Makna kata ‘Id adalah kembali. Sedangkan makna fitri, antara lain, adalah kesucian, yang mana ruku dari kesucian itu ada tiga: indah, benar, dan baik. Indah akan melahirkan seni, benar memunculkan etika, dan baik akan menyebabkan terwujudnya ilmu.
Dengan jiwa yang suci, maka orang yang beridulfitri akan selalu bisa melihat suatu hal dengan sudut pandang yang positif. Ia bisa mengambil hikmah dari setiap apa yang terjadi, bahkan dari hal negatif sekalipun. Begitu kurang lebih Prof. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an.
Adalah suatu kebahagiaan manakala keinginan manusia ternyata sama dengan keinginan Allah SWT. Namun jika yang terjadi bukan demikian, maka manusia dituntut untuk selalu berprasangka baik kepadaNya.
Allah SWT berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal tidak baik bagi kamu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 216)
Al-Sa’diy mencatat, dalam hal yang kita benci bisa jadi ada kebaikan dan dalam hal yang kita suka bisa jadi terdapat keburukan. Hanya Allah yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Pada posisi ini, kita diperitah untuk menyenangi/menerima apapun yang telah Dia tetapkan.
Pandemi yang disebabkan virus Corona ini tentu adalah hal yang kita benci. Kita tidak bisa menjalankan aktifitas sebagaimana biasa. Banyak banyak hal harus tertunda atau bahkan gagal terlaksana.
Namun, kita harus menyadari bahwa ini adalah ketetapan Allah yang—mau tidak mau—harus diterima. Kita harus yakin, Allah memiliki rencana indah terkait virus ini.
Beberapa hal positif yang selalu kita kerjakan “berkah” adanya Covid-19 antara lain kita menjadi semakin mencintai kebersihan dan tak keluar rumah manakala tak ada keperluan mendesak. Tidak menutup kemungkinan, ada hikmah yang lebih besar lagi yang belum kita ketahui. Yang jelas, setiap keputusanNya adalah yang terbaik.
Beridul fitri dalam keadaan dalam kondisi pandemi juga mengajarkan kepada kita tentang ketidakmampuan manusia untuk menciptakan kondisi yang dikehendaki dan atau menolak apa yang tidak diinginkannya.
Hari raya tahun lalu, mungkin sebagian kita menduga bahwa pandemi akan berlangsung paling lama selama setahun dan tahun ini sudah normal. Namun, kenyaataannya, tahun ini, kita masih merayakan hari raya dalam suasana yang sama, tanpa mengetahui kapan akan berakhir.
Dalam kondisi sepertii ini, kita—mau tidak mau—akan menyadari betapa manusia hanya sebutri debu di hadapan “padang sahara” (baca: kekuasaan) Allah. Ia hanya setetes air di banding keluasan samudraNya.
Allah SWT berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan bersifat lemah” (QS. an-Nisa’ [4]: 28).
Kelemahan manusia, dalam pandangan al-Sa’diy, terdapat dari berbagai sisi. Misalnya lemah dalam keinginan, kemauan, kesabaran, dan lain-lain. Atas dasar kelemahan itulah maka manusia membutuhkan zat yang kuat dan besar, yaitu Allah SWT.
Wajar bila pada hari raya Idul Fitri ini, kita disunnahkan untuk memperbanyak bacaan takbir, yaitu sejak tenggelamnya matahari hari terakhir bulan Ramadan (malam hari raya) sampai imam membaca takbiratul ihram pada shalat Idul Fitri. Takbir merupakan pengakuan diri bahwa yang “akbar” hanyalah Dia.
Kelemahan manusia ini semakin tampak ketika dihadapkan dengan virus berukuran sangat kecil ini. Jika terhadap makhluk yang kecil saja tidak mampu menghadapi, lantas bagaimana manusia dibanding sang pencipta makhluk tersebut, yaitu Allah SWT? Masih pantaskah manusia menyombongkan diri?
Walhasil, Idul Fitri di tengah pandemi ini mengajarkan, setidaknya, dua hal penting: berprasangka baik terhadap apa yang Allah takdirkan dan kesadaran manusia bahwa ia adalah makhluk lemah yang karenanya ia selalu membutuhkan Allah SWT. Wallahu a’lam.
Bacaan:
Al-Haytami, Syihabuddin Abi al-’Abbas Ahmad bin Muhammad ibn Hajar. al-Minhaj al-Qawim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000.
Al-Sa’diy, Abdurrahman bin Nashir. Taysir al-Kalam al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan. Riyadh: Dar al-Salam, 2002.
Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al-Quran. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2014.