Sejak sepekan terakhir, media sosial di Indonesia dibanjiri dengan sebuah konten ceramah seorang Ustad yang membicarakan terkait hadis dukhan (kabut tebal). Hadis tersebut pada intinya mengatakan bahwa pada hari ke-15 bulan Ramadhan yang mana hari itu bertepatan dengan malam Jumat, akan terjadi suara dahsyat, huru-hara, kabut tebal hingga kiamat.
Nyatanya saat ditelusuri, ternyata hadis tersebut “laisa li hadzal hadits ashlun min tsiqati wa la min wajhn yasbut had (hadis ini tidak ada sumbernya/rujukannya di kitab-kitab hadis dari hadis orang tsiqah dan tidak juga dari riwayat lain yang kuat)” dan prawinya bermasalah karena berdusta dalam meriwayatkan Hadist Nabi SAW. Sampai disini bisa kita simpulkan bahwa hadis tersebut dhoif. Titik.
Berhentikah disitu? Tentu tidak. Bagi orang-orang awam yang minim akan pengetahuan ilmu agama dan tidak mampu membedakan kualitas hadis antara shahih maudhu atau dhaif, merasa harus percaya dengan hadis tersebut kendati kualitasnya dhoif. Seorang kawan penulis misalnya, karena pengetahuan agamanya minim, lantas ia mempercayai begitu saja segala hadis yang beredar di media sosial dan terlebih diucapkan oleh ustad-ustad di Youtube yang viral.
Dia pikir, yang namanya hadis tentu saja benar adanya karena berasal dari Rasulullah SAW. Saat penulis tanya, ternyata dia tidak paham jika ternyata ada hadis dhaif, maudhu dan hadis shahih. Fenomena ini yang kemudian menjadi kemirisan tersendiri bagi banyak orang. Betapa ternyata ada sebagian masyarakat kita yang semangat beragama namun masih belum bisa membedakan kualitas hadis dan percaya begitu saja dengan ucapan ustad-ustad yang viral di Youtube.
Keawaman masyarakat terhadap kualitas sebuah hadis nampaknya menjadi peluang besar bagi kaum yang gemar menggembar-gembor menggunakan dalih agama. Seperti kaum ekstrimis ISIS misalnya yang memanfaatkan keawaman masyarakat sebagai peluang rekruitmen pasukan “Jihad” , atau kaum Khilafers yang memanfaatkan keawaman masyarakat untuk mendukung strategi politis mereka dalam kedok membangkitkan kembali sistem khilafah Islamiyah.
Yang paling dominan ialah kaum garis keras yang memanfaatkan keawaman masyarakat Islam terutama kaum muda di perkotaan dengan memberikan narasi-narasi ajakan untuk berhijrah. Bukan, hijrah tentu bagus dan patut didukung. tapi, terkadang dengan hijrah kita lantas lebih Islami atau lebih beriman dibandingkan muslim lain. Esensi hijrah tentu saja bukan sekadar itu.
Belum lagi, baru-baru ini sebuah Kampus ternama di Yogyakarta mengunggah video ceramah Profesor Noorhaidi Hasan yang merupakan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di kanal Youtubenya. Video yang mengangkat tema terkait fenomena “Hijrah di kalangan kaum muda muslim kota” tersebut dihapus beberapa saat setelah mendapat komentar-komentar bernada menyerang dari warganet religius. Tentu hal ini patut dipertanyakan, tentang bagaimana konsistensi Universitas tersebut dalam membabat dan memerangi radikalisme di kalangan internal kampus. Padahal sebelumnya pencapaian Kampus tersebut cukup baik dalam menegasi kaum radikal. Pada Juni 2018 lalu, pihak kampus secara tegas memberhentikan 2 dosennya yang terlibat dalam aksi kelompok pengasong khilafah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kasus ini tidak hanya terjadi di satu kampus saja, melainkan ada banyak kampus di Indonesia yang merasa ditekan oleh kelompok Islam eksklusif yang sering mengkampanyekan ajakan berhijrah. Terutama di kampus-kampus yang sekuler. Alhasil mereka merasa tidak memiliki kebebasan memberikan aturan tegas untuk membabat radikalisme di kampus hingga ke akar-akarnya.
Awal mula dari ajakan kaum hijrahers ialah dengan memanfaatkan keawaman korban dengan mengajaknya turut serta dalam kajian-kajian religi eksternal kampus, kemudian berlanjut ke ajakan-ajakan hijrah yang sangat laris di kalangan remaja putri, hingga ajakan untuk menegakkan Khilafah.
Titik doktrin yang paling tinggi dan paling berbahaya ialah ajakan untuk berjihad atau berperang dengan bergabung dalam jaringan-jaringan ekstrimis seperti Jamaah Islamiyah (JI), Al-Qaeda, hingga ISIS demi menegakkan Khilafah Islamiyah. Pertengahan tahun 2019 lalu Brigjend Pol. Ir. Hamli selaku Direktur Pencegahan BNPT mengatakan, angka radikalisme di kampus masih tinggi. Hasil riset Setara Institute juga membuktikan kebenaran statment Brigjend Hamli.
Bagaimana Sebaiknya Bersikap?
Menanggapi fenomena hadis palsu seperti hadis tentang Dukhan, sebaiknya hal-hal terkait dengan hadis terlebih dahulu kita cek apakah termasuk dalam golongan Hadis Shahih, Maudhu ataupun Dhaif. Kita perlu paham bahwa tidak semua hadis yang beredar di linimasa media sosial ataupun internet memiliki riwayat shahih. Sehingga sebagaimana informasi, hadis ini perlu dicek faktanya: apakah shahih, dhaif atau maudhu, dan bagaimana asbabul wuruj (asal muasal) nya serta ketepatan dengan narasi yang beredar. Sayangnya memang konten-konten yang bernada ancaman dan menakutkan lebih viral di media sosial dibanding dengan konten-konten yang sejuk dan mencerahkan.
Kemudian terkait jaringan radikal di kampus, otoritas yang berwenang –dalam hal ini pihak kampus—kudu tegas dan konsisten terhadap gerakan-gerakan religius garis keras yang tidak sesuai dengan cita-cita rahmatan lil Alamin. Hal ini perlu dilakukan agar kampus-kampus di Indonesia mampu melahirkan generasi intelektual yang beragama secara inklusif dan moderat.