Di antara isu yang viral saat ini adalah soal aliran dana hasil korupsi mantan Menteri Kementan, untuk umrah yang nilainya mencapai Rp 1 miliar, meski kini kasusnya masih sedang disidangkan di pengadilan. Karena itu, agaknya menarik untuk diuraikan relasi umrah, haji, dan juga berkurban dengan sikap antikorupsi.
Tidak Berkorelasi
Dalam fikih, harus diakui memang ada kalangan ulama yang berpendapat bahwa haji dan umrah seseorang dengan biaya dari harta yang haram seperti hasil korupsi tetap sah saja, meski mendapat dosa yang tak bisa membuatnya masuk surga. Namun, menurut sebagian ulama, tidak sah beribadah haji/umrah dengan biaya dari harta haram seperti dari hasil korupsi. Menurut Sayyid Sabiq, berdasarkan hadis sahih Riwayat Thabrani dari Abu Hurairah, pendapat kedua yang menganggap haji dari hasil korupsi tidak sah adalah pendapat yang kuat.
Dalam hadis itu disebut: “Jika seseorang pergi keluar rumah untuk melaksanakan haji dengan biaya dan kendaraan yang halal, lalu berseru Labbaikallâhumma labbaik (Ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu). Lalu Allah di alam malakut menjawab: “Ya benar, Engkau telah memenuhi panggilan-Ku. Bekal dan kendaraanmu juga dari harta halal. Karenanya, hajimu pun adalah haji yang mabrûr (baik), tanpa ada dosa”. Namun, jika seseorang pergi keluar rumah untuk melaksanakan haji, tetapi dengan biaya dan kendaraan yang haram, lalu berseru: “Labbaikallâhumma labbaik (Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu)”, maka Allah di alam malakut menjawab: “Tidak, Engkau bukan memenuhi panggilan-Ku, karena bekal dan uang yang dikeluarkanmu dari harta yang haram. Hajimu pun adalah haji yang berdosa, tanpa dapat pahala”. Hadis sahih lain yang juga menjadi argumen adalah hadis yang terkenal: “Sesungguhnya Alah adalah Mahabaik (Mahabersih), maka Allah tidak akan menerima, kecuali hal-hal baik (halal)”.
Berdasarkan dua hadis di atas, maka sesungguhnya juga orang yang haji/umrah dengan harta haram seperti hasil korupsi yang menzalimi rakyat/negara tidak memenuhi syarat, karena belum memenuhi syarat istitha’ah (mampu).
Haji dengan harta haram sebanding dengan orang yang beribadah dengan najis, karena meski harta haram tak terlihat sebagai kotoran, tetapi secara rohaniah, posisinya sama dengan kotoran. Hajinya tidak sah, minimal secara ‘aridhi (faktor eksternal/baru), bukan secara dzati (perbuatan/barangnya), jika memenuhi syarat dan rukun haji. Haji dengan biaya hasil korupsi sama dengan seseorang memakan nasi dari harta haram, maka memakannya menjadi haram secara ‘aridhi, meski nasi secara bendanya adalah halal.
Haji/umrah dengan biaya hasil korupsi juga tidak sejalan dengan pakaian ihram, dua lembar kain putih yang sederhana, tanpa dijahit. Haji mengingatkan pada ajaran Islam mengenai keharusan hidup zuhud, hidup asketik/sederhana sebagai kebalikan korupsi, terutama yang by greed.
Zuhud adalah hidup dengan tidak mencintai dunia secara berlebihan dengan menjadi budak material, hingga melanggar aturan, tanpa kenal haram, dan juga tidak menghiraukan tuntutan jiwa/kalbunya sebagai kiblat kehidupannya. Wajar, bersikap zuhud dalam hadis disebut sebagai perbuatan yang membuat Allah dan manusia menyenangi pelakunya. Bahkan, zuhud tertinggi adalah meninggalkan kemewahan material duniawi sama sekali, demi memperoleh pencerahan spiritual.
Sedangkan korupsi adalah perbuatan sebaliknya yang bertentangan dengan pesan pakaian ihram, karena korupsi berarti terlampau mementingkan dunia, yang dalam Al-Qur’an digambarkan bagaikan fatamorgana yang tak substansial, permainan, senda gurau, tanaman yang menghijau lalu mengering/layu, bahkan sebagai kehidupan material yang menipu pencintanya.
Dalam hadis, kekayaan material duniawi digambarkan sebagai ujian, dimana sikap hidup dengan mencintainya secara berlebihan membuat umat Islam para pelakunya, meski mayoritas, seperti buih/sampah yang dibawa hujan. Mereka pun tak membuat para pesaingnya tidak lagi gentar.
Sebab itu, haji dari biaya hasil korupsi bertentangan dengan puasa Ramadhan dan ‘Arafah yang mementingkan keseimbangan hidup antara rohani dan jasmani, bukan terlampau memenuhi tuntutan jasmani/nafsu dengan korupsi. Bahkan, dalam puasa ‘Arafah dan haji, posisi rohani/kalbu/wahyu harus memimpin jasmani (sebagai ‘kepala negara’). Akal/logika (rasionalisme), sebagaimana pendapat Imam al-Ghazali, paling tinggi hanya sebagai ‘perdana menteri’. Sementara anggota badan inderawi (empirisisme) paling tinggi hanya sebagai ‘gubernur’, ‘penguasa daerah’, yang tak boleh disakralkan.
