Hari ini 14 Februari dan banyak orang merayakannya sebagai Hari Valentine. Lalu, setiap tahun juga, banyak orang melakukan pelarangan atas perayaan ini, baik secara tidak langsung, seperti aksi di jalan, atau tidak langsung seperti membuat aturan atau tulisan yang memuat fatwa haram merayakan hari valentine.
Dasar-dasar fatwa keharaman perayaan ini bermacam-macam, mulai dari penyerupaan kepada suatu kaum di luar Islam, hingga kesepakatan ulama yang mengatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Nah, implikasinya, haram bagi seorang muslim untuk menyelenggarakan, menyetujui, menampakkan kegembiraan, atau membantu perayaan apa pun selain keduanya; Idul Fitri dan Idul Adha.
Fatwa keharaman merayakan Hari Valentine ini biasanya tersebar begitu saja melalui broadcast whatsapp dan akun-akun dakwah di media sosial lainnya. Dalam broadcast yang tersebar, fatwa tersebut biasanya dilanjutkan atau didahului dengan sejarah valentine itu sendiri, yang tentu saja tidak dicantumkan sumbernya. Komponen lain yang biasanya ada dalam konten tersebut adalah bahaya-bahaya yang mungkin terjadi jika anak-anak remaja merayakannya, seperti seks bebas dan konsumsi alkohol.
Baca juga: Dilan dan Milea Membincang Valentine Haram
Broadcast atau konten seperti itu bisa jadi didasari oleh fatwa yang benar dan sejarah yang juga benar. Tapi berapa banyak di antara pembaca yang mau melakukan cross-check tentang isi dari konten yang mereka terima dan baca? Jika tidak banyak, siapa yang bisa memastikan apakah konten tersebut berisi fakta-fakta yang saling berhubungan atau hanya sekumpulan premis yang kemudian ditarik kesimpulannya secara serampangan?
Faktanya, beberapa umat kristiani juga menolak perayaan Hari Valentine ini, dengan alasan bahwa ini merupakan perayaan kaum pagan sebelum hadirnya Kristen. Dan masih banyak fakta lain yang jika kita mau menelisik lebih dalam.
Begini saja. Jika perayaan dalam Islam hanya Idul Fitri dan Idul Adha, maka merayakan tahun baru hijriyah pun tidak diperkenankan. Sekalipun dirayakan dengan cara yang barangkali sangat islami, seperti doa bersama. Begitu pula, memandang bahwa menampakkan kegembiraan dan membantu perayaan selain dalam Islam juga sangat dangkal. Dalam realitasnya, orang-orang yang menjadi mualaf, tentu akan membantu, atau setidaknya ikut berkumpul bersama keluarga dan turut berbahagia saat ada perayaan agama keluarga mereka, seperti Hari Natal bagi umat Kristiani dan Katolik.
Lalu bagaimana dengan Hari Valentine? Hukum haram mutlak perayaan Hari Valentine dalam berbagai broadcast whatsapp atau konten akun-akun dakwah ini membuat banyak orang takut.
Padahal, ketakutan bahwa anak-anak mereka akan terjerumus dalam seks bebas dan konsumsi alkohol tidak ada hubungannya dengan perayaan ini. Bukankah saat ini banyak anak-anak yang jatuh dalam lubang seks bebas dan konsumsi alkohol, yang sesungguhnya tak ada hubungannya dengan perayaan yang lekat dengan bunga dan cokelat ini?
Ketakutan yang disebarkan dalam broadcast whatsapp atau konten akun-akun dakwah seperti ini sesungguhnya agak berlebihan. Ketakutan bahwa anak-anak remaja mereka akan terjatuh dalam hal-hal negatif merupakan ketakutan semua orang tua, dengan atau tanpa adanya perayaan Hari Valentine.
Orang tua yang mampu memberikan pengawasan dan kasih sayang tanpa syarat pada anak-anak remaja mereka, sesungguhnya tak perlu terlalu khawatir bahwa anak-anak mereka akan mencari bentuk kasih sayang lain yang salah. Begitu.