Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016, Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Libur nasional karena bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila. Sejarahnya, pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno alias bapak proklamator kemerdekaan Indonesia sekaligus Presiden Pertama RI menyampaikan pidato yang berisi gagasannya mengenai dasar negara. Pidato inilah yang kemudian menjadi pedoman disusunnya UUD dan Pancasila.
Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, memberikan judul “Lahirnya Pancasila” pada pidato tersebut. Pidato yang menjadi cikal bakal lahirnya dasar negara Indonesia sekaligus Hari Lahir Pancasila itu setidaknya memiliki beberapa poin penting yang disampaikan Soekarno. Di antaranya:
- Kemerdekaan adalah jembatan emas
Mengapa disebut jembatan? Karena setelah merdeka, bangsa Indonesia akan leluasa menyusun masyarakatnya sendiri yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi. Kalau ada yang mengatakan bangsa Indonesia tidak sehat fisiknya, maka Bung Karno mengatakan di dalam Indonesia merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita. Di dalam Indonesia merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat. Di dalam Indonesia merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya.
Bung Karno memberikan contoh bagaimana Arab pada masa Ibn Saud tetap memerdekakan bangsanya meskipun 80% masyarakatnya suku badui yang tidak pandai. Dan bagaimana Lenin mendirikan Uni Soviet padahal masyarakatnya masih banyak yang buta huruf. Maka dari itu, jangan menunggu semua hal selesai untuk bisa merdeka. Karena kalau begitu, sampai kapan pun rakyat Indonesia tidak akan pernah merdeka. Merdeka saja dahulu, baru setelahnya kita menata bangsa ini.
- Syarat merdeka sekadar: bumi, rakyat, dan pemerintah yang teguh
“Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahnya, sudahlah ia merdeka,” papar Bung Karno.
Lagi-lagi Bung Karno menegaskan bahwa yang terpenting untuk bangsa Indonesia saat itu adalah kemerdekaan. Menurutnya, kesiapan negara-negara untuk merdeka itu berbeda-beda. Namun ada satu yang sama. Yaitu semua negara mampu mempertahankan negaranya masing-masing setelah merdeka.
Bahkan Bung Karno memberikan analogi yang sederhana, yaitu membandingkan kemerdekaan dengan perkawinan. Ada orang yang takut dan menunggu hingga dirasa sangat siap untuk kawin. Menunggu punya rumah dua tingkat, mobil, motor, pekerjaan tetap, pangkat yang tinggi, baru kawin. Ada juga yang hanya bermodalkan rumah gubug dan satu periuk tapi berani kawin. Meskipun dua-duanya kawin, belum tentu mana yang lebih bahagia, yang memiliki rumah gedung kah atau rumah gubug?
- Lima Dasar Negara: Pancasila
Bung Karno mengatakan bahwa sebuah bangsa berada pada lingkungan geo-politik tertentu (berasal dari ujung Sumatera hingga Irian), apabila hanya didasarkan pada kesamaan nasib dan kehendak bersatu, maka yang terjadi hanya persatuan di dalam suku bangsa, seperti suku Minangkabau, suku Pasundan, dll.
Maka dari itu, Bung Karno mengemukakan Pancasila sebagai Weltanschauung dan Philosophische Grondslag (sesuatu yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian disepakati sebagai dasar filsafat negara) yang cocok bagi bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
- Kebangsaan
Tetapi bukan kebangsaan yang chauvinisme (sangat mengagungkan bangsanya sendiri dan merendahkan bangsa lain). Karenanya menurut Bung Karno, kita membutuhkan pilar yang kedua yakni internasionalisme (peri-kemanusiaan).
- Internasionalisme
Menurut Bung Karno, internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Sebaliknya, nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi dua hal ini sangat bergandengan erat satu sama lain.
- Demokrasi
Pilar yang ketiga adalah Mufakat atau Demokrasi, yakni sebuah keputusan bersama harus dibahas oleh badan perwakilah rakyat, karena disanalah tempat tuntutan-tuntutan dikemukakan.
“Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan,” tutur Bung Karno.
- Kesejahteraan Sosial
Bung Karno menegaskan, “Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie (demokrasi politik dan demokrasi ekonomi) yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!.”
“Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka,” lanjutnya. Jadi, bagi Bung Karno kesejahteraan sosial harus mengacu pada demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang mendatangkan kesejahteraan dan dapat mengentaskan kemiskinan.
- Ketuhanan Yang Maha Esa
“Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa,” papar Bung Karno.
Jadi, maksud yang terkandung dari pilar Ketuhanan ini adalah kita harus menjalankan agama dengan berkeadaban. Yaitu saling hormat-menghormati satu sama lain dan berbudi pekerti yang luhur.
- Untuk mewujudkan dasar negara ini kita membutuhkan perjuangan
Kemudian poin terakhir yang beliau sampaikan setelah memaparkan gagasannya adalah pentingnya perjuangan setelah kemerdekaan. “Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit (realitas), jika tidak dengan perjoangan!”, paparnya.
Bung Karno mengeatakan bahwa dirinya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 untuk Weltanschauung itu. Panca Sila itulah yang berkobar-kobar di dalam dadanya sejak berpuluh-puluh tahun. Beliau pun mengatakan bahwa dengan merdeka, bukan berarti perjuangan telah selesai. Bahkan perjuangan yang lain baru saja dimulai, yaitu untuk mewujudkan dan mencapai apa yang dicita-citakan dalam Panca Sila tersebut.
“Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir.Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila,” pesan Bung Karno sebelum mengakhiri pidatonya.
Itulah beberapa poin yang dapat dipetik dari pidato Ir. Soekarno pada hari terakhir sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei-1 Juni 1945. Pidato ini pula lah yang kemudian menjadi cikal bakal penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.