Habib Jindan: Kita Sambut Ramadhan dengan Penuh Kasih Sayang dan Penuh Cinta

Habib Jindan: Kita Sambut Ramadhan dengan Penuh Kasih Sayang dan Penuh Cinta

Habib Jindan: Kita Sambut Ramadhan dengan Penuh Kasih Sayang dan Penuh Cinta

“Kita harus sadar bahwa sebagian, boleh jadi sebagian besar, orang yang tidak mengenal Islam itu karena kesalahan kita umat Islam. (terutama) kita para dai,” tutur Prof Quraish Shihab dalam acara Ulama Penyejuk Hati.

Menurut Prof Quraish, dulu di Majelis Hukama’ al-Muslimin pernah ada pembahasan bahwa orang-orang di Eropa tidak sedikit yang belum mengenal Islam. Ini disebabkan karena apa yang ditampilkan oleh umat Islam adalah sesuatu yang tidak baik. Maka tidak mengherankan saat diajak untuk memeluk Islam, mereka tidak memahaminya.

Pernah suatu ketika Syekh Mutawalli al-Sya’rawi menanyakan pada seseorang yang meyakini teror sebagai bentuk jihad.

“Menurut kamu, mereka yang kamu bunuh akan masuk surga ataukah neraka?”

“Masuk neraka,” ujar seseorang tersebut dengan penuh yakin.

Lantas Syekh Sya’rawi menimpali “kenapa engkau jadikan mereka masuk neraka, bukannya seharusnya engkau ajak dia ke surga. Bukankah Islam mengajak manusia untuk masuk ke surga, tapi mengapa engkau jerumuskan ke neraka?”

Tentu hal ini bertentangan dengan Islam sendiri, yang dalam QS. Ali Imran [3]: 204 Allah memerintahkan kepada umat Islam agar berdakwah mengajak orang lain dalam kebaikan. Bukan menghakimi, memvonis apalagi mengkafirkan orang lain. Semua harus dilakukan dengan cara-cara yang ma’ruf. Bahkan dalam mencegah kemunkaran pun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf pula.

“Adapun nahi munkar dengan cara yang munkar, itu adalah sebuah kemunkaran yang perlu dinahi (dicegah) lagi,” tegas Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan.

Bahkan disebutkan dalam kitab terdahulu, bahwa Allah akan menilai sebagai pejuang jika seseorang mampu mengembalikan hamba Allah ke jalan yang benar.

يا داوود, من ردّ لي عابدا كتبته عندي جهبذا

Kita semua umat Islam di Indonesia sudah sepatutnya bersyukur memiliki sejumlah pendakwah yang selayaknya dijadikan panutan, yakni Walisongo. Sekelompok Ulama dengan metode dakwah yang sangat santun dan lembut, tanpa menggunakan kekerasan sama sekali.

“Mereka ketika membawa agama Islam ke bumi Indonesia ini diakui oleh semua orang kalau dakwahnya adalah dakwah Islamiyyah yang paling sukses di dunia. Saya mau tanya, berapa candi dihancurkan, berapa kuil yang mereka hancurkan atau berapa patung yang mereka rusak? Tidak ada, semuanya masih lengkap! Tetapi kesuksesan dakwah yang dibawa oleh mereka demikian luar biasa. RadhiyaAllahu ‘anhum ajma’in. Inilah yang patut kita teladani, moderasi yang dibawa oleh mereka adalah moderasi yang diajarkan Rasulullah saw,” lanjut Habib Jindan.

Dalam konteks kekinian, KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) mencontohkan bahwa di antara beberapa tokoh moderat yang layak dijadikan sebagai contoh ya sebagaimana Ulama-Ulama yang berkumpul pada diskusi tersebut. Beliau menegaskan kembali bahwa dalam beragama sangat membutuhkan pengetahuan agama yang mumpuni. Jangan sampai ekspresi keagamaan kita justru menyalahi ajaran agama akibat kebodohan kita sendiri.

“Bahwa ilmu pengetahuan agama sangat penting sekali untuk beragama. Banyak sekali orang yang semangat keberagamaannya begitu berkobar-kobar tapi tidak diimbangi dengan kedalaman pemahaman agama. Ini yang menjadi masalah.”

Belum cukup sampai di situ, masalah ini bertambah pelik lagi akibat ulah dari sebagian orang yang dianggap sebagai Ustadz, Dai, ataupun lainnya yang selalu menyampaikan narasi-narasi kebencian. Apalagi jika kebencian ini diperdengarkan kepada para pengikutnya yang dengan begitu mudahnya tersulut emosi. Lebih-lebih kebencian yang dibalut ceramah dengan diatasnamakan agama. Lengkap sudah. Padahal kebencian terhadap apapun dan siapapun, sangatlah tidak cocok dengan Islam yang begitu lekat dengan sifat kasih sayang dan Rahman Rahim Allah.

“Kalau potongan seperti kita ini dilahirkan pada zaman Nabi, jangan-jangan tidak ikut kanjeng Nabi, tapi ikut Abu Jahal. Karena potongan kita ini suka marah, tidak tersenyum seperti kanjeng Nabi, tidak mengasihi sesama, tapi membenci orang.”

Lebih lanjut, Gus Mus menanggapi pelaku penyerangan Mabes Polri beberapa waktu lalu. Baginya, sang pelaku hanyalah korban dari orang-orang yang gemar berbicara agama, namun tak memiliki standar untuk berbicara agama.

Inilah pentingnya berguru kepada orang-orang yang jelas secara sanad keilmuan. Tidak hanya mereguk ilmunya, tetapi yang terpenting adalah pemahamannya terhadap teks-teks keagamaan. Lanjut Habib Jindan, semua ini penting dilakukan dengan merujuk pada orang-orang yang bersambung sanadnya hingga Rasulullah saw. Termasuk metode dakwah yang digunakan sekalipun. Ibarat orang sedang sakit, maka ia harus berobat kepada dokter yang memang ahli di bidangnya. Tidak bisa kepada sembarang orang. Begitupun dalam berguru, lebih-lebih dalam hal agama.

“Beragama memang harus dilatih dari kecil. Kitab Shahih Muslim dimulai di antaranya dengan kata inna hadza al-‘ilma dinun, fandzuru ‘an man ta’khudzuna dinakum. Ilmu adalah agama, maka lihatlah kamu mengambilnya dari mana”, timpal Gus Baha.

Habib Jindan mengutip perkataan al-Imam Ahmad bin Hasan:

من ضاق علمه ضاق عمله. ومن ضاق عمله ضاق صدره

Seseorang apabila sempit ilmunya, pasti sempit pula amalannya. Jika sempit amalannya, pasti sempit pula pikirannya. Dengan demikian, ia akan mudah menyalahkan saat melihat orang di sekelilingnya berbeda dengan dirinya.

Oleh karenanya dikatakan pula:

