Saya cukup tercengang ketika mendengar pertanyaan dari seorang teman yang jengah dengan kondisi perpolitikan di Indonesia. “Mengapa di Indonesia selalu gaduh dengan urusan agama? Apakah sejak agama menjadi pedoman hidup masyarakat kita ratusan tahun silam, peradaban kita justru berjalan di tempat?”
Pertanyaan tersebut cukup menggambarkan bagaimana sebagian kalangan (atau bahkan mayoritas) membutuhkan warna baru dalam menjalani hari-hari di negara ini. Sejak 2014, rasa-rasanya hidup tidak bisa lepas dari perseteruan antara dua kubu politik yang saling serang. Terlebih di media sosial, perseteruan begitu gamblang tersaji secara brutal. Pelakunya bukan hanya dari kalangan awam yang sudah ‘terinfeksi’ virus kebencian. Bahkan ada banyak tokoh yang turut menyulut bara perpecahan.
Baru-baru ini seorang pesohor dilaporkan ke pihak kepolisian karena konten ceramah yang begitu provokatif dan jauh dari nilai-nilai keislaman. Dalam sebuah video yang viral, seorang habib mengumbar kata-kata yang tak pantas untuk ditujukan kepada sang pemimpin negara. Habib bagi kalangan Islam tradisional adalah kalangan yang wajib dihormati. Namun ada banyak orang yang mulai berpikir apakah penghormatan relevan di tengah pertunjukan yang begitu menyedihkan?
Saya pernah berada di lingkungan pesantren tradisional (salaf) selama hampir satu dekade. Di lingkungan tersebut, saya dan ribuan santri lainnya diberi bekal untuk mendahulukan adab daripada ilmu, dan mendahulukan akhlak daripada mengunggulkan nasab. Karenanya, ada banyak santri bergelar ‘yik’ yang tidak ingin menunjukkan gelar tersebut. Yik adalah sebutan bagi anak keturunan para habaib. Yik yang saya kenal cenderung ingin beradaptasi dengan lingkungan, bersikap biasa, dan ingin diperlakukan sama seperti santri yang lain. Meski pun, saya dan banyak teman lain sebagai santri ‘biasa’ kerap menunduk ketika mengetahui seseorang tersebut adalah dzuriyah (keluarga) Rasulullah SAW. Tetapi mereka meyakinkan bahwa dalam proses belajar, nasab bukanlah jaminan karena ada akhlak di atasnya. “Jadi kalau nasabnya baik tapi akhlaknya kurang baik, ya saling diingatkan,” kata salah seorang teman.
Saya mengenal kata habib ketika pada tahun 2009 seorang pengurus pesantren membawa sebuah foto dan memajang di dinding kantor. Dua sosok bersurban dengan senyum yang meneduhkan. Pada saat itu saya bertanya, siapa kedua sosok tersebut? Pengurus menjelaskan keduanya adalah habib, keturunan Nabi Muhammad SAW. Yang satu bernama Habib Anis bin Alwi al-Habsyi dari Surakarta, dan yang kedua adalah Habib Umar bin Muhammad dari Yaman. Seorang pengurus tersebut berbicara cukup panjang mengenai habib-habib yang saya sendiri tidak hafal nama-namanya. Akan tetapi ada satu nama yang cukup membekas di ingatan saya, yaitu nama Habib Syech. Pada saat itu pondok pesantren kerap memutar lantunan salawat yang dinyanyikan oleh Habib Syech dari Solo. Seketika itu pula saya ingin bersilaturahmi dengan Habib Syech, sekaligus berziarah di makam Habib Anis.
Saya beruntung karena pada tahun 2010 berkesempatan untuk bersilaturahmi di kediaman Habib Syech di Solo setelah berjalan kaki selama kurang lebih 2 jam dari terminal Tirtonadi. Pada saat itu gerimis turun, sementara saya dan dua teman dari pesantren tidak berani masuk ke rumah Habib Syech karena begitu lusuh. Namun seseorang menjemput kami di luar dan mempersilakan masuk. Di depan ruang tamu terdapat banyak tamu, salah satu yang paling familiar bagi saya saat itu adalah ketua MUI sebuah kabupaten di Jawa Tengah karena kebetulan anaknya nyantri di lembaga yang sama dengan saya.
