Selama ini perempuan kerap kali menjadi objek, baik dalam kehidupan dunia maupun imajinasi kehidupan diakhirat, dalam hal ini surga. Pertanyaan yang sering muncul juga, kenapa imajinasi dalam kehidupan ini didominasi oleh laki-laki? Padahal keduanya sama-sama manusia yang diciptakan Sang Pencipta untuk saling memanusiakan.
Historis perempuan pada masa lalu yang menjadi objek, baik dari sisi agama maupun sosial berdampak pada konsep keadilan hakiki bagi perempuan yang tidak banyak diperbincangkan. Jika melihat dari sudut pandang Islam, laki-laki dan perempuan merupakan subjek penuh dalam kehidupan sebagai khalifah, sehingga keduanya wajib mewujudkan kemaslahatan dan menikmatinya bersama-sama dalam rangka mencapai keadilan hakiki untuk semua umat.
Kemaslahatan itu sendiri harus dibentuk dengan mempertimbangkan kondisi perempuan, utamanya kondisi biologis yang melekat pada perempuan, seperti mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Dalam hal ini, kondisi perempuan harus banyak dipertimbangkan dalam berbagai level kehidupan. Kondisi perempuan itu sendiri bermacam-macam, ada yang difabel dan non-difabel, menikah dan punya anak, menikah tidak punya anak, ibu tunggal, dan perempuan yang bekerja.
Di dalam scope keluarga pun keadilan hakiki bagi perempuan itu harus mempertimbangkan kondisi biologis perempuan. Misalnya perempuan harus menjadi subjek yang harus ditanya dan ikut memutuskan, ketika berhubungan seksual akan berakhir dengan kehamilan atau tidak.
Untuk level kewarganegaraan, perempuan jelas berstatus sebagai warga penuh, yang mana negara pun harus melihat perempuan sebagai suatu komunitas yang dapat menjadi dasar dalam membentuk kebijakan dengan memerhatikan juga kondisi perempuan yang beragam.
Dalam cakupan kerusakan alam pun sangat berbeda sekali kondisi antara laki-laki dan perempuan. Ketika pasokan air bersih tidak ada dan terpaksa menggunakan air kotor, maka perempuan sangat rentan terkena penyakit biologis. Air kotor tersebut sangat mungkin sampai ke rahim melalui vagina, karena bentuk vagina yang terbuka. Faktor biologis ini sangat melekat pada perempuan.
Untuk mewujudkan keadilan, perempuan bukan hanya membentuk kemaslahatan di dalam rumah, begitupun laki-laki yang tidak hanya membentuk kemaslahatan di luar rumah. Hal ini karena pengalaman khas perempuan merupakan bagian dari yang tidak terpisahkan dari kemanusiaan. Meskipun yang mengalami hanya perempuan saja, tetap saja masuk ke dalam isu kemanusiaan yang harus diselesaikan bersama-sama.
Permasalahan ketidakadilan bagi perempuan sebaiknya tidak hanya diselesaikan oleh sesama perempuan saja, tetapi diselesaikan bareng-bareng. Jangan sampai kemaslahatan dan keadilan dibangun hanya menggunakan parameter laki-laki saja. Misalnya imajinasi mengenai surga, yang mana perempuan digambarkan sebagai bidadari yang melayani laki-laki. Di kehidupan dunia saja perempuan sudah melayani, lalu kapan istirahatnya kalau di surga saja tetap melayani? Dalam hal ini, perlunya cara pandang perempuan dalam menggambarkan imajinasi kehidupan di surga untuk mencapai adil.
Cara pandang dalam perspektif keadilan hakiki adalah melihat bahwa permasalahan yang terjadi pada perempuan itu menjadi bagian yang melekat dari perempuan sebagai manusia. Oleh sebab itulah persoalan keadilan perempuan adalah persoalan kemanusiaan. Cara pandang keadilan hakiki dihadirkan supaya konsep kemaslahatan membawa pengalaman khas perempuan. Islam sendiri identik dengan kemaslahatan.
