Hakikat Kepemimpinan

Hakikat Kepemimpinan

Hakikat Kepemimpinan

Membincang kepemimpinan memang sangat menarik. Karena diam-diam kebanyakan orang sesungguhnya menyadari bahwa dirinya lemah sehingga mendambakan pemimpin yang begini atau begitu, yang intinya haruslah lebih baik dari dirinya. Memang ada juga orang yang tidak sadar, bahkan bisa dikatakan keblinger karena merasa bahwa hanya dirinyalah satu-satunya orang yang pantas menjadi pemimpin. Kepemimpinan manusia memang sebuah misteri.

Begitu Tuhan menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi, malaikat muqarrabiyn langsung mempertanyakan, “Apakah Engkau hendak menjadikan makhluk yang akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di sana, sedangkan kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dan Tuhan hanya menjawab, “Sungguh Aku mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui!” (QS. Al-Baqarah, 2:30)

Entah berhubungan secara langsung dengan ayat di atas atau tidak, dalam catatannya di “Buku Langgar”, filsuf Jawa yang hidup di abad 20, Ki Ageng Suryomentaram, tertulis, “Rumaos leres punika yen dipun ucapaken utawi dipun serat, temtu kirang candra langkung warna awit saking gaibipun. Sampun ingkang pacakan manungsa, sanajan malaikat muqarrabiyn boten sumerep.” (Perasaan merasa benar, jika mesti diucapkan atau ditulis tentu akan mengalami kesulitan di dalam menemukan kalimat yang tepat. Karena itu jangankan umat manusia, bahkan malaikat muqarrabiyn pun tak dapat memahaminya dengan benar).

Kalau kita kaitkan ungkapan Ki Ageng di atas dengan QS 2:30, memang semakin menarik. Karena faktanya, setiap kali manusia menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah sumbernya adalah perasaan merasa benar yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Maka sangatlah naif saat kita membincang ihwal kepemimpinan namun tidak terlebih dahulu melihat ke dalam, yaitu bercermin dari dari sendiri.

Hakikat kepemimpinan adalah sebagaimana hadis nabi yang termaktub dalam Shahih Muslim 1796, “Ketahuilah, setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang Amir yang berkuasa atas rakyat akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang wanita adalah pemimpin dalam rumah, suami, dan anak-anaknya, ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin atas harta kekayaan tuannya yang dipercayakan kepadanya, ia juga akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Ketahuilah, setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Ibnu Umar)

Lagi-lagi, entah terkait dengan hadis di atas atau tidak, Ki Ageng Suryomentaram memberikan wejangan yang sangat menohok sehubungan dengan kepemimpinan atas diri sendiri ini, “Tidak ada kebahagiaan tanpa dengan membahagiakan orang lain. Barangsiapa berbahagia tanpa dengan membahagiakan orang lain, berarti ia tengah mengalungkan tali untuk menjerat lehernya sendiri.

Jadi, hakikat memimpin sesungguhnya adalah mengelola perasaan merasa benar yang ada di dalam diri sendiri. Seorang koruptor misalnya, ia tidak akan pernah melakukan korupsi jika perasaan merasa benarnya untuk menilap uang yang bukan haknya—mumpung ada peluang dan kesempatan—tak ia perturutkan.

Hakim yang adil juga terjadi karena perasaan merasa benarnya lebih berpihak pada keadilan ketimbang menerima suap dan sejenisnya, misalnya. Artinya, seseorang melakukan perbuatan tercela atau terpuji itu sangat bergantung dengan bagaimana ia mengelola perasaan merasa benar yang ada di dalam dirinya.

Tiga Kategori Perasaan Merasa Benar

Dalam “Buku Langgar”, Ki Ageng Suryomentaram membabar bahwa setiap orang akan senantiasa memiliki perasaan merasa benar, siapa pun dia dan apa pun yang telah dilakukannya. Bahkan, orang yang telah menjadi kerak neraka sekalipun, akan tetap memiliki perasaan merasa benar. (Tiyang ingkang wonten ing sak intiping naraka tansah rumaos leres).

Secara sederhana Ki Ageng menjelaskan ada tiga kategori di dalam mengelola perasaan merasa benar yang ada di dalam diri setiap orang. Pertama adalah kategori Petruk jadi Raja. Orang yang merasa benar dalam kategori ini akan mempertahankan kebenarannya dengan cara merendahkan atau menjelek-jelekkan kebeneran orang lain. Terus menerus mencari kesalahan orang lain demi menunjukkan bahwa dirinya tidak lebih buruk.

Kategori ini diberikan tamsil oleh Ki Ageng, “Jebul damparipun dingklik saoto, pincang. Yen dipun ladosi duren pilih ponggenipun. Yen mireng kawruh ingkang boten cocog kalian kawruhipun piyambak, dingklik saoto lajeng hoyag. Wasana angglimpang ngrebahi deg-degan.” (Ternyata singgasananya hanyalah dingklik berkaki tiga yang tak seimbang. Jika disuguhi durian akan membuang dagingnya dan hanya memungut bijinya. Jika mendengar ada pengetahuan orang lain yang berbeda, singgasananya akan goyah. Dan akan terjungkal sehingga membuatnya senantiasa berdebar-debar saat berada di singgasananya.)

Kedua adalah kategori Arjuna yang menggenggam amanah semesta. Dalam kategori ini orang akan bersikap otoriter tidak mombolehkan orang lain begini begitu demi perasaan merasa benar yang diteguhinya. Baik dan buruknya menjadi relatif karena ia dapat menjelma sebagai sosok Godfather dalam kisah-kisah Mafioso, atau menjadi sebagaimana seorang pemimpin bijak bertangan besi.

Tamsil Ki Ageng, “Arjuna nalika melek: Wong sajagad iki nek ora tak tunggoni sakedhep netra wae lebur, mulane padha jogedan nang pangkonku.” (Arjuna saat terjaga, “Penghuni dunia ini jika tidak aku lindungi, dalam sekejap pandangan mata saja akan hancur. Karena itu mereka menggantungkan kebahagiannya dalam pangkuanku.)

Kategori pamungkas adalah merasa benarnya Bathara Wisnu. Merasa benar dalam kategori terakhir ini tidak akan pernah salah karena pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan cinta kasih tanpa pamrih. Karena tanpa pamrih, maka ia hanya berupaya memberikan yang terbaik saja kepada semesta. Alih-alih mengharapkan timbal balik, bahkan ketika pemberiannya diabaikan sekalipun ia tidak bosan-bosannya untuk tetap memberi dan memberi.

Tamsil Ki Ageng, “Sanajan bumi iki tangkep karo langit, isih tak enteni begjamu!” (Walaupun bumi telah merapat dengan langit, aku akan tetap setia menunggu agar kamu bahagia!)

Mari bercermin bersama-sama, berada dalam kategori manakah kita ini di dalam mengelolala perasaan merasa benar di dalam diri? Wallaahu a’lam bishshawwab. []

Muhaji Fikriono adalah penulis buku Al Hikam untuk Semua dan Puncak Makrifat Jawa. Bisa ditemui di @Hikam_Athai