Tulisan ini berawal dari permenungan sekaligus kecemasan saya sebagai orang muda dalam menyikapi beberapa fenomena intoleran belakangan ini. Entah itu dalam taraf kategori minoritas sebagai suku, etnis, ataupun agama. Perbedaan-perbedaan itu tidak lagi dilihat sebagai realitas bahwa bangsa kita kaya akan keragaman dan mesti dipahami sebagai keniscayaan.
Dalam perbedaan lain seperti etnis ataupun agama kiranya tetap memberi sumbangsih yang sama yaitu memperkaya satu sama lain. Tanpa harus lebih dalam melihat kekayaan dari pluralitas, kita tidak bisa menolak bahwa perbedaan justru dapat memperkokoh dan memberi warna tersendiri bagi bangsa. Namun, kenyataan pluralitas ini tidak mudah dilihat sebagai kekayaan malah sebagai ancaman bagi keutuhan negara.
Keadaan ini pun semakin diperburuk ketika beberapa aktor atau kelompok “menggunakan” perbedaan demi mencapai tujuan politis tertentu baik demi kekuasaan ataupun keuntungan ekonomi. Dalam merebut kekuasaan, wacana yang digunakan misalnya, penganut agama tertentu (apalagi minoritas) tidak dapat menduduki jabatan pemerintah seperti Bupati atau Gubernur.
Kalau boleh lebih realistis, kelompok atau aktor politis yang menggunakan wacana ideologis agama penuh dengan sikap kontradiktif dan plin-plan. Mereka mengakui bahwa negara kita tidak didasarkan oleh prinsip agama tertentu tetapi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Itu artinya, setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam meraih jabatan kepemerintahan tertentu.
Agama dan ekonomi merupakan dua wacana ini biasanya sering digunakan dan cukup ampuh karena dengan mudah memprovokasi massa. Masyarakatpun dihipnotis oleh kepentingan segelintir oknum atau kelompok tertentu yang ingin merebut kekekuasaan politik atau dominasi kekuatan ekomoni tertentu. Fenomena ini berpotensi besar bagi rusaknya tatanan hidup berbangsa dan mesti diatasi secara tepat setidaknya melalui penekanan hak-hak kesetaraan bagi seluruh rakyat tanpa memandang suku, etnis, atau agama. Dengan demikian hak sipil sebagai warga negara benar-benar terjamin dan tidak lagi hanya dalam wacana normatif belaka tetapi menjadi nyata dalam hidup berbangsa.
Dua fenomena di atas dapat mewakili kecenderungan klasik dalam meraih kekuasaan dan dominasi kekuatan ekonomi. Dan wacana mayoritas-minoritas menjadi populer misalnya, etnis minoritas atau agama minoritas tertentu tidak dapat menduduki jabatan tertentu ataupun menguasai perekonomian bangsa. Namun, saya akan masuk ke suatu isu yang lebih dalam lagi dari kedua fenomena di atas.
Melalui keterlibatan dalam beberapa lembaga dialog antar-agama, saya mulai menyadari dan merenungkan bahwa betapa sedihnya beberapa kelompok minoritas agama seperti Syiah dan Ahmadiyah. Saya merasa bahwa betapa tidak nyamannya para saudara penganut Ahmadiyah ataupun Syiah.
Saya berpendapat bahwa kelompok minoritas lain seperti Protestan, Katolik, Hindu, Budha, ataupun Konghucu merasa lebih beruntung dibandingkan para penganut Ahmadiyah dan Syiah. Umat Protestan dan Katolik Jawa hidup di tengah masyarakat bermayoritas muslim.
Tentu ada beberapa kasus seperti penolakan pendirian Gereja tetapi setidaknya mereka tidak mengalami nasib seperti kisah penganut Syiah di Sampang dan Ahmadiyah di Bangka. Setidaknya agama minoritas seperti Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu diakui secara konstitusional namun tidaklah demikian dengan penganut Syiah dan Ahmadiyah.
Dalam beberapa kasus yang menimpa para penganut Syiah dan Ahmadiyah sering kali terjadi hak sipil sebagai warga negara dicaplok oleh oknum tertentu. Hak-hak sipil seperti bertempat tinggal ataupun perlakuan adil dari pemerintah. Mereka harus mengungsi ataupun kehilangan harta benda karena dibakar dan dihancurkan oleh oknum ataupun ormas yang menilai penganut Syiah atau Ahmadiyah tidak sejalan dengan iman mereka.
Saya tidak akan masuk dalam persoalan ideologi dari Syiah ataupun Ahmadiyah tetapi mau memberi penekanan pada hak sipil mereka sebagai warga negara yang mesti dijamin dan harus ditegakan. Maka dari itu ada beberapa aspek yang mesti kita sadari dan perhatikan khusus oleh pemerintah.
Pertama, usaha penyeragaman atau menyuruh kaum Syiah dan Ahmadiyah masuk dalam agama-agama yang diakui tentu merupakakan hal yang tidak mungkin. Apalagi mengusir mereka dari Bumi Pertiwi ini.
Perlu disadari bahwa jumlah mereka akan terus bertambah. Persisnya ketika mereka mulai mandiri seperti mendirikan rumah ibadah, prasangka dan ketakutan kelompok tertentu muncul dan menjadi alasan untuk menyerang ataupun menghancurkan rumah ibadah.
Kedua, saya yakin bahwa saudara-saudara kita baik Syiah ataupun Ahmadiyah hidup dalam bayang-bayang ketakutan terutama dalam mengungkapkan identitas mereka. Dengan demikian, hak sipil sebagai warga negara tidak akan terjamin secara penuh apalagi ketika adanya teror.
Ketiga, negara mestinya tidak “bergantung” pada paham ideologi tertentu yang menilai bahwa Syiah atau Ahmadiyah bertentangan dengan ajaran Islam pada umumnya. Karena saya pikir kapasitas negara tidak untuk menilai benar tidaknya sebuah agama atau aliran. Tugas negara adalah menjamin hak setiap warganya.
Negara khususnya aparat keamanan tidak hanya bersikap netral tetapi mesti tegas dan memihak pada warga (kaum minoritas) terutama ketika terjadi penyerangan. Setiap kali adanya kemungkinan penyerbuan, aparat keamananan sebisa mungkin dapat mencegahnya dan tidak hanya hadir ketika kaum minoritas harus menderita bahkan kehilangan jiwa dan harta miliknya.
Keempat, setelah melihat beberapa fakta di atas khusus yang menerpa kaum Syiah dan Ahmadiyah, negara mesti segera mengambil sikap tegas. Bagi saya, negara harus menegaskan lagi keberadaan Syiah dan Ahmadiyah misalnya melalui peraturan pemerintah sehingga Syiah dan Ahmadiyah memiliki kedudukan yang sama dengan agama minoritas lain.
Misalnya saja, Konghucu sekarang telah masuk dalam daftar agama resmi sementara populasi kaum Syiah dan Ahmadiyah tidak kalah banyak dengan Konghucu. Dan dari waktu ke waktu tentu akan terus bertambah. Apakah solusinya dengan membiarkan kelompok tertentu mengusik kehidupan kaum Syiah dan Ahmadiyah atau “menghilangkan” mereka dari Bumi Pertiwi? Tentu tidak mungkin!
Akhirnya, sebagai kaum muda, saya bersyukur akan keberagaman yang dimiliki bangsa karena dapat belajar dari budaya ataupun agama lain. Saya tertarik dengan motto dari saudara-saudara Ahmadiyah: “Love for all hatred for none”. Motto ini sangat relevan bagi bangsa kita di mana keberagaman menjadi identitas bangsa.