Ini sejalan dengan doa yang harus dipanjatkan saat tawaf (mengelilingi Ka’bah 7 kali) sebagai rukun haji agar sejahtera. Tidak hanya sejahtera di dunia (secara material), tetapi juga di akhirat (secara spiritual/ketuhanan), yang tanpa rohaniah, manusia tak mungkin bisa hidup bahagia, meski secara material melimpah. Alasannya, karena ruh manusia sebagai elemen manusia yang kedudukannya lebih penting ketimbang jasmaninya, berasal dari alam ketuhanan.
Dalam bahasa lain, sesuai dengan bacaan talbiyah saat haji dan takbir, haji adalah tindakan memenuhi panggilan Allah dengan meyakini dan menyebut Allah sajalah yang Mahabesar, selain-Nya adalah kecil. Termasuk di dalamnya pimpinan yang memaksa korupsi yang harus dilawan dan juga harta kekayaan hasil korupsi, meski berlimpah.
Berhaji, karenanya, berusaha untuk memperoleh kecerdasan spiritual dengan berusaha untuk hanya menjadi hamba Allah, dengan tidak melanggar larangannya seperti korupsi. Paling tidak, berhaji, baik sebelum berangkat maupun sesudah pulang, harus membuat pelakunya bisa beretos kerja, dimana bekerja dipandangnya sebagai pengabdian kepada Allah, sebagaimana tampak dalam tahlil yang dibaca saat wukuf/tinggal di ‘Arafah. Bukan untuk mendapatkan kemegahan material, apalagi dengan korupsi sebagai larangan Allah yang menzalimi manusia lain.
Hidup, dalam perspektif haji pun, untuk memberi manfaat sebanyak mungkin kepada sesama manusia. Haji hampir sama dengan salat, termasuk salat Idul Adha, yang diakhiri dengan salam ke kiri dan kanan. Ini berarti setelah salat harus memberi kedamaian kepada sesama, sebanyak mungkin.
Dalam tingkatan tertinggi, orang yang menjadi hamba Allah yang telah mendapatkan kecerdasan spiritual yang ditekankan haji dan salat lebih memilih bersikap idealis, tidak korupsi. Misalnya dengan berkarya monumental, meski harus mendapatkan kesulitan seperti saat berhaji sekalipun, demi mendapatkan kepuasan batin. Minimal tidak melakukan korupsi, kendati hidup dengan kekurangan material (korupsi by need), apalagi by greed. Bahkan, tetap tidak korupsi saat terancam mati sekalipun, karena misalnya paksaan pihak-pihak di atasnya.
Pakaian ihram saat haji dengan dua lembar kain putih juga mengingatkan kain kapan saat kematian/alam akhirat juga. Dalam perspektif keakhiratan yang ditekankan haji, makna hidup/mengapa kita hidup adalah untuk melakukan investasi agar di kehidupan setelah kematian nanti bahagia dengan melakukan banyak ibadah, baik ibadah ritual maupun sosial sebagai lawan kata korupsi yang duniawi semata. Misalnya berhaji dan berkurban/berwakaf.
Jika melakukan keburukan seperti mengambil harta rakyat dengan korupsi misalnya, maka nanti di akhirat tak bisa masuk surga, kecuali membayar dengan pahala amal baik. Jika amal baiknya sudah habis, maka amal buruk rakyat dizalimi harus ditanggungnya. Dan orang-orang yang korupsi pun nanti di akhirat kemungkinan besar akan menjadi orang yang bangkrut amalnya (muflis), sebagaimana disebut dalam hadis.
Dalam perspektif haji, tindakan korupsi juga bertentangan dengan esensi wukuf di ‘Arafah sebagai rukun utama haji dan mabît/tinggal di Mina. Sesuai akar katanya, mengetahui/mengenal, maka haji bertujuan untuk membuat antar manusia saling mengenal/berdialog/bekerja sama, bukan menyakiti/menzalimi seperti korupsi.
Saat di Arafah juga harus banyak membaca tahlil yang tidak boleh menjadikan selain Allah seperti harta kekayaan sebagai Tuhan dengan melakukan korupsi misalnya. Juga doa saat di Arafah agar hati, pendengaran, dan penglihatan mendapat cahaya ketuhanan dan tidak melakukan permusuhan dengan menyakiti/menzalimi orang lain. Bahkan, harus menjaga lingkungan hidup, tidak menzaliminya, dimana seorang yang sedang ihram haji dilarang berburu binatang dan memotong/mencabut pohon di ‘Arafah dan sekitarnya.
Tentu saja korupsi juga bertentangan dengan hadis saat Nabi melaksanakan Haji Wada’ (perpisahan), dimana seorang Muslim harus menjaga hak hidup, harga diri, dan juga harta orang lain, termasuk harta rakyat; keharusan melempar jumrah tiga kali dan itu artinya harus mampu mengusir bisikan setan yang mengajak manusia untuk melanggar larangan Allah seperti korupsi; dan tawaf yang maknanya manusia harus mengenal masyarakat sesama dan hidup dengan tidak merugikannya seperti korupsi.
Korupsi juga bertentangan dengan salah satu doa yang dianjurkan dalam tawaf agar Allah mengampuni dosa, menyayangi, dan memberi petunjuk pada jalan terlurus. Juga bertentangan dengan sa’i, berlari kecil dari Shafa ke Marwah, yang berarti hidup harus berusaha keras mencapai cita-cita, termasuk memperoleh harta halal.
Wallâh a’lam.