Harusnya Kita Jadi Green Flag bagi Muallaf, Bukan Sebaliknya

Harusnya Kita Jadi Green Flag bagi Muallaf, Bukan Sebaliknya

Harusnya Kita Jadi Green Flag bagi Muallaf, Bukan Sebaliknya

Kita tentu pernah berhenti di persimpangan dan kebingungan. Di tengah ketidakpastian, kita akan mempertanyakan keberadaan kita sebagai manusia, sambil perlahan menyusun kembali serpihan jati diri yang terus dibentuk oleh waktu. Kisah “Menjadi muallaf” seharusnya tak jauh berbeda.

Kala banyak pesohor menjadi muallaf di Ramadan tahun ini, menariknya kisah mereka berhadapan dengan persimpangan kehidupan tidak lagi urusan personal dan sakral. “Muallaf” tidak lagi sekedar “Pindah agama” atau transformasi personal, tetapi di saat bersamaan juga berupa membingkai dinamika spiritualitas seseorang, terutama publik figur. Kronik konversi agama para selebriti, padahal, tak selalu indah.

Di sisi lain, masyarakat kita selalu menyambut, bahkan merayakan, jika ada berita para publik figur yang berpindah agama yang mereka peluk. Sebaliknya, jika ada pesohor memilih untuk berpindah dari agama yang mereka peluk, maka dia akan mendapatkan hinaan, hujatan, bahkan tidak sedikit penolakan atau dipinggirkan hingga membahayakan kehidupannya.

Di beberapa kasus, bahkan, “perjalanan Spiritual” para tokoh publik ini pun suara publik tidak selalu ramah atau positif. Sorotan kepada Kae Asakura menjadi buktinya. Hujatan atas profesi terdahulu Kae Asakura seakan tidak bisa dilepaskan begitu saja, kala dia memeluk Islam. Jejak digital atas pekerjaannya dianggap tidak bisa “dihapus” begitu saja dan akan terus melekat sampai kapan pun. Walaupun, ada banyak doa-doa orang-orang baik dihaturkan.

Pilihan seseorang untuk konversi agama tidak bisa dipandang sebelah mata. Tak ada opsi mudah, walaupun hampir semua orang pindah agama dihiasi dengan perlawatan yang indah, mistis, dan spiritual. Setiap orang memilih melakukan berganti agama, maka dia telah memutuskan “Jalan terjal” di hadapannya. Mengapa?

***

Dalam kajian sosial dikenal teori “Liminalitas.” Teori ini diperkenalkan oleh Arnold van Gennep dan dikembangkan oleh Victor Turner, merujuk pada fase transisi dalam ritus peralihan, di mana individu berada di antara status sosial yang lama dan baru. Teori ini menekankan ketidakpastian, ambiguitas, dan potensi transformasi yang terjadi dalam ruang “antara” ini.

“Menjadi Muallaf” termasuk satu fase liminalitas seseorang. Pilihan agama boleh saja tidak kita sadari sedari dini, karna sebagian besar kita memeluk agama yang telah “dipilihkan” orang tua. Pilihan tersebut menjadi sumir, kala kita mendapatkan persfektif baru atas agama selama ini kita peluk. Sebagian orang memutuskan untuk memeluk agama baru, namun ada juga bertahan dengan pilihannya selama ini.

Dalam kondisi apapun, konversi atau pindah agama bukan pilihan mudah. Mengapa?

Memilih untuk berpindah agama adalah keputusan besar. Faktor hidayah atau petunjuk Tuhan memang unsur utama, namun kita tidak boleh berhenti di situ saja. Sebab, beragama tidak sekedar urusan keimanan belaka.

Kala kita memilih memeluk satu agama, maka kita juga akan bertaut dengan beragam dinamika sosial di dalamnya. Kehidupan sosial seseorang telah melekat dengan agama yang dia peluk, tradisi keberagamaan yang selama dijalankan, dinamika relasi keluarga jelas retak, karna bisa dipastikan akan ada keluarga yang selama ini terhubung karna seagama akan merasakan perbedaan di depan mata.

Proses pindah agama hari ini, terlebih bagi publik figur, tidak memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi mereka. Peluk erat, tepuk tangan, hingga senyum gembira kita tak selalu berarti “green flag” bagi sebagian muallaf. Setiap mereka tentu merasakan perubahan di banyak sisi, dan tentu hal ini perlu kesiapan hingga tingkat paling optimal, bahkan kadang tak terbayangkan oleh kita.

Kita seharusnya bisa menyediakan “ruang aman” bagi mereka yang muallaf. Bisa kita mulai dari menghormati privasi, perasaan, hingga waktu belajar bagi mereka yang memilih memeluk Islam. Kita seharusnya menjadi “teman” di sisi mereka dalam menjalani masa liminalitas yang mereka lalui. Jangan sampai kita malah terdepan, dalam mendorong untuk bercerita perjalanan spiritual mereka.

Setiap muallaf adalah manusia. Mereka memiliki beragam sisi sosial, seperti keluarga, teman, kolega, tetangga, hingga berbagai lingkaran masyarakat di mana mereka terlibat. Sebagian mereka bisa saja merasa tidak nyaman atau masih menjaga perasaan lingkaran lingkungan mereka. Kita jangan sampai mengeksploitasi mereka, baik dari sisi spiritualitas hingga komoditas.

***

Atta Halilintar, pemengaruh, mengobrol bersama dua pendakwah, yaitu Habib Saleh dan Ust. Khalid Basalamah membincang soal “Tren Muallaf.” Menurut Atta, menjadi seorang muallaf hari ini seakan telah menjadi tren di masyarakat Indonesia, karna menjadi muallaf tidak lagi disandarkan perjalanan spiritual, tapi popularitas yang mereka dapatkan.

Ramadan tahun ini, misalnya, ada nama-nama Richard Lee, Kae Asakura, dan Bobon Santoso menjadi sorotan media mainstream hingga media sosial. Perbincangan di beberapa “Warung Kopi” yang saya jumpai pun mengulik para pesohor yang memilih pindah agama. Atensi publik begitu besar dan kuat adalah “komoditas baru” tak jarang menggoda banyak publik figur.

Perjalanan “Menjadi Muallaf” hari ini lebih banyak menjadi “komoditas,” ketimbang narasi spiritual dan mistis nan ritmis. Atta sepertinya juga menyadari persoalan ini. Kembali lagi, kita akan berkelindan dengan “komoditas baru,” atensi publik, hingga medium baru yang massif. Saya pernah bertanya dengan dosen saya, “Mengapa sebagian besar kita tertarik atas kisah-kisah konversi agama?”

“Kita yang sudah lama menjadi muslim pun tak jarang merasakan “haus” akan narasi-narasi spiritual, diantaranya apa yang dirasakan para muallaf kala berpindah agama” ujar dosen saya. Walhasil, tawaran menggiurkan atas konsumsi masyarakat Muslim atas pengalaman konversi mereka menjadi godaan tersendiri bagi para publik figur.

Di sinilah, kita sebagai muslim juga dituntut untuk dewasa dan menjadi teman “green flag” yang bisa menghadirkan “ruang aman” bagi para muallaf, termasuk para pesohor. Dengan ini, kita bisa benar-benar mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin