Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia atau International Day to Combat Islamophobia. Resolusi tersebut diperkenalkan oleh Pakistan atas nama Organisasi Kerjasama Islam (Organization of Islamic Cooperation) lewat website resminya.
Putusan ini menandai hari ketika seorang pria bersenjata memasuki dan menembaki jemaah di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru. Akibat penembakan brutal itu, sebanyak 51 orang tewas dan 40 lainnya luka-luka. Utusan Pakistan untuk PBB Munir Akram resmi memperkenalkan bahwa Islamofobia telah menjadi kenyataan yang berkembang di beberapa bagian dunia.
Akram juga mengungkapkan bahwa Islamofobia menjadi sangat mengkhawatirkan akhir-akhir ini, karena muncul sebagai bentuk rasisme baru yang ditandai dengan xenofobia, profil negatif, dan stereotip terhadap Muslim. Sinyalemen itu juga sekaligus menegaskan bahwa terorisme tidak dapat dan tidak boleh dikaitkan dengan agama, kebangsaan, peradaban atau kelompok etnis mana pun.
Resolusi tersebut diadopsi melalui konsensus 193 anggota badan dunia dan disponsori bersama oleh 55 negara mayoritas Muslim. Penekanan utamanya adalah pada hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dan mengingatkan resolusi 1981 yang menyerukan “penghapusan segala bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan”.
Lebih lanjut Akram menuturkan, seperti yang dikutip oleh Al-Jazeera, bahwa resolusi tersebut meniscayakan penghormatan terhadap simbol dan praktik agama, serta membatasi pidato kebencian dan diskriminasi sistematis terhadap Muslim. Pernyataan Akram ini penting karena sering kali sikap intoleran bermula dari ujaran-ujaran kebencian yang diamplifikasi justru oleh tokoh-tokoh agama di mimbar masjid.
Penetapan tersebut tentu merupakan progress besar dalam dunia Islam. Di Indonesia sendiri, sudah banyak kebijakan yang secara langsung mendukung misi PBB tersebut. Kategorisasi penceramah radikal ala Badan Nasional Penanggulangan Terrorisme (BNPT) merupakan salah satunya.
Jika menilik ke belakang, isu islamofobia sebenarnya mulai menemukan momentumnya usai tragedi WTC 11 September 2001 di New York. Pasca terror tersebut, seruan peperangan terhadap terorisme dan komunitas Islam seolah-olah menjadi isu penting untuk selalu dibicarakan. Komunitas Islam dipandang sebagai penyebab segala permasalahan dan secara stereotip mereka menjadi sasaran tuduhan tersebut. Pasca serangan tersebut Amerika sampai mengeluarkan daftar pendatang yang dicurigai potensial sebagai teroris berlaku mulai tanggal 1 Oktober 2002.
Tidak hanya di Amerika Serikat, isu islamofobia juga terjadi di Australia, Inggris, bahkan di Indonesia. Di Indonesia kecemasan yang menyebar di masyarakat, terutama tuduhan di kalangan muslim, muncul terutama pasca terjadinya ledakan bom Bali, 12 Oktober 2002. Rentetan penangkapan beberapa orang Islam yang dianggap terkait seperti Amrozi, Ali Imron, Imam Samudra, bahkan seorang ustadz sepuh seperti Abu Bakar Baasyir pun dicurigai sebagai dalang terjadinya kekacauan di negeri ini.
Stereotip itu kemudian menyasar pada pria pemelihara jenggot, orang yang mengenakan jubah, wanita yang bercadar, hingga orang yang jidatnya hitam. Pemilik rumah kontrakan, misalnya, akan mengalami kecemasan ketika rumah kontrakannya ditinggali oleh pria berjenggot.
Di Indonesia, yang memiliki penduduk mayoritas muslim, fenomena terjadinya islamofobia menjadi suatu hal yang menarik karena dalam komunitas Islam juga terjadi ketakutan terhadap Islam tersebut. Budaya Indonesia yang relatif condong pada kolektivitas, interdependensi antar individu, serta menjaga keharmonisan, umumnya menghindari konflik yang terbuka.
Saya sendiri pernah merasakan perasaan semacam itu. Ketika saya sedang di warung kopi yang waktu sedang ramai-ramainya, tiba-tiba datang sepasang suami istri beserta anaknya. Lelaki itu mengenakan jubah ditambah celana di atas mata kaki, istrinya menggunakan cadar hitam pekat, dan anaknya menggunakan peci putih. Jujur saja, perasaan saya pada waktu itu lumayan gelisah dan campur aduk. Saya jelas tidak menuduh bahwa keluarga itu akan membawa sebuah petaka di warung kopi itu. Namun saya tetap saja resah. Pada akhirnya saya tahu, bahwa perasaan itu adalah benih islamofobia yang sudah menjajah alam bawah sadar saya.
Fenomena Islamofobia dapat disikapi sebagai wujud natural dari proses prasangka dalam sebuah komunitas masyarakat, namun beberapa hal perlu ditindaklanjuti agar kecurigaan antar kelompok tersebut tidak makin meruncing dan menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan serta merugikan bagi suatu komunitas masyarakat.
Pemahaman yang benar dan positif, keterbukaan pandangan serta kejernihan sikap hidup dan kualitas mental dalam menerima keberadaan kelompok lain akan menjadi kunci bagi masing-masing kelompok untuk berkompetisi secara sehat dan menunjukkan keunggulan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. Akram memungkasi pernyataannya dengan mengatakan, “Tantangan selanjutnya adalah memastikan implementasi resolusi penting ini.”