Sudan adalah negara islam yang berada di wilayah Afrika Timur, yang mempunyai luas wilayah paling besar di benua Afrika, sebelum adanya referendum Sudan Selatan untuk memisahkaan diri dari Sudan Utara pada tahun 2011. Walaupun sebagai negara yang miskin, dan di embargo bertahun-tahun oleh Amerika, Sudan tidak bisa diremehkan dalam peta dunia pemikiran islam di dunia, walaupun khazanah inteleektualnya tidak sekaya negara tetangganya Mesir dan Negara-negara di Timur Tengah. Namun dari negara yang mempunyai iklim panas yang sangat ekstrim ini (45° lebih) mampu melahirkan beberapa pemikir progresif, salah satunya adalah Hasan Turobi.
Hasan Turobi lahir di Wad al-Turabi,Kassala, Sudan Timur pada tahun 1932 M. Ia berasal dan tumubuh dari keluarga yang memiliki tradisi panjang pengajaran keilmuan islam dan praktek sufisme di Sudan. Ayahnya adalah seorang Qodhi (Hakim agama Islam), dan tercatat sebagai pengikut Thoriqoh Qodiriyah.
Hasan Turobi yang dikenal sebagai Bapak Politik Islam Modern Sudan, dan juga seorang pemikir terkemuka, serta tokoh gerakan internasional. Melalui gagasannya tentang “Islamisasi Modernitas”, Turobi Mengusung pembaharuan islam, yang merupakan perpaduan dari kepribadian islam yang tradisionalis dengan gagasan-gagasan barat, yang dia dapat sewaktu menempuh pendidikan Magister dan Doktoralnya.
Dalam bidang pendidikan, Hasan Turobi merupakan lulusan dari Fakultas Hukum Universitas Khartoum (salah satu Universitas tertua di Sudan yang melahirkan banyak tokoh-tokoh di Sudan) pada tahun 1955 M. Kemudian dia melanjutkan Karier Intelektualnya ke Oxford University dan meraih gelar Master dalam bidang hukum pada tahun 1957 M, kemudian menyelesaikan Doktoralnya Di Sorbone University, Prancis pada tahun 1964 M.
Sewaktu menempuh jenjang pendidikan S1 di University of Khartoum, Turobi merupakan salah seorang aktivis kampus dan juga tercatat pernah memimpin Organisasi Pembebasan Islam (The Islamic Liberation Movement). Dan sepulang dari menyelesaikan Magister dan PhD nya, Turobi langsung memimpin organisasi pergerakan islam yang ada di Sudan. Yaitu The Islamic Charter Front (ICF). Salah satu organisasi sempalan dari Ikhwanul Muslimin.
Dalam pandangan Hasan Turobi, Agama islam saat ini membutuhkan pembaharuan, yang bukan hanya berangkat dari spirit emosional, namun juga sarana pendidikan agama. Dalam pandangan Turobi bahwa membidik manusia dengan nilai-nilai iman yang benar, dapat melahirkan suatu konsep pemikiran yang baik. Baik itu berupa politik, ekonomi, budaya, sains yang mampu menerapkan hukum-hukum agama.
Pembaharuan saat ini menurut Turobi harus melalui tiga tahapan, yaitu; kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang disinari dengan warisan para salafus sholih, seperti Fiqh. Kemudian harus ada integrasi antara ilmu-ilmu agama dengan sains modern, humaniora, kedokteran, teknology. Dan yang terpenting bagi Turobi adalah mengkaitkan pemikiran dengan realitas yang ada.
Gagasan yang di usung oleh Turobi tentang pembaharuan islam yang dikenal dengan Islamisasi Modernitas, pertama kali ditujukan untuk mengakhiri dogma tentang syariat islam yang begitu keras. Dimana waktu Sudan dipimpin oleh Jakfar An-Nimery, Syariat islam diberlakukan sangat keras sekali. Mencuri dipotong tangan, Kafir dibunuh dan lain sebagainya. Jika ini diterusakan, maka Sudan akan jatuh dalam konflik antar agama.
Oleh karena itu, dalam pandangan Turobi memahami Al-Qur’an tidaklah sempurna kecuali dengan mengkaji syariat-syariat umat terdahulu, dan melalui kajian lengkap mengenai As-Sunnah yang menjelaskan Al-Qur’an dengan ucapan dan amal Nabi Muhammad SAW. Memahami sunnah nabi juga tidak cukup hanya mempelajari hadist-hadist yang sampai kepada Rosululloh SAW saja, sebab amalan sahabat adalah perpanjangan tangan yang tidak terputus dalam penurunan wahyu. Dengan demikian, kita tidak bisa memahami masa lalu, dengan menghilangkan konteks masa yang datang setelahnya.
