Melihat ustaz Sugi Nur bertausiyah menafsirkan al-Qur’an surat Fatir ayat 28, mengingatkan saya pada buku Filsafat Negasi yang ditulis Gus Muhammad Al-Fayyadl.
“Kita adalah jiwa yang meng-“ada” yang berhadapan jiwa meng-”ada” lainnya, merangsek menggasak “ada” yang mapan untuk menghidupkan “ada” itu sendiri, berjalan menuju nomena dengan garis akhir menjadi fenomena.”
Begitu kira-kira yang saya serap dari buku gubahan Al-Fayyadl.
Bapak Sugi Nur barangkali telah mencapai titik fenomenal sehingga yang diucapkannya menuai banyak respons, kalau tidak ingin menyebutnya hujatan. Namun di sisi lain saya kagum dengan jamaahnya yang begitu khusyuk mendengarkan tausiyahnya. Boleh jadi pancaran kemilau Sugi membuat mereka menjadi takjub.
Sebelumnya, haqul yaqin, kita semua bahkan telah tahu bilamana bapak Sugi begitu getol menghewan-hewankan manusia, tidak peduli meski itu di forum ceramah keagamaan.
Alhamdulillah, masya Allah, sekarang beliau telah insaf. Ya, kini dia telah cuti menghewankan manusia. Sebaliknya, ceramah beliau kini hijrah menjadi meng-ulama-kan hewan-hewan.
Jika sebelumnya bapak Sugi terjerembab dalam lumpur cebongisasi dehumanisasi, kini beliau mencoba mendekati maqam Yazid Busthami yang merasa hina di hadapan Tuhannya, bahkan untuk sekedar berjalan beriringan dengan seekor anjing.
Dengan kelewat lantang bapak Sugi menyatakan bahwa ular, kambing, ayam, dan juga seluruh hewan-hewan, jika takut kepada Allah mereka (hewan-hewan) dapat juga digelari sebagai ulama.
Saya tidak habis pikir, bapak Sugi ternyata mampu mengejawantahkan diri sebagai penggugat status quo. Tidak tanggung-tanggung, yang digasak dinegasikan adalah tradisi penafsiran al-Qur’an.
Memang, bapak satu ini ajaib, khāriq al-‘ādah, lepas dari garis mainstream untuk tidak menyebut beliau kebablasan. Para mufasir dari masa tabi’in hingga kontemporer bahkan tidak pernah ada yang menyebut hewan bisa jadi ulama.
Tapi, tak apa. Mari berhusnozon saja: barangkali bapak Sugi telah khatam membaca kitab-kitab itu dan beliau sudah bosan dengan pendapat yang itu-itu saja. Barangkali bapak Sugi terisnpirasi oleh Jamal al-Banna dalam karyanya Tathwir al-Qur’an yang mengritisi elemen kuno dari mufasir klasik. Barangkali juga beliau meresapi betul filsafat negasi, mendalaminya sampai terbawa di alam mimpi.
Namun, barangkali saja hanya sebatas barangkali. Tidak ada bukti kalau bapak Sugi suka membaca, yang ada beliau mengaku tiada kuasa menelaah kitab-kitab klasik.
Mari masuk pada tausiyah bapak Sugi mengenai hewan-hewan melata dan gunung yang, menurutnya, bisa jadi ulama.
Sebelumnya bapak Sugi tidak yakin apakah yang dikutipnya adalah ayat 28 ataukah 29, tapi dengan tegas diyakininya jika yang dikutip adalah ayat 29. Namun, sebagai hamba yang daif, saya merasa perlu meluruskan bahwa yang hendak dikutipnya adalah ayat 28.
Selanjutnya, bapak Sugi mencoba menghubungkan dua anak kalimat yang semestinya dipisah. Bahkan oleh al-Biqa’i yang kitab tafsirnya saja diberi judul Nadzm al-Durar fi Tanasub al-Ayy wa al-Suwar, dua anak kalimat pada ayat 28 ini saling terpisah: yang pertama terhubung dengan ayat sebelumnya dan yang kedua berkelindan dengan ayat setelahnya.
