Siapa yang tidak pernah menggunakan ponsel, laptop, membaca buku, mendengar musik atau membeli barang-baran bermerek? Tentu saja kita pernah, tapi tidak semua kita pahami bahwa di samping barang-barang yang kelihatan fisiknya tersebut, ada barang yang tidak terlihat dan memiliki nilai ekonomi. Penemu sepeda motor, penulis novel, pemilik merek dagangan berhak secara penuh terhadap barang yang dia miliki, hususnya hak ekonomi. Kita menyebutnya Hak Kekayaan Intelektual atau HKI. Lalu, bagaimana hukumnya dalam islam?
Hak kekayaan intelektual telah lama dikenal, tepatnya di Vinece, Italia. Namun dalam hukum Islam HKI merupakan masalah baru yang belum banyak dibahas oleh ulama fikih. Untuk itu HKI masuk dalam kategori al-mas’alutul fiqhiyah al-mu’asharah yaitu masalah fikih kontemporer. Lantas pertanyannya bagaimana hukumnya HKI dalam Islam, apakah ia masuk kategori harta? Untuk menjawab persoalan tersebut kita terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan HKI dan macam-macamnya.
HKI atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan Intellectual Property Right (IPR). Tidak ada pengertian yang tegas tentang HKI. Namun kita bisa melihat cakupan HKI dalam the Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights atau TRIPs, HKI terdiri dari 8 hal sebagaimana dicantumkan dalam pasal 1.2, yaitu: 1) hak cipta dan hak terkait; 2) merek dagang; 3) indikasi geografis; 4) desain industri; 5) paten; 6) tata letak (topografi) sirkuit terpadu; 7) perlindungan informasi rahasia; dan 8) kontrol terhadap praktek persaingan usaha tidak sehat dalam perjanjian lisensi.
Dari delapan bentuk ini dapat diambil benang merah bahwa HKI merupakan pengakuan terhadap hasil buah pemikiran seseorang atau kelompok sebagai kekayaan yang harus dilindungi oleh hukum. Konsekuesinya adalah hasil dari pemikirannya tersebut dikategorikan sebagai harta pada umumnya.
Dalam bahasa Arab harta selalu disebut sebagai mâl, yang berarti sesuatu yang membuat orang condong kepadanya. Ulama terbagi menjadi golongan dalam memandang apa itu harta dalam Islam, yaitu golongan pertama Hanafiah dan kedua, Syafi’i.
Golongan Hanafiah, Ibn ‘Âbidîn mendefenisikan harta sebagai segala sesuatu yang mendatangkan kecendrungan tabiat manusia untuk memilikinya serta mungkin dapat disimpan dan digunakan dalam waktu tertentu.
Dari defenisi tersebut harta memiliki tiga unsur, yaitu: 1) Orang cendrung untuk memiliknya secara lahiriah. Dalam hal ini harta yang memiliki kecendrungan secara tabiat manusia adalah harta yang memberikan manfaat dan nilai kepada pemiliknya. 2) Dapat disimpan dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini Hanafiah tidak menganggap hak cipta sebagai harta karena sifatnya yang immateri tidak dapat disimpan layaknya benda-benda materi lainnya. 3) Dapat digunakan dalam dalam waktu tertentu.
Golongan yang kedua adalah dari kalangan Syafi’iyah. Imam Syafi’I mengatakan harta adalah setiap yang mempunyai nilai yang dapat diperjual belikan, yang merusak wajib mengganti, dan yang tidak dibuang/disia-siakan oleh orang. Sedangkan al-Shuyûthi mendefenisikan harta sebagai sesuatu yang memiliki nilai (Qîmah) yang dapat didijadikan sebagai alat transaksi. Pengertian lainnya dikemukakan oleh al-Syâthibî yang mengatakan bahwa:
المال ما وقع عليه الملك ويستبد به المالك.
Dalam bahasa lain dapat dikatakan harta adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan objek kepemilikan dan pemilik memiliki kewenangan terhadap objek tersebut.
Dari pengertian di atas jelas bahwa HKI termasuk dari harta sebagaimana yang dimaksud oleh syariat. Sebab dia memiliki nilai ekonomi, dapat dimiliki yang dapat dipertahankan oleh penguasa hak cipta tersebut.
Dilihat dari jenis harta dalam Islam, HKI adalah harta berharga (mâl mutaqawwim) yaitu harta yang boleh digunakan selama HKI tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Kategori kedua HKI masuk sebagai harta bergerak (Mâl manqûl) yaitu segala harta yang dapat pindah atau dibawa dari suatu tempat ketempat yang lain.
Untuk itu segala hak dan kewajiban terhadap HKI sama halnya dengan harta pada umumnya. Seperti pewarisan, hadiah, hibah, bahkan wakaf boleh dilakukan melalui HKI. []
Abdul Karim Munte adalah Direktur el-Bukhari Institute.