Sejarah panjang manusia selalu dibayang-bayangi oleh kekuatan gaib, ‘tak-terukur’, supranatural dan segala varian nama-nama bermakna ‘tak terdefinisikan’ atau ‘tak-terpersepsikan’ oleh pancaindra. Berjalannya jagat raya yang teratur dan tersistem sedemikian rupa membuat akal dan seluruh dalil ilmu pengetahuan hingga sekarang mesti ‘puas’ dengan jawaban tentang realitas adanya Sang Pengatur.
Pasti! Ada Kekuatan Besar di balik rupa-rupa kehidupan di dunia ini. Keyakinan yang bahkan sudah tumbuh di kepala manusia sejak zaman primitif, ketika Kekuatan Besar itu dipersepsikan amat manusiawi dengan rupa, simbol atau lambang yang mewakili keyakinan yang mencuat dari perasaan kolektif manusia kala itu.
Ketika rupa kehidupan, keajaiban dan kegaiban tak kunjung diselesaikan dengan kontemplasi, realitas adanya kematian akibat purnanya ruh dan raga dari kehidupan nyata membuat masalah manusia bertambah lagi. Mengapa ada sekian juta makhluk pernah hidup dan sekian juta lainnya kemudian mati? Mengapa terjadi perputaran semacam ini?
Manusia kemudian memercayai bahwa kekuatan gaib memang ada. Kekuatan gaib itu pernah ditafsirkan bersemayam di benda-benda (dinamisme). Ada pula yang melekatkannya di roh-roh nenek moyang (animisme) dan hewan-hewan yang disakralkan (totemisme). Manusia berpikir dan mengembangkan akalnya, tetapi tetap percaya di balik mekanisme ini kekuatan gaib itulah yang memiliki dan mengatur segalanya.
Begitulah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) memulai berfalsafah tentang ketuhanan. Tokoh melesat namanya sebagai pegiat susastra lewat Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939). Lewat dua karya itu pula namanya berada di ingatan pembaca sebagai salah seorang ‘pengembang’ Sastra Indonesia Modern yang karyanya masih dicetak dan dijadikan bahan kajian oleh akademisi.
Khalayak mungkin agak mengaburkan biografi sang tokoh sebagai agamawan dan politikus karena ‘kedua’ karya di atas sempat muncul dengan wahana film dan memopulerkan namanya sebagai pengarang kasusastraan. Padahal puluhan buku hadir ke pembaca dikenal dengan buku-buku bercap agama.
Salah satu buku itu berjudul Falsafah Ketuhanan. Buku ini mengenalkan pelbagai sejarah manusia dalam memikirkan muasal alam dan Tuhan. Hamka berkisah bahwa sejak primitif, kala manusia belum mahir mengasah akalnya, telah mewujud perasaan ada yang menguasai alam ini.
Ia menulis: Kesan pertama bahwa ada yang Mahakuasa itu merata pada seluruh manusia karena kesan ini tumbuh apabila akalnya sudah mulai berjalan. Bahwasanya ada suatu kekuatan tersembunyi di latar yang tampak ini. Yang selalu terasa ada tetapi tidak dapat ditunjukkan tempatnya.
Hamka menerangkan semakin berkembangnya akal dan pikiran, maka akan berbanding lurus dengan ketakjuban dan keimanan kepada Tuhan. Namun, sekarang manusia lebih banyak menuhankan akal. Padahal akal tidak berkompetensi untuk berpikir hingga wilayah ruang, waktu dan aturan-aturan alamiah yang ada di muka bumi ini yang senantiasa berjalan berkecenderungan sifat sama yang artinya ada Zat yang membuatnya berlaku seperti itu.
Alam memiliki aturan-aturan dan sudah barang tentu aturan itu dapat dijalankan berkat adanya Sang Pengatur. Tidak ada yang mengatur mengartikan tidak ada aturan. Apabila semua yang hidup pada hari ini bebas bertindak sendiri, tetapi mengapa secara kebetulan dalam kebebasan itu seluruh makhluk itu ‘tumbuh’ dengan aturan yang sama?
Hamka menuliskan. “… memutuskan bahwa sang pengatur itu tidak ada adalah memutuskan suatu pikiran dalam kekacauannya. Sebab, lebih sangat sulit jika dikatakan bahwa zarrah mengatur dirinya sendiri dan lebih sulit lagi jika dikatakan bahwa zarrah itu menciptakan dirinya sendiri atau terjadi sendiri.” Perjalanan berakal mesti berakhir pada simpulan: ada yang mengatur. Titik.
Hamka melanjutkan bukti-bukti lain terkait mekanisme alam dan hubungannya dengan keberadaan Tuhan. Ia menyebutkan empat dalil: pertama, manusia mengakui bahwa mereka ada bukan atas kehendaknya. Begitu pula benda-benda baik hidup maupun tak hidup. Tak pernah sekalipun benar-benar ada peran manusia dalam penciptaannya.
Kedua, setiap kali manusia mendapati makhluk tumbuh dapat hidup dan bahkan menghidupi, manusia tak sekalipun pernah bisa benar-benar meniru dalam menciptakannya. Hewan, binatang, bahkan unsur abiotik seperti tanah, awan, gunung, dan seterusnya. Semua itu tumbuh dan bertahan menurut peraturan tertentu. Sudah pastilah yang menciptakan adalah Zat yang sama dengan yang memeliharanya sedemikian rupa.
Ketiga, manusia meyakini benda-benda berat akan tenggelam ketika dilemparkan ke air. Lalu lintas dengan jamaknya kendaraan akan berbenturan pula meski ada aturan, rambu dan petugas yang mengaturnya. Namun, mengapa bintang, bulan, matahari yang tentu lebih berat tak jua jatuh? Mengapa planet-planet, bintang-bintang dan benda-benda langit lain tak pernah berbenturan dan memiliki lintasannya masing-masing, meski di angkasa terdapat milyaran benda?
Keempat, dalil permulaan. Tiap-tiap hal memiliki permulaan. Suatu batu bisa bermula bermilyar-milyar tahun. Begitu pun tanah bisa bermula sekian juta tahun. Seburuk-buruknya kita hanya bisa menyebutkan ‘tidak tahu siapa yang membuat’, bukan berkata ‘tidak ada yang membuat’. Yang mengadakan adalah Allah atau Tuhan!
Hamka melalui Falsafah Ketuhanan sebenarnya telah membuka suaka pikiran kita dalam menuntaskan keraguan atas Allah atau Tuhan. Hamka berharap pembaca dapat lebih baik dalam membenarkan firman-firman Allah dalam Alquran dan yang tersirat melalui alam.
Orang-orang diajak membaca agar turut merasakan getaran-getaran dalam sanubari mereka atas fakta-fakta bergelimangan di sekitar mereka. Getaran-getaran itu lantas membuat mereka menunduk dan mengakui kebesaran dan kekuasaan-Nya yang takkan pernah sepadan disandingkan dengan akal, mental dan seluruh pengetahuan mereka. Hamka mengajak kita tetap berakal dan bertuhan agar meningkatkan iman dan takwa. Wallahua’lam.
Nanda Aziz Rahmawan, mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Negeri Semarang. Menulis puisi dan esai. Bisa ditemui di Instagram @nandaaziz17