Jika memerhatikan kerangka berpikir fatwa yang lebih dekat dengan laki-laki, permasalahan perempuan apapun apabila ditanyakan, pola jawabannya selalu seperti ini ‘Kalau menimbulkan fitnah bagi laki-laki maka tidak boleh. Kalau sudah pasti tidak menimbulkan fitnah, boleh.’ Dalam hal ini, hukum-hukum itu pun secara tidak langsung telah mengkotak-kotakkan peraturan yang diperuntukkan bagi perempuan yang cantik dan tidak cantik atau lainnya yang berkaitan dengan fitnah,
Lalu, apakah sesuatu yang disebut maslahat membuat perempuan semakin sehat? Jawabannya tentu iya, baik itu secara mental atau fisik. Kalau tidak maslahat, perempuan yang mengandung pun jadi punya masalah sosial seperti marginalisasi, diskriminasi, bahkan kekerasan seksual. Hukum kekerasan seksual sendiri itu haram, baik di dalam perkawinan atau di luar perkawinan, karena dampaknya sangat berbahaya dan berjangka panjang.
Kemaslahatan dalam Islam
Sejarah peradaban manusia pada massa jahiliyah diwarnai dengan norma sosial bahwa perempuan itu mutlak milik laki-laki, artinya laki-laki menjadi subjek dan perempuan objek. Di dalam cara pandang patriarki secara umum, perempuan dipandang sebagai objek yang nilainya ditentukan oleh daya tarik seksualnya. Untuk laki-laki nilainya dipandang dari sisi ekonomi, yang mana dilihat melalui seberapa banyak hartanya.
Norma sosial ini diubah oleh Islam dengan cara pandang kemanusiaan melalui Alquran yang diturunkan selama 23 tahun. Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang primer sebagai khalifah untuk mewujudkan kemaslahatan, dan berkedudukan sekunder sebagai hamba Allah. Kehadiran Islam bukan untuk mengkotakan laki-laki dan perempuan dari segi kedudukan dan peran.
Lalu, bagaimana dengan pernyataan perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki? Menurut Bu Nur Rofiah, di dalam Alquran, secara spiritual laki-laki dan perempuan diciptakan dari jiwa yang satu dan independen. Secara biologis pun diciptakan pertama kali dari tanah yang selanjutnya merupakan hasil dari pembuahan sperma dan sel telur.
Untuk fungsi reproduksi laki-laki dan perempuan pada masa jahiliyah, normanya ialah perempuan milik ayah, maka ayah punya hak menyetubuhi anak kandungnya. Ketika hendak menikah, laki-laki yang menikahi anak perempuannya harus memberikan sejumlah uang kepada ayahnya, supaya ia bisa menyetubuhi anaknya.
Sistem reproduksi perempuan yang berbeda menjadi asal mula perempuan tidak dianggap sebagai manusia. Dampaknya perempuan tidak dilibatkan di ruang publik. Pada masa jahiliyah, untuk menyelamatkan perempuan caranya ialah dengan menyimpan perempuan di dalam rumah.
Islam merespons kondisi demikian dengan larangan mendekati zina dan larangan zina, yang mana secara sosial melindungi perempuan dari pelecehan seksual. Untuk kondisi sekarang pun ada otoritas yang mengatur hal tersebut, yaitu negara melalui berbagai kebijakan dengan tujuan melindungi rakyatnya dari kejahatan.
Untuk mengukur sesuatu disebut maslahat, salah satu parameternya adalah perempuan merasakan kemaslahatan tersebut dan mampu menjangkau kondisi khas perempuan. Jika sesuatu tidak maslahat, dapat dilihat ketika berdampak buruk bagi perempuan.
Kemaslahatan ini sangat signifikan bagi perempuan, karena perempuan lebih rentan dalam banyak hal dibandingkan laki-laki.