Bisakah kita membicarakan Habib Rizieq Shihab sebagai politisi saja? Sosok agamawan paling populer per hari ini, mau tidak mau, kita tidak bisa menafikan nama Habib Rizieq Shihab (HRS) di urutan pertama. Bagaimana tidak, sekembalinya dari Mekah, HRS langsung menjadi perbincangan utama di masyarakat dan media. Media massa dan layanan jejaring sosial seakan tak berhenti membicarakan Namanya.
Salah satu buktinya, sewaktu membeli makanan beberapa hari lalu, saya tak sengaja melihat layar gawai pembeli lain yang sama-sama sedang menunggu antrian. Saya melihat orang tersebut berkali-kali seakan tidak berhenti mengakses berbagai informasi terkait sosok yang didaulat sebagai “Imam Besar” di kelompoknya—entah siapa pula yang memulai menyebut hal ini.
Mengapa nama HRS seakan memiliki magnet yang kuat di masyarakat? Seorang pengamat politik sekaligus akademisi berpendapat bahwa kemampuan HRS memanfaatkan, menarasikan, mereproduksi isu dan narasi agama adalah kuncinya popularitasnya. Memang, sejak pemanfaatan narasi agama untuk kepentingan politik elektoral cukup populer beberapa tahun terakhir ini. Dan nama HRS menjadi mencuat sebagai sosok utama di dalam dinamikanya.
Sebenarnya, saya melihat perbincangan terkait HRS ini tidak begitu menggelora di mana-mana jika dia dilihat hanya sebagai politisi, bukan sebagai agamawan. Mengapa?
***
Agama memainkan peran penting dalam narasi populisme di Indonesia. Namun, perlu diketahui lebih dahulu, populisme bukanlah doktrin politik, melainkan klaim yang didorong oleh elit, dalam hal ini kegagalan elit. Dalam hal ini, sekelompok masyarakat yang dianggap terpinggirkan bergerak melawan elit, yang selama ini telah mengabaikan mereka. Dus, populisme dapat dianalogikan seperti bayangan yang menghantui demokrasi perwakilan, yang dianggap telah gagal menghadirkan janji-janji politik.
Terus di mana irisan antara agama dan populisme, terutama dalam kasus Indonesia? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita juga perlu menyadari bahwa rasanya tidak ada narasi yang memiliki posisi unik sekaligus utama di masyarakat Indonesia selain agama. Lihat saja di ranah Pilkada, seorang calon pemimpin daerah harus mencurahkan perhatian khusus terkait isu agama, jika tidak ingin potensi pemilihnya kabur dan memilih calon yang terlihat lebih saleh ketimbang dirinya.
Jika melihat kasus pemimpin di atas dan persoalan populisme agama di Indonesia, maka kita akan sampai pada satu kesimpulan, yakni posisi agama dalam nalar masyarakat. Agama dalam nalar masyarakat Indonesia berada di posisi paling agung. Hal ini dapat kita lihat bahwa agama selalu menjadi pilihan paling cepat dicari pelbagai persoalan publik. Agama juga menyediakan banyak alternatif ketika berbagai urusan masyarakat mengalami kemacetan.
Kita mungkin tidak lupa cuitan akun media sosial milik salah satu elemen penegak hukum yang sempat viral beberapa waktu yang lalu. Banyak komentar yang menunjukkan bahwa jika publik mulai tidak percaya kepada institusi pemerintahan atau elemen Negara lainnya, maka alternatif yang disediakan oleh agama atau model spiritualitas lainnya pasti menjadi jalan keluar pertama yang dipilih.
“Emak saya kehilangan dompet, lebih baik saya datang ke dukun ketimbang ke ****” sebut salah satu netizen. Dalam struktur sosial di beberapa daerah juga didapati otoritas selain (baca: tandingan) Negara. Ulama adalah salah satu otoritas lain tersebut. Agamawan seringkali menjadi jalan alternatif bagi masyarakat, termasuk persoalan-persoalan politik, sosial dan ekonomi.
Perasaan yang tidak jauh berbeda sebenarnya juga terjadi dalam kasus HRS. Posisinya menjadi melejit sebagai salah satu sosok paling populer di jagat perpolitikan Indonesia, pasca menjadi pemimpin garis depan dalam kasus Ahok dan Pilkada DKI kemarin. Keberhasilan Habib Rizietersebut kemudian dilanjutkan ke Pilpres 2019 kemarin, yang kita ketahui bersama hasilnya adalah gagal membawa calon yang didukungnya menduduki kursi Presiden.
Mengapa arus dukungan umat Islam begitu besar di sisi RS? Selain yang sudah saya jelaskan di atas, saya juga melihat faktor lain, yang mempengaruhi dukungan besar di masyarakat. Faktor tersebut adalah “kesucian” nasab dari HRS. Lewat gelar “Habib” yang melekat di depan namanya, RS menjadi memiliki sebuah priveledge atau keistimewaan yang jarang sekali dimiliki oleh orang lain, jika ingin menyaingi popularitasnya, terutama di kalangan muslim.
