Kekebalan kelompok (herd immunity) digadang-gadang sebagai akhir dari pandemi. Idenya sederhana, pertama kita asumsikan orang yang terinfeksi baik melalui vaksinasi atau secara terinfeksi secara natural akan menjadi kebal. Jika jumlah orang-orang kebal ini sudah cukup banyak, kita bisa bayangkan mereka yang kebal membentuk dinding yang melindungi mereka yang masih rentan terhadap virus. Akibatnya virus tidak bisa menyebar lagi.
Berapa banyak orang yang kebal sehingga kekebalan kelompok terbentuk?
Bisa dilakukan perhitungan sederhana untuk mengetahui proporsi populasi yang kebal agar penularan berhenti.
Pertama-tama kita harus mengetahui apa yang disebut sebagai angka reproduksi (Ro) untuk virusnya. Angka reproduksi adalah jumlah orang yang tertulari oleh satu orang seorang sakit, secara rata-rata.
Misalnya untuk Covid diperkirakan Ro = 3. Artinya, secara rata-rata, setiap orang terinfeksi akan menulari tiga orang rentan lain. Terlihat angka reproduksi ini menggambarkan seberapa menular sebuah virus. Bisa kita bandingkan, misalnya, Covid lebih menular dibandingkan dengan virus penyebab flu biasa memiliki Ro = 1,3; tapi penyakit Campak yang memiliki Ro = 12 sampai 18 jauh lebih menular dibanding Covid.
Lalu kekebalan kelompok bisa dihitung secara sederhana sebagai
1 – 1/Ro
Jadi untuk Covid yang memiliki Ro = 3, kekebalan kelompok bisa diraih saat proporsi populasi yang kebal adalah
1 – (1/3) = 2/3 atau sekitar 67%
Berdasarkan perhitungan paling sederhana ini sekitar 67% populasi harus kebal sepenuhnya agar penyebaran virus SARS-CoV-2. Menghitungnya mudah, tetapi menginterpretasikannya sungguh tidak mudah.
Penyebabnya adalah dunia nyata yang jauh lebih rumit dari perhitungan sederhana di atas: variabel-variabelnya terus berubah dan bahkan beberapa variabel belum diketahui. Lebih jauh lagi, setiap perhitungan matematis seringkali menggunakan asumsi yang menyederhanakan agar masalahnya bisa dibuat matematis.
Asumsi dasar dalam menghitung rata-rata terjadinya penularan sekunder Ro adalah manusia dianggap berinteraksi secara acak. Tentu ini tidak sesuai realitas dunia kita. Karena jika orang-orang berinteraksi secara acak maka kemungkinan interaksi antara keluarga sama saja dengan berinteraksi dengan orang yang tidak dikenal dan tinggal di benua lain. Sungguh tidak masuk akal. Interaksi manusia tidak acak, tapi dibatasi oleh geografis dan konteks seperti pekerjaan, pertemanan, keluarga, dan aktivitas lainnya.
Asumsi kedua adalah, orang bisa memiliki kekebalan sempurna terhadap Covid; baik akibat vaksinasi atau terinfeksi secara natural. Asumsi ini juga dipertanyakan karena kekebalan yang teramati sangat variatif. Belum lagi adanya varian-varian virus baru yang ternyata masih bisa membuat orang yang sudah vaksin atau pernah terpapar menjadi sakit lagi.
Karena kerumitan-kerumitan tersebut, ilmuwan sampai sekarang belum mencapai konsensus apakah kekebalan kelompok bisa menjadi akhir pandemi ini. Bahkan, ketidak pastian akan akhir pandemi, mendorong ilmuwan untuk mengenalkan istilah baru yaitu Kekebalan Kelompok Sementara (KKS).
Skenario kekebalan kelompok sementara ini adalah sebagai berikut.
Virus terus menyebar sampai sebagian besar populasi kebal karena vaksinasi atau terinfeksi. Yang artinya jumlah orang-orang rentan sudah sangat sedikit sehingga tidak cukup menyokong rantai penularan virus. Tetapi jika virus terus bermutasi dan kekebalan juga ternyata menurun seiring dengan waktu. Maka jumlah orang rentan bertambah lagi sampai rantai penularan menyala kembali. Kondisi kekebalan kelompok menjadi hilang. Siklusnya lalu berulang lagi.
Melihat tidak adanya kepastian perjalanan hidup virus, sepertinya akhir pandemi ini tidak akan berupa hidup normal tanpa virus. Melainkan hidup dari satu KKS ke KKS lain, begitu seterusnya. Sampai manusia menemukan teknologi yang benar-benar ampuh mampu menetralisir virus secara total.
*) Roby Muhamad; doktor lulusan Columbia University.