Turobi juga dikenal sebagai tokoh yang peduli terhadap kondisi perempuan, dimana dalam gagasannya tentang islamisasi modernitas. Turobi menyinggung tentang hak-hak dasar perempuan dalam islam dan masyarakat. Dalam islam, hak-hak fundamental manusia memperoleh jaminan yang sangat kuat tanpa memperhatikan apakah ia seorang laki-laki ataupun perempuan.
Hak asasi pertama yang ditegaskan dalam Al-Qur’an adalah hak untuk memperoleh penghargaan atas kehidupannya sebagai seorang manusia. Bukan sekedar hak hidup, tetapi juga hak untuk dihormati martabatnya sebagai manusia. Atas dasar hak primer ini, maka setiap manusia berhak memperoleh keadilan, yang karenanya juga harus berlaku adil.
Karena dalam isu gender, perempuanlah yang menjadi subyek sorotan dan kepentingaan. Maka penting sekali untuk kembali mereview bagaimana hak-hak perempuan didalam konsepsi ajaran islam. Karena kesetaraan perempuan dan laki laki berimplementasi terbukanya ruang dan peluang bagi keduanya untuk mencetak prestasi dalam koridor hak dan kewajibannya. Adapun ketidak samaan perempuan dan laki-laki, sekaligus juga kesetaraan bagi keduanya, didasarkan pada taqdir penciptaan oleh sang pencipta.
Dengan kaitannya tentang islamisasi modernitas, Turobi juga mengkritik tentang pemaknaan Non Muslim yang berada dalam Wilayah atau Negara Islam (Kafir Dzimmi). Dalam hal ini Turobi tidak jauh beda dengan pandangan sebelumnya tentang hak-hak perempuan. Dalam hal ini Turobi 8 penilaian bahwa negara-negara yang berlandaskan syariat islam, dalam praktek pemerintahannya juga harus demokratis (Syuro/Ijma’). Tentang Kafir Dzimmi, turobi mempunyai gagasan menijau kembali pemaknaannya dan membuatkannya undang-undang yang khusus mengatur tentang status kewarganegaraan antara muslim dan non-muslim. Gagasan ini berangkat dari prinsip universal islam yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, kebebasan dan hak untuk dihormati dan menghormati pada setiap diri manusia.
Dalam kajian ushul fiqh, Turobi mengajak untuk memahami ushul fiqh dan realitas islam dalam bentuk realitas modern. Hal ini didasarkan, karena produk-produk ushul fiqh dalam tradisi pemikiran fiqh kita, yang berhubungan realitas kehidupan. Masih bersifat abstrak dan teoritis, yang tidak mampu melahirkan fiqh, justru malah melahirkan debat yang berkepanjangan.
Oleh karena itu, Turobi mewacanakaan untuk melakukan adanya Fiqh Ijtihadi, dan pemaknaan yang luas terhadap qiyas serta Istishab. Dalam hal ini, Turobi menegaskan pentingnya kembali pada nash-nash melalui kaidah tafsir yang pokok. Dan memperluas metode dalam fiqh ijtihadi. Dengan menggunakan qiyas yang mempunyai makna luas, dalam artian; memperluas konsep qiyas dalam berbagai masalah khusus dengan menentukan sekumpulan nash dan mengambil konklusi tentang tujuan atau kemaslahatan agama dari berbagai nash itu. Kemudian kemudian kita terapkan dalam berbagai situasi dan peristiwa baru. Adapun prinsip fiqh ijtihadi menurut Turobi adalah kapabilitas dan dimensi ijtihad, serta musyawaroh dan kekuasaan.
Hasan Turobi meninggal 6 Maret 2016 saat berusia 84 tahun. Sebelum meninggal Turobi mengatakan pada publik tentang bahaya konflik politik, sebagaimana yang terjadi di Suriah, Libya, dan Iraq. Diantara karya-karyanya adalah; Fiqh As-Siyasi(Fiqh Politik), Al-Harokah Islamiyah Fi As-Sudan(Gerakan Islam di Sudan), Syuro dan Demokrasi, Tajdid Fikrul Islami(Pembaharuan Pemikiran Islam), Tajdid Ushul Fiqh(Pembaharuan Ushul Fiqh).