Pernahkah anda dirisak terkait agama? Pertanyaan ini bagai buah simalakama bagi umat agama manapun. Sebab, biasanya mereka yang pernah merasakan dirisak terkait agama yang dipeluk lebih memilih untuk menyimpan rapat memori tersebut. Saya melihat ada dua alasan paling menonjol mendasari pilihan tersebut, yakni berasal dari kelompok minoritas dan tekanan mental yang dialami.
Di tengah perluasan ruang publik yang tengah kita rasakan sekarang, perisakan terhadap agama atau kepercayaan seseorang masih belum mendapat perhatian, khususnya dari kalangan berwenang. Akibatnya, kita bisa dengan mudah menemukan orang lain dengan terbuka menghina atau perilaku kasar atas status kepemelukan agama orang lain.
Kondisi tersebut kemudian menambah teruk lanskap kehidupan digital kita. Persoalan irisan agama dan perilaku kriminal mungkin perlu dipertimbangkan untuk dicarikan solusi yang lebih tepat, untuk bisa melindungi pemeluk agama agar bisa nyaman mengekspresikan keagamaan mereka di ruang digital. Salah satu persoalan yang harus mendapatkan perhatian adalah para Buzzer dan perisak agama.
Kedua entitas tersebut bisa dibilang sebagai pihak paling bertanggungjawab atas kekacauan atau keributan di dunia maya. Ada kawan yang berpendapat buzzer agama adalah mereka yang memiliki kebencian atas agama dan menyerang berbagai ajaran Islam dengan mencapnya sebagai bagian dari radikalisme, dan dibiayai oleh “kaum munafik”.
Saya kurang sependapat dengan analisa teman saya tersebut, sebab jika kita berkaca pada pendapat Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu. Jadi, buzzer adalah mereka yang dapat mempengaruhi opini publik dan mengerakkan massa lewat pesan di media sosial, tanpa dibeda-bedakan agama.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengulik soal aktivitas buzzer di media sosial yang menyajikan informasi hoaks, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan sejenisnya, mereka menetapkan hukum haram atas perilaku tersebut. Hukum aktivitas buzzer yang haram tersebut tercantum dalam Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
Mungkin, sekilas kita bisa mendapati pendapat hukum MUI di atas masih belum bisa menghentikan aktivitas para buzzer di ranah politik, sosial dan agama. Para buzzer masih bebas berkeliaran dan menyebar pengaruh buruk pada ruang publik digital kita.
Selain persoalan buzzer yang masih belum jelas ujung pangkalnya, akhir-akhir ini saya juga melihat aktivitas merisak agama orang lain juga cukup meresahkan. Berbagai ekspresi keagamaan, terutama dari kelompok minoritas, dirisak dengan bebas tanpa ada perlindungan yang jelas. Berbeda dengan buzzer yang memiliki besar lengan untuk mempengaruhi pendapat publik, para perisak adalah warganet biasa yang hanya menyuarakan ketidaksukaan atas kehadiran ekspresi kelompok lain di dunia maya.
Perilaku para perisak ini beberapa kali cukup menganggu suasana damai kita atau menambah parah konflik yang ada di masyarakat. Biasanya, para perisak ini seringkali termakan dari kabar-kabar bohong, fitnah atau gosip yang disebarluaskan oleh para buzzer. Makanya, kedua entitas tersebut saling berkelindan.
Berbagai kasus yang melibatkan agama atau aliran minoritas selalu menjadi santapan hangat di tangan buzzer dan para perisak agama. Kita mungkin masih ingat bagaimana dampak kasus Ahok yang menjadi semakin sulit diselesaikan, karena pengaruh dari buzzer dan para perisak yang terus menerus menyesaki linimasa media sosial kita.
Ada hal yang harus kita perhatikan jika ingin mengurai persoalan buzzer dan para perisak agama di atas yang telah menganggu tatanan kedamaian kita, yakni kegamangan kita dalam bersikap menghadapi ketegangan agama. Baik pemerintah atau masyarakat kita masih belum memiliki kesadaran yang penuh atas perlunya perlindungan atas kesamaan hak untuk menjalankan ibadah atau mengekspresikan agama di ruang publik.
Jika bicara soal kegamangan kita dalam bersikap ketegangan agama mungkin kita perlu meninjau kembali persoalan ketegangan agama di Indonesia. Di Indonesia, kasus-kasus yang berkaitan dengan relasi perlindungan terhadap keagamaan kelompok minoritas masih sering digantung atau tidak diselesaikan dengan baik.
Carool Kersten dalam buku Berebut Wacana menceritakan bahwa minimal sejak masa Reformasi hingga sekarang, bangsa Indonesia masih belum bisa menyelesaikan persoalan relasi antar agama secara jelas. Misalnya, di masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), banyak kelompok agama minoritas yang mengalami kekerasan disebabkan ketiadaan perlindungan berupa penegakan atau retribusi hukum dari pengadilan. Bahkan, pemerintah daerah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengkhawatirkan, seperti pelarangan pembangunan gereja atau rumah ibadah lainnya serta pengusiran “kelompok sesat”, demi untuk menenangkan konstituennya.
Pemandangan di atas belum banyak berubah di masa Pemerintah Jokowi. Walau, beberapa sosok otoritas Islam Reaksioner, macam Sugi Nur, Habib Bahar, Habib Rizieq Shihab, hingga Maheer At-Tuwailibi, harus meringkuk di penjara. Namun, kebanyakan mereka dituntut dengan pasal-pasal yang tidak terkait persoalan agama, lebih banyak berbau politik otoritarianisme.
Akibatnya, persoalan buzzer dan para perisak agama masih belum bisa teratasi dengan baik. Terlebih, kita lebih banyak menyoroti kehadiran “Buzzer” di tanah air dari sudut politik. Buktinya, linimasa kita selalu saja dijejali dengan isu-isu politik agama yang sangat kental, dan ketidakdewasaan para warganet yang saling berbalas hinaan karena perbedaan pilihan politik.
Memang, akhir-akhir ini para pendengung (baca: Buzzer) kembali mengemuka ketika presiden Jokowi mewacanakan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kehadiran buzzer dengan UU ITE saling bertautan, baik secara langsung maupun tidak, perihal kebebasan berpendapat dan persoalan ekspresi ruang publik digital.
Sebagai tawaran untuk penyelesaian permasalahan buzzer dan perisak agama, saya menyitir judul buku yang pernah ditulis oleh Will Kymlicka, pemikir politik asal Kanada, dengan memunculkan istilah Multicultural Netizenship. Sebuah masyarakat multikultural di dunia maya harus dibentuk untuk memiliki kesadaran dan menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan atau nilai-nilai hak asasi manusia.
Kesepakatan berbangsa kita yang disandarkan pada nilai-nilai Pancasila seharusnya juga ditegakkan di ranah digital atau internet. Kebebasan berekspresi, terutama dari kelompok minoritas, harus dijamin perlindungan hukum dan kesadaran di masyarakat yang tinggi atas perbedaan yang memiliki hak yang sama untuk muncul di ruang publik, termasuk di dunia maya.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin