Keputusan Majelis Negara dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid patut disayangkan karena ia telah lama menjadi ikon peradaban Kristen dan Islam di Turki dan bahkan dunia. Menjadikannya hanya sebagai masjid memicu ketegangan kedua umat besar dunia ketika ikon-ikon kerukunan hanya menjadi simbol supremasi rezim politik dan keagamaan.
Majelis Gereja-gereja Dunia dan Pimpinan Gereja Ortodoks Timur menyerukan Presiden Erdogan untuk mencabut keputusan itu, karena menabur benih perpecahan dan mengubah citra Turki yang majemuk dan terbuka. Keputusan Erdogan itu akan menciptakan ketidakpastian, kecurigaan, dan ketidakpercayaan antara umat beragama.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNESCO yang menjadikannya tempat bersejarah dunia, juga menyesalkan keputusan itu dan menyerukan dialog. Bagi UNESCO, Hagia Sophia mencerminkan nilai universal luar biasa kota Istanbul dan pertemuan Eropa dan Asia selama berabad-abad, yang dibangun jenius kreatif arsitek-arsitek Bizantium Kristen dan Turki Usmani Islam.
Hagia Sophia, atau “Kebijaksanaan Suci”, adalah gereja katedral Konstantinopel yang didirikan atas perintah Kaisar Romawi Yustinian I pada tahun 532- 537 Masehi. Pada tahun 1204 Masehi, gereja ini diubah menjadi katedral Katolik dan lalu menjadi Gereja Ortodok Timur setelah Kekaisaran Romawi kembali berkuasa pada 1261. Ketika Konstantinopel jatuh ke tangan kekuasaan Usmani pada 1453, kota ini menjadi Istanbul, dan Hagia Sophia menjadi masjid Aya Sofiya, hingga 1935 ketika Bapak Turki moderen Mustafa Kemal Ataturk menjadikannya museum, membukanya bagi publik dunia.
Tidak dapat dipungkiri, Hagia Sophia menjadi megah dan indah juga untuk memenuhi kepentingan politik pemenang. Kini di bawah pemerintahan Erdogan dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Hagia Sophia dijadikan masjid, meskipun ia pernah menyatakan bahwa memasjidkan Hagia Sophia tidaklah mendesak karena sudah ada Masjid Sultan Ahmet atau Masjid Biru yang berdekatan. Presiden Erdogan juga menyebut kebijakan ini sebagai reaksi terhadap Presiden AS Donald Trump yang mendukung Yerusalem sebagai ibu kota Negara Israel. Bahasa penaklukan menandai Hagia Sophia sebagai ruang simbolik dan supremasi rezim.
Gereja, Masjid, dan Museum
Awalnya, Hagia Sophia didirikan sebagai simbol “Kebijaksanaan Tuhan”, atau Logos, yang pada hari Natal diperingati kelahiran inkarnasinya pada Yesus Kristus. Gereja ini menjadi tempat berbagai peninggalan ikonostasis, termasuk mosaik Pantokrator atau pelukisan khusus Tuhan, yang menjadi ciri keyakinan Kristen Ortodoks.
Sebagai pusat Kristen ortodoks selama hampir seribu tahun, peradaban material dan spiritual menyatu. Keindahan arsitekturnya dirasakan dengan memandang lukisan-lukisan di dinding dan galeri-galerinya. Geometri digunakan para arsitek untuk memperindah benda-benda material. Bentuk-bentuk arsitekturnya pun bukan hanya dua dimensi, tapi tiga dimensi. Kubah besar dan bagian utama gereja, menyentuh sanubari, menghubungkan metafisika dan aestetika, menjembatani yang alami dan supra-alami, dan menggabungkan dimensi material dan ruhani.
Tidak hanya arsitektur yang mengagumkan. Hagia Sophia membawa kita kepada dunia kekristenan, bukan hanya melalui lukisan Yesus, Bunda Maria, dan Santo Yohanes Pembaptis, tapi juga suara liturgi pendeta dan pengunjung Kristen yang taat. Para pengunjung bisa membaca teks-teks suci, seperti kutipan Alkitab, dan memaknai jamuan suci dan Kedatangan Kedua Yesus Kristus.
Ketika Sultan Mehmet menaklukan Konstantinopel pada 1453, dia tidak menghancurkan Hagia Sophia, tapi menjadikannya masjid dengan tiga tambahan arsitektur: mihrab tempat imam memimpin sholat yang mengarah ke Mekah, mimbar tempat menyampaikan khutbah, dan minaret-minaret tempat dikumandangkan azan panggilan sholat. Ada juga simbol kaligrafi Arab nama Allah dan nama Muhammad, dan nama-nama Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.
Sebagai museum, Hagia Sophia menjadi monumen keunikan Kristen yang menekankan lukisan figur atau ikonografi, dan keunikan Islam yang menekankan kaligrafi tulisan. Hagia Sophia wujud peradaban kosmopolitan dan terbuka Timur dan Barat. Ia menyediakan ruang kesadaran sejarah, kecanggihan teknologi, dan keindahan peradaban dua agama besar dunia.
Dialog Peradaban Kristen-Islam
Tentu saja agama-agama memiliki keunikan dalam keyakinan ketuhanan dan kebaktian. Kristen dan Islam, meskipun memiliki akar peradaban Semitik yang sama, dengan Tuhan Pencipta yang sama, berkembang menjadi agama-agama misi dan dakwah, dengan simbol salib dan simbol bulan sabit, yang terus bersaing, tapi juga berdampingan dan bekerja sama dalam berbagai bidang kehidupan.
Kini ketika benturan peradaban masih dikumandangkan banyak pemimpin dan penduduk dunia, terasa semakin penting upaya dialog antaragama dan peradaban, khususnya peradaban Kristen-Islam, meminjam istilah Sejarawan Richard Bulliet. Ada kelanjutan, perjumpaan, dan saling pengaruh yang tidak bisa disepelekan penguasa sekalipun.
Di Hagia Sophia ada figur Yesus Kristus, yang juga diyakini sebagai Nabi dalam Islam, Isa al-Masih. Ada Bunda Maria yang juga disebut kisahnya dalam kitab suci Islam. Ada juga penafsiran teologis yang mengutip figur Gabriel atau malaikat Jibril. Ada Tuhan Pencipta Allah dalam bahasa Arab, yang digunakan baik umat Islam dan Kristen di dunia Arab.
Hagia Sophia menjadi lambang nilai-nilai kekudusan, dan peradaban Islam-Kristen sebagai peradaban majemuk yang saling mengenal, memperkaya, dan mendukung bagi keamanan dan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan alam. Hagia Sophia sejatinya bukan simbol supremasi agama dan politik, tapi simbol kelanjutan sejarah, titik temu, dan bahkan kerjasama agama-agama di Turki khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. (AN)