Hikmah Pakaian Ihram dalam Haji, Ini Penjelasan Ibnu Abbas!

Hikmah Pakaian Ihram dalam Haji, Ini Penjelasan Ibnu Abbas!

Kenapa mesti memakai pakaian ihram saat haji? Kenapa tidak boleh memakai pakaian biasa, seperti orang mengerjakan salat?

Hikmah Pakaian Ihram dalam Haji, Ini Penjelasan Ibnu Abbas!
Para jamaah haji asal Indonesia saat miqat di Bir Ali (Elik/Islamidotco)

Hampir setiap aspek dalam ibadah haji terdapat hikmah dan manfaat di dalamnya. Seluruh gerakan dan aktifitas yang diperintahkan Allah umumnya pasti ada hikmah dan manfaat. Hanya saja terkadang manusia tidak mampu mengungkap setiap hikmah yang ada di dalamnya.

Salah satu aspek menarik dalam haji adalah Pakaian ihram. Pakaian yang menjadi bagian penting dalam rukun haji ini dan tidak berjahit. Pemakaiannya dililitkan ke tubuh. Dipakai ketika hendak ihram dan menjadi petanda awal pelaksanaan ibadah haji. Mungkin ada bertanya, kenapa mesti memakai pakaian ihram saat haji? Kenapa tidak boleh memakai pakaian biasa, seperti orang mengerjakan salat?

Terkait hikmah penggunaan pakaian ihram, Ibnu Abbas menjelaskan ada tiga hikmahnya:

Pertama, biasanya, orang kalau bertamu ke rumah orang lain memakai pakaian yang bagus. Adanya keharusan ihram memakai kain putih tidak berjahit yang bertolak belakang dengan kebiasaan manusia tersebut, Allah seakan ingin memberi tahu bahwa tujuan untuk mendatangi tempat Allah berbeda dengan mendatangi tempat makhluk.

Hal ini bila dijabarkan lebih lanjut, kesadaran kita untuk mendatangi Allah haruslah berbeda dengan mendatangi manusia maupun makhluk secara umum. Allah adalah sang khaliq (pencipta), sedang selain-Nya adalah makhluk (ciptaan).

Perbedaan posisi keduanya mengharuskan perbedaan perilaku di hadapan keduanya. Memakai pakaian yang bagus di hadapan manusia lain bisa jadi untuk menjaga wibawa atau memperoleh kenyamanan orang yang melihat. Sebab manusia adalah makhluk dengan ikatan-ikatan benda duniawi pada dirinya.

Allah berbeda dengan manusia. Allah maha pencipta yang niscaya lebih kaya dari ciptaannya. “Nilai lebih” yang Allah pinta dari manusia adalah ketaqwaan yang sulit untuk dicerna dengan mata kepala.

Kedua; agar si hamba menyadari dengan menanggalkan segala sesuatu tatkala ihram, ia menanggalkan diri dari harta benda duniawi. Layaknya bayi yang keluar dari rahim ibunya tanpa memakai sehelaipun pakaian.

Hal ini menyiratkan bahwa memakai pakaian ihram adalah bentuk prilaku pemakainya dalam melepas hal-hal berbau duniawi. Di tubuhnya tidak ada sesuatu kecuali hal-hal yang digunakan untuk menutup aurat.

Ketiga; keadaan ihram menyerupai keadaan saat hadir di tempat dimana kelak kita dihisab oleh Allah di tempat tersebut.  Di mana Allah berfirman dalam surah an-Nisa’ ayat 40:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ

Artinya:  “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah,”

Dan dalam surah al-An’am ayat 94 Allah berfirman:

 وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَى كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ

Artinya:  “Dan Sesungguhnya kamu datang kepada kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu kami ciptakan pada mulanya,”

Ketiga “renungan” Ibnu Abbas tersebut memberi tahu pada kita bahwa dalam ihram yang merupakan permulaan haji, perlu ada kesadaran tersendiri bahwa pelakunya diajak melewati saat-saat menanggalkan diri dari hal-hal berbau duniawi meski masih hidup di dunia. Meski hal itu bertolak belakang dengan fitrah manusia yang tidak bisa hidup tanpa harta benda duniawi, tapi bukan berarti membuat kita merelakan kesadaran kita juga direbut olehnya.

(AN)