasakan dampaknya. Tempat-tempat fasilitas umum juga berpeluang besar rusak dengan adanya kerusuhan tersebut. Maka dari itu, mari tinggalkan hal-hal negatif yang dapat menyebabkan kerusakan, karena Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan adanya praktik kekerasan – apalagi dalam sepakbola yang seharusnya menjadi arena persaingan sehat.
Perdamaian merupakan hal yang pokok dalam kehidupan manusia, karena dengan kedamaian akan tercipta kehidupan yang sehat, nyaman dan harmonis dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam suasana aman dan damai, manusia akan hidup dengan penuh ketenangan dan kegembiraan juga bisa melaksanakan kewajiban dalam bingkai perdamaian. Oleh karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu.
Dengan adanya kedamaian, maka orang-orang, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, hingga orang tua, akan sangat nyaman dan tenang ketika menonton sepakbola di stadion. Mereka tak perlu khawatir dengan kemungkinan adanya pergesekan antar suporter. Karena sejatinya, sepakbola ada milik semua. Bukan milik orang berduit saja, tapi milik siapa saja. Sepakbola adalah hiburan rakyat, yang menontonnya butuh yang namanya kenyamanan. Dan kenyamanan itu bisa didapatkan ketika antar suporter tidak ada lagi rasa kebencian yang dapat berakibat pada terjadinya pertikaian.
Saya sangat berharap, upaya-upaya perdamaian antar suporter, yang sebelumnya saling bertikai ini, menjadi awal mula dari persepakbolaan Indonesia yang jauh lebih sehat, khususnya dari sisi suporter. Perdamaian tersebut juga saya harapkan, bukan terjadi di elit suporter saja, tapi kelompok suporter arus bawah juga demikian.
Hikmah selanjutnya yang dapat dipetik adalah soal fanatisme buta terhadap klub sepakbola. Sudahlah, mari kita mencintai klub sepakbola sewajarnya saja. Selama ini, fanatisme buta, ditambah dengan aparat keamanan yang tidak sigap, menyebabkan sepakbola Indonesia amat rentan pertikaian antar suporter. Ditambah lagi, fanatisme di kalangan suporter sepakbola amat rawan jadi sapi perah industri dan digiring keberpihakannya oleh elit federasi. Tidak hanya di dunia nyata. Ditambah lagi di dunia maya, Ketika klub kesayangan kalah, bisa dipastikan yang ada hanya saling ejek, saling caci maki dan saling hina.
Gus Miftah mengingatkan bahwa sepakbola bukan agama. Jadi, sewajarnya saja kita dalam mendukung klub kesayangan kita. Kita cukup bernyanyi di tribun ketika laga berlangsung, membeli tiket masuk stadion, menyemangati pemain ketika kalah, pulang ke rumah dengan tertib selepas laga usai, seperti fans Manchester United, dan lain-lain. Tak perlu depresi ketika tim kalah, atau sombong tingkat dewa ketika timnya menang.
Dalam Islam sendiri, kita dilarang untuk berlebih-lebihan dalam hal apa pun, termasuk mencintai klub sepakbola.
Rasulullah saw mengatakan, “Ahbib ma ahbabta fainnaka mufariquhu, wa’isy ma syi-ta fainnaka mayyitun wa’mal ma syi’ta fa innaka mujziun bihi.”
Cintailah apa atau siapa saja, tapi sadarilah bahwa anda akan berpisah dengan semuanya itu, hiduplah sesuka Anda, tapi yakinlah bahwa Anda pasti mati. Dan berbuatlah sesuka Anda, tapi ingatlah bahwa Anda akan selalu dapat balasan atas perbuatan Anda itu.” (H.R. Al-Thabrani).
Dalam hadis Nabi Saw ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kita tidak semestinya mencintai sesuatu secara berlebihan di dalam hidup ini. Alasannya karena segala sesuatunya kita miliki pasti akan berpisah, yang kekal adalah akhirat, kehidupan yang abadi adalah kehidupan setelah kita mati. Wallahu a’lam bisshawab.