Nama Hasan bin Ali bin Abi Thalib adalah nama yang cukup populer bagi pengkaji sejarah Islam periode awal. Selain dikenal sebagai khalifah kelima dan putra dari Imam Ali, Hasan dan Husein adiknya merupakan cucu kinasih Rasulullah yang darinya kita kenal zuriyah al-rasul atau anak turun Rasulullah di kemudian hari.
Banyak riwayat hadis dan atsar menceritakan hal tersebut secara gamblang. Walau akhir hidup keduanya bisa dibilang tragis, meninggal di bunuh oleh orang yang mendaku mencintai dan mengikuti ajaran kakeknya.
Sayidina Hasan bin Ali dilahirkan pada medio bulan Ramadhan tahun ketiga Hijrah. Nama Hasan sendiri merupakan nama yang unik, berdasarkan beberapa riwayat. Dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra disebutkan bahwa nama Hasan dan Husein saudaranya adalah dua nama dari beberapa nama ahli surga.
Orang Arab sebelumnya tidak pernah memakai nama itu pada zaman jahiliyah. Hal itu diperkuat dengan keterangan dari kitab Asad al-Ghabah karya Ibnu Atsir dan kitab Tahdzib al-Asma wa al-Lughat karya Imam Nawawi serta seperti dikatakan oleh Al-Asykari bahwa, “Nama ini tidak pernah diketahui pada zaman Jahiliyah.” Dalam Asad al Ghabah juga dijelaskan bahwa, “Sesungguhnya Allah menutupi (menyembunyikan) nama Hasan dan Husein hingga Rasulullah menamai kedua cucunya dengan nama ini.”
Hasan juga disebut-sebut merupakan sosok yang paling mirip dengan kakeknya nan mulia. Imam Bukhari mencatat riwayat dari Anas yang menyatakan, “Tidak ada seorang pun yang lebih menyerupai Nabi SAW dari Hasan bin Ali.”
Dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra dikisahkan oleh Abdullah bin Zubair, “Keluarga Nabi yang paling menyerupai dan paling dicintai Nabi SAW adalah Al Hasan bin Ali. Aku pernah melihatnya mendatangi Rasulullah ketika beliau sedang sujud. Maka Hasan menaiki leher –atau punggung- Rasulullah. Beliau tidak berdiri hingga Hasan turun. Aku juga melihat beliau sedang rukuk, maka Hasan melewati kedua kakinya hingga melewati sisi lain beliau.”
Sayidina Hasan juga dilimpahi kasih sayang dan cinta dari sang kakek yang mulia. Dalam kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim diceritakan riwayat dari Bara’, bahwa ia melihat Rasulullah sedangkan Hasan sedang bergelayut di bahu mulia beliau sembari didoakan, “Ya Allah, aku mencintainya, maka cintailah ia.”
Kecintaan Rasulullah kepada kedua cucunya ini diabadikan dalam beberapa riwayat. Seperti direkam oleh Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, “Kedua anak ini adalah anak dari putriku. Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka, maka cintailah mereka berdua dan cintailah orang yang mencintai keduanya.
Dalam kitab yang sama pada bagian lain, Imam Tirmidzi menceritakan ceritera dari Anas bahwa Rasulullah pernah ditanya, “Siapa keluarga yang paling engkau cintai ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab, “Al-Hasan dan Al Husain.”
Hasan juga dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, lebih lembut dari adiknya Husein. Itu pula yang menyebabkan ia rela turun dari kursi khalifah dan menyerahkannya pada Muawiyah bin Abi Sufyan. Musuh lama dari ayahandanya, Ali bin Abi Thalib.
Hasan sendiri naik kursi Khalifah karena menerima baiat kekhalifahan dari orang Kufah. Namun Hasan hanya bertahan selama enam bulan dan beberapa hari saja. Hasan memilih menyerahkan tampuk kekuasaan pada Muawiyah dan menyudahi peperangan yang berlangsung cukup lama.
Semenjak kekhalifahan dipegang oleh ayahnya. Penyerahan ini dilakukan dengan beberapa persyaratan, di antaranya adalah Muawiyah tak boleh mendendam dan memerangi pengikut-pengikut Ali yang berada di Madinah, Hijaz dan Irak. Muawiyah menyetujui persyaratan itu. Kejadian ini terjadi pada tahun 41 Hijriyah pada bulan Rabiul Awwal, sebagian menyatakan Rabiul Akhir atau Jumadil Ula.
Penyerahan kekuasaan dan usaha perdamaian ini juga merupakan bukti dari tanda kerasulan kakek beliau. Rasulullah pernah berada di mimbar, sedangkan Hasan berada di sampinya. Rasulullah melihat pada kerumunan manusia di hadapannya sesekali dan sesekali melihat kepada Hasan, sembari bersabda, “Sesungguhnya anakku ini adalah seorang tuan (sayyid). Semoga Allah mendamaikan dua golongan kaum muslim dengan perantara dia.” Cerita ini diceritakan Imam Bukhari dan kitab Sahih melalui riwayat Abu Bakrah.
Usaha perdamaian ini bukan tanpa tantangan. Beberapa pengikut fanatik ahlul bait yang terkonsolidasi sejak zaman Ali bin Abi Thalib, sebagian mengecam dan menolak perdamaian ini. Seorang lelaki dari pengikut fanatik itu pernah memanggilnya dengan sebutan “orang yang meninggalkan kaum mukmin.”
Namun beliau menjawabnya dengan, “Meninggalkan masih lebih baik, daripada menyulut api (permusuhan).” Sebagian lain malah memanggilnya dengan salam yang tak layak. “Salam kepadamu wahai orang yang menghinakan kaum mukmin.” Atas salam ini beliau menjawab, “Aku bukanlah hendak menghinakan kaum mukmin, namun aku benci harus mengorbankan kalian demi kekuasaan.”
Keteladanan Sayidina Hasan bin Ali dengan mengorbankan kekuasaan demi maslahah umat, menginspirasi kita bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Di atas semuanya, ada kemanusiaan dan keselamatan umat. Imam al-Bulqini bahkan hingga merujuk pada kejadian ini dengan menghukumi kebolehan mundur dari tugas, demi kemaslahatan atau ketika tak mampu lagi.
Wallahu A’lam.