Gelar tersebut juga menjadikan sosok RS mendapatkan posisi yang “aman” dari kritik, sebab berbagai kisah hingga dalil diajukan oleh pendukungnya dengan mengacu posisinya sebagai salah satu keturunan Nabi Muhammad Saw. yang tabu untuk dikritik, apalagi menyimpan kebencian atau dendam kepadanya. Selain itu, nasab RS juga dihadirkan sebagai justifikasi pilihan politiknya.
Tapi saya yakin tidak seluruh pendukungnya percaya penuh seluruh narasi yang beredar tentang gelar RS tersebut. Ada banyak alasan lain yang menjadikan seseorang percaya dan bergabung dalam pendukung RS, namun gelar tersebut dapat memberikan rasa aman bahwa pilihan mereka tidak akan salah.
Ikatan terhadap RS sangatlah cair, dia tidak dibangun sehari apalagi hanya narasi-narasi yang tidak seluruhnya dipercaya oleh para pendukungnya. Antara ungkapan ketidakpercayaan terhadap negara dan kekecewaan yang telah lama dipendam oleh kelompok yang terpinggirkan selama ini, terutama di masa Orde Baru, adalah bagian penting menyerahkan dukungannya kepada RS, selain narasi gelar dan keturunan tersebut yang menjadi faktor pelengkapnya.
***
Melihat faktor di atas, sulit rasanya jika kita memisahkan faktor agama turut berperan besar dalam dinamika RS tersebut. Sebagaimana dijelaskan di atas, agama yang banyak dipercaya oleh publik sebagai jalan keluar dari persoalan politik, sosial dan ekonomi. Dus, logis kiranya jika sosok agamawan seperti HRS memiliki pengaruh sedemikian besar sekarang ini.
Sebab, jika kita tilik aksi politik HRS seringkali memainkan sebuah isu di antara emosi publik dan agama, ketimbang mendiskusikannya sebagai perbincangan politik. Demo atau lebih tepatnya unjuk jumlah massa, selain adu argumen atau caci maki dibubuhi bumbu agama, adalah jalan politik publik RS sekaligus menjadi nilai tawarnya, di tengah kondisi demokrasi kita yang kurang dipercaya publik.
Baca juga: Habib Rizieq itu pimpinan ormas, bukan imam besar Umat Islam?
Persoalannya kemudian adalah posisi HRS sebagai agamawan cum politisi tersebut menjadikannya sulit untuk dikritik atau berada di berseberangan dengannya. Padahal, cita-cita luhur keseimbangan kekuasaan menuntut kita bisa berdialektika, termasuk menyampaikan ketidaksetujuan dan menempatkan keteraturan publik sebagai poin utama.
Kembali ke pertanyaan di atas, dinamika HRS hari ini adalah buah dari proses panjang negeri kita yang beririsan antara agama dan Negara. Kesejajaran posisi sulit rasanya terwujud jika kita tidak mau memposisikan HRS sebagai makhluk sosial dan politik yang sama. Namun, identitas seseorang tidak mudah ditanggalkan atau dilepaskan, ia mengikuti ke mana pun individu tersebut bergera.
Tapi, kekuatan Habib Rizieq Shihab paling utama adalah menjadi wadah saluran aspirasi warga negara yang terpinggirkan. Jika saluran tersebut menemui wadah baru maka sosok seperti HRS tidak akan mendapatkan atensi sebegitu besar dari masyarakat.
Oleh sebab itu, Pemerintah sebenarnya hanya perlu mendekatkan diri dengan masyarakat dan jangan larut dalam perdebatan atau keriuhan caci maki. Pesan makin urgen sebenaranya jika melihat perkembangan akhir-akhir ini. Banyak hal yang tidak selesai dalam pertarungan politik terakhir, akibatnya banyak perbincangan masih berlanjut hingga sekarang, seperti bagaimana menghadapi dinamika politik Habib Rizieq Shihab.
Sayangnya, pemerintah memiliki banyak kekurangan selama menjalankan Negara, terutama dalam menghadapi krisis Pandemi ini. Jelas, ini momentum emas yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok yang berseberangan dengannya. Mengandalkan kekuatan tentara hanya akan memasukkan data negatif yang baru dalam imaji masyarakat.
Jika pemerintah serius ingin mengakhiri persoalan populisme Islam di Indonesia, maka tidak ada jalan lain adalah hadir sebagai pengayom yang adil dan bersih bagi masyarakat. Tentu, jalan keluar ini bukan sesuatu yang instan, tapi jika kita ingat bahwa persoalan RS juga bukan bagai meteor yang jatuh di Indonesia yang hadir sekejap mata, ia adalah warisan negatif dari rezim yang tidak adil pada rakyatnya dan hanya berpihak pada kalangan oligarki semata. Andai pemerintah sekarang masih melakukan hal yang sama maka buka tidak mungkin kita akan menghadapi permasalahan politik identitas yang tertutup ini tidak dalam waktu yang sebentar.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin