Habib Rizieq Shihab kerap mendapatkan julukan “Imam Besar Umat Islam Indonesia”. Penyematan tersebut diberikan kepada beliau seusai Kongres 212 yang digelar di PHI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat awal Desember 2017 atau sehari sebelum Reuni pertama 212 di Monas, 2 Desember 2017. Slamet Maarif yang kala itu menjabat sebagai Ketua Presidium Alumni 212 mengukuhkan Habib Rizieq yang awalnya hanya mendapatkan julukan sebagai “Imam Besar FPI” kemudian diperluas menjadi Imam Besar Umat Islam Indonesia.
Sebutan Imam Besar Umat Islam Indonesia itu kerap kita jumpai di berbagai poster yang menampakkan foto Habib Rizieq. Sebutan tersebut kemudian menjadi kontroversi dan diperbincangkan banyak orang terutama sepulang Habib Rizieq ke Indonesia setelah tiga tahun lamanya berada di Arab Saudi. Untuk membahas persoalan seputan penyebutan Imam Besar ini, redaksi sudah melakukan wawancara dengan Dai Millenial, Muhammad Ibnu Sahroji yang akrab disapa sebagai Ustadz Gaes.
“Secara kebahasaan Imam itu kan berasal dari kata “amama” yang artinya “di depan”. Dalam terminologi fikih, istilah Imam ini kemudian diberikan kepada seseorang yang memimpin jamaah salat karena posisi dia adalah yang terdepan dan diikuti oleh makmum yang berada di belakangnya. Sesudah Islam menyebar ke berbagai daerah, kemudian muncullah istilah “Imam Besar” yang diberikan kepada seorang Imam Utama di Masjid Nasional milik suatu negara Islam. Di Arab Saudi kita kenal istilah “Imam Besar Masjidil Haram”, di Indonesia kita kenal istilah “Imam Besar Masjid Istiqlal”. Maka sebetulnya kalau mengaca pada istilah imam sebagai pemimpin ibadah shalat berjamaah, maka sebutan Imam Besar Umat Islam Indonesia mestinya diberikan kepada Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, karena beliau adalah Imam Besar Masjid Istiqlal. Masjid Istiqlal itu kan masjid Nasional negara Indonesia”. Demikian ujar Ustadz Gaes.
Dai Millenial ini juga menyebutkan bahwa penggunaan istilah Imam kemudian menyebar pada persoalan lainnya. Seperti misalkan pada ulama yang keilmuannya paling terdepan kita sebut beliau sebagai Imam. Di bidang hadis kita mengenal nama Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lainnya. Di bidang Fikih kita mengenal nama Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan lainnya. Di bidang Gramatikal Arab atau Nahwu kita mengenal nama Imam Khalil dan Imam Sibawaih. Demikian juga dengan keilmuan lainnya.
Meski demikian, Ustadz Gaes menambahkan bahwa tidak semua ulama mendapatkan julukan sebagai Imam. Ibnu Hajar al-Asqallany diberi gelar “al-Hafidz”. Abu al-Fadl Iyadl bin Musa diberi julukan “al-Qadli”. Ibnu Taimiyah diberi gelar “Syaikhul Islam”. Al-Ghazali diberi gelar “Hujjatul Islam”. Di Indonesia sendiri, sebagai contoh, Hasyim Asyari sebagai pendiri NU diberi gelar “Hadratusy Syekh”. Mesti diingat juga bahwa gelar tersebut datang bukan dari yang bersangkutan, namun diberikan oleh orang-orang yang menerima manfaat dari keilmuan beliau-beliau tersebut.
Dalam persoalan kepemimpinan politik, Ustadz Gaes menjelaskan bahwa dalam khazanah Sunni, istilah “Imam” ataupun “Imam Besar” itu tidak ditemukan. Pemimpin politik dalam khazanah Sunni biasanya dikenal dengan nama “Khalifah”, “Amirul Mukminin”, atau “Sulthan”. Sebutan Imam sebagai pemimpin politik justru terdapat pada Khazanah Syiah. Sebagaimana kita ketahui, mereka menggunakan istilah “Imam” sebagai julukan bagi pemimpin Politik dan Spiritual mereka. Bahkan di Syiah, Imamah merupakan salah satu persoalan penting dalam akidah mereka. Belakangan kita pasti ingat dengan julukan Imam Khomaeni sebagai pemimpin revolusi Iran.
“Kembali kepada persoalan Habib Rizieq. Beliau adalah cucu Rasulullah yang tentunya saya hormati dan cintai. Penyebutan Imam Besar kepada beliau ini konteksnya bagaimana? Kalau sebagai pemimpin salat, sudah ada Pak Nasar sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal. Kalau sebagai pimpinan politik, ya ini negara demokrasi yang menggunakan sistem kepartaian. Beliau bukan presiden, bukan pula pemimpin partai politik tertentu”. Demikian penjelasan Ustadz Gaes.
Ustadz Gaes juga mempertanyakan persoalan keterwakilan umat Islam di Indonesia yang dimaksud dalam gelar di atas. Ustadz Gaes menganggap bahwa keterwakilan umat Islam di Indonesia sebenarnya sudah terwadahi pada organisasi mereka masing-masing. Warga Nahdhiyyin sudah terwakili oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, warga Muhammadiyah sudah terwakili oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah. Demikian juga dengan Persis, NW, dan lain sebagainya.
“Setahu saya kepengurusan FPI sendiri memanggil beliau sebagai “Imam Besar FPI”. Jadi ya sudah, kalau misalkan oleh Alumni 212 disebut sebagai Imam Besar, ya berarti Imam Besar Alumni 212. Tentunya sekali lagi harus dijelaskan juga, keimamannya ini dalam kapasitas apa? Imam shalat berjamaah? Imam dalam arti pemimpin organisasi? Imam dalam arti pemimpin politik? Harus jelas dulu”. Demikian tutup Ustadz Gaes.
*Follow akun Twitter Ustadz Gaes, klik di sini