Di Melayu, termasuk Indonesia, haji bukan sekedar ritus ibadah tetapi juga atribut status sosial. Mereka yang pulang dari tanah suci memdapat gelar “H” untuk laki-laki dan “Hj” (Hadjah) untuk perempuan.
Adalah kebijakan kolonial Belanda, pada mulanya, yang menyebabkan seseorang diberi gelar “Haji”, sepulang melakukan ihram, thawaf, sa’i, dan wuquf.
Pada akhirnya, dalam kadar tertentu, haji menjadi bagian dari status sosial dan gaya hidup. Haji mulai bergerak dari proyek Ibadah menjadi proyek status sosial. Orang yang bergelar “Haji” seolah-olah berposisi lebih tinggi dari pada yang belum bergelar “Haji”.
Proyek haji sebagai status sosial dan gaya hidup ini menjadi ladang bisnis yang sangat menguntungkan. Agen perjalanan, katering, hotel, pembimbing haji, dan tentu saja, pemerintah, merupakan jejaring bisnis dengan pundi-pundi keuntungan.
Kompleksitas pelayanan haji ini menghasilkan pembedaan habitus kelas, yakni ONH dan ONH Plus. ONH (Ongkos Naik Haji) merujuk pada peziarah Ka’bah yang berangkat haji dengan berdesak-desakan dan dikoordinir oleh kemenag. ONH Plus merujuk perjalanan haji VIP yang eksklusif, mewah, dan dikoordinir oleh biro perjalanan haji.
Moeslim Abdurrachman melalui disertasi berjudul “On Hajj Tourism: In Search of Piety and Identity in the New Order Indonesia” mengurai bagaimana praktik kemewahan yang didapat kelas menengah muslim dalam menunaikan haji.
Riset Abdurrachman merujuk pada praktik perjalanan haji yang dikoordinir agen perjalanan haji “Tiga Utama”. Biro perjalanan ini sangat selektif dalam memilih jamaah konsumen, yakni hanya muslim yang kaya. Harga dipatok sangat tinggi antara 8.000 – 9.500 Dollar US, setara 88 – 104,5 juta rupiah (kurs Rp. 11. 000).
Dengan harga yang tinggi itu, jamaah mendapat fasilitas super-mewah. Hotel bintang lima dengan jarak terdekat dari pusat-pusat ibadah haji, makanan lokal Indonesia standar resto mewah, pesawat eksklusif, tim medis handal, pemandu haji, dan pemandu wisata yang cakap. Pemandu wisata diikutkan karena selepas ibadah haji juga mengunjungi destinasi wisata seperti Dubai, Turki, Mesir, Spanyol, Hongkong, dan sebagainya.
Pada akhirnya, perjalanan haji, terutama yang supermewah, tidak lagi murni bersujud di Baitullah, tetapi merupakan perjalanan wisata yang dibungkus dalam ritus ibadah haji. Bisnis haji dan wisata haji saling berkelindan memutar roda ekonomi.
Di titik ini, pesan egalitarian yang disampaikan nabi Muhammad saat haji wada’ menjadi tereduksi. Perjalanan haji ternyata menghasilkan pembedaan habitus kelas, yang mereduksi egalitarianisme itu.