Mengenai makna ulama yang takut kepada Allah, demikian terang Al-Biqa’i dalam kitabnya, yang sejatinya dimaksud adalah “tidak ada seorang yang takut kepada-Nya kecuali setelah ia mengenal-Nya, atau telah ma’rifat kepada-Nya”.
Orang bodoh, dengan demikian, tidak mungkin bisa ma’rifat. Lebih jauh bagi al-Biqa’i, ayat ini adalah peringatan dari Allah tentang “ke-tidak-manfaatan sesuatu kecuali bagi orang-orang yang takut kepada Allah.” Adapun yang takut kepada Allah hanyalah ulama.
Orang yang ‘alim (bentuk tunggal dari ulama) adalah orang yang memahami dan mengamalkan ilmunya. Selanjutnya al-Biqa’i mengutip al-Suhrawardi bahwa tiada ilmu bagi orang yang tidak takut kepada Allah.
Kata ma’rifat sendiri dimaknai oleh al-Raghib al-Asfahani dengan proses mengetahui dan mengenal sesuatu. Sifat ini khusus melekat pada didri manusia. Oleh karenanya gelar al-‘arif tidak layak disandarkan kepada Allah yang memiliki sifat sempurna al-‘alim. Allah adalah inti ilmu itu sendiri, tidak butuh proses. Hanya manusia yang berproses menuju kearifan itu.
Masalahnya, apakah hewan bisa ma’rifat? Bapak Sugi mungkin akan mengiyakan, begitu juga jamaahnya.
Maka, pastilah berat menjadi jamaah setia bapak Sugi. Salah-salah mereka bisa memakan ayam yang ulama. Apalagi kalau hobi makan telur, tiap hari bisa-bisa mengunyah bakal calon ulama. Ketika melihat tulisan sate kambing yang ada di benak mereka adalah ulama tusuk bakar. Mereka pasti benci Upin-Ipin yang gemar memakan ulama goreng. Meyakini kebodohan sebagai kebenaran memang berat, sodaraku!!!
Baik. Mari kita simak petuah Nabi SAW berikut:
وَأَنَّ العُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَرَّثُوا العِلْمَ، مَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ
Hadis di atas adalah matan dari Shahih Bukhari yang di-takhrij oleh beliau untuk melengkapi bab ilmu sebelum berkata dan beraksi. Hadis ini sangat masyhur. Orang yang mengerti agama pasti tahu hadis ini bahwa ulama adalah pewaris para Nabi.
Jadi, apakah bapak Sugi tidak memikirkan akibat dari pernyataannya kalau hewan bisa jadi ulama? Kalau mengikuti cara berpikir Sugi, konsekuensi logis dari pernyataannya itu adalah adanya kemungkinan pewaris para Nabi adalah hewan-hewan.
((((Pewaris para Nabi adalah hewan-hewan))))
Sugi Nur, dalam video yang beredar, sedang menafsiri Surat Fathir ayat 28 dengan jitu.
Dia bilang, semua makhluk, seperti ayam hingga ular, bisa jadi ulama. Saya khawatir, ayam yang setiap hari saya makan, ternyata ayam ulama.
Takut kuwalat, saya~
— Rumail Abbas (@Stakof) February 25, 2020
Ala kulli hal, teruntuk bapak Sugi yang masih manusia, mungkin benar kata orang kalau letak perbedaan antara kepandaian dan kebodohan adalah pada batas. Kepandaian ada batasnya, sedangkan kebodohan bisa jadi tak terbatas.
Ini mengingatkan saya pada salah satu ceramah Kiai Mustofa Bisri, kalau di atas langit masih ada langit, maka di bawah (bumi) ada yang lebih bumi lagi. Ya, di bawah yang bodoh, ternyata masih banyak yang lebih bodoh. Siapakah mereka?
Mendiang Rusdi Mathari mensinyalir kalau mereka itulah yang, “merasa pintar, bodoh saja tak punya.”