Tak berselang lama, sosok yang saya lihat di video muncul dari dalam rumah, mengucap salam, kemudian menyalami kami satu persatu. Suaranya serak, namun tetap jelas ketika melempar candaan. “Maaf, suara saya habis. Kalian terus maksa saya nyanyi,” celetuknya membuat kami semua tertawa. Ia mengambil satu bungkus roti kemudian menawarkan ke tamunya satu persatu. Ya Allah, begitu mulia sekali akhlak Habib! batinku saat itu. Apalagi giliran saya mendapat tawaran roti, Habib melontarkan pertanyaan, “Lha, ini anak-anak dari mana?”. Kami menjawab kompak berasal dari sebuah pesantren di Jawa Tengah. Tak berselang lama, azan Magrib berkumandang. Habib mempersilakan tamu-tamunya untuk menuju musala yang ada di samping rumahnya.
“Kalau saya lama tidak keluar, nanti tolong imamin, ya,” pinta habib pada ketua MUI tersebut. Mereka terlihat sangat akrab. Benar saja, sekitar 15 menit Habib tidak keluar rumah, kemudian salat jamaah didirikan. Seusai salam, saya baru sadar bahwa Habib berada di barisan belakang saya. Ia jadi makmum di rumahnya sendiri! Subhanallah… Betapa adab seorang dzuriyah Rasul begitu luar biasa.
Setelah itu Habib menerima tamu satu persatu. Melihat saya dan dua teman lain ikut mengantri, Habib memanggil kami terlebih dahulu. “Tadi yang santri ayo ke sini duluan.” Kami bergegas menuju ke arah Habib, mencium tangannya dan duduk di depannya. Setelah berbincang-bincang ala kadarnya, Habib bertanya apakah kami sudah memiliki album terbarunya. “Belum, Habib.” Ia kemudian memanggil seseorang untuk menagmbil kaset album terbaru. Ada lagu yang sangat populer saat itu berjudul ‘sholatun bisalamil mubin’. Kami mendapatkan satu persatu.
Begitulah pertemuan singkat saya dengan sang habib yang begitu berkesan. Saya semakin kagum dengan akhlak dan adab dari habib yang tidak risih dengan santri yang berpakaian lusuh. Ia melayani sama dengan tamu-tamu yang lain. Setelah pertemuan ini, ketertarikan saya untuk mengenal habib-habib yang lain semakin bertambah. Saya kemudian ‘dikenalkan’ oleh para gus (anak kiai) mengenai sosok Habib Luthfi Yahya Pekalongan, Habib Umar Semarang dan banyak habib lainnya.
Setelah lulus dari pesantren dan melanjutkan kuliah di Yogyakarta, barulah saya mengenal beberapa habib lain yang berbeda dari habib-habib yang selama ini saya kenal. Walau pun beberapa tersandung kasus hukum, saya sebagai santri tetap memberi rasa hormat pada habib tersebut. Namun sangat disayangkan karena banyak teman saya yang mengenal kata ‘habib’ justru dari pengalaman negatifnya. Dampaknya, banyak yang menggeneralisir bahwa seorang habib hanya menumpang nama Rasulullah SAW demi tujuan-tujuan pribadinya.
Saya tidak menyalahkan persepsi beberapa kalangan mengenai para habib ini. Mungkin hal tersebut terjadi karena mereka kebetulan menjumpai dan mengenal habib yang secara akhlak dan adab kurang patut seperti beberapa pesohor yang terus menggelorakan kebencian. Namun saya cukup beruntung karena mengenal habib dari sisi yang teduh, tinggi akhlak, baik adab, dan menebar pesan cinta bagi semua ciptaan Allah SWT, bukan hanya baik kepada orang yang sama agamanya.
Ketika beberapa teman kecewa dengan penyandang nama habib setelah melihat video-video di media sosial, biasanya saya menyodorkan video Habib Luthfi Yahya yang membawa pesan damai. Ia menyebut bahwa tidak penting bagaimana proses politik di negeri ini berjalan. Yang penting masyarakat tetap hidup rukun, harmonis, dan saling tolong menolong satu sama lain. Biasanya, teman saya akan berkata, “Oh, ada ya habib yang baik seperti ini.” Jika demikian saya akan jawab, “Yang baik jauh lebih banyak. Sayangnya suara kebencian lebih mudah disebar daripada suara kasih sayang.”
“Kenapa demikian?”
“Karena dalam politik, membenci lebih mudah daripada mencintai. Itulah mengapa selalu ada istilah lawan dalam politik.” Dan memang, jika diamati, habib yang ‘nyeleneh’ pasti memiliki kepentingan politik. Wallahua’lam.
Sarjoko, penulis adalah pegiat aktif di Jaringan Gusdurian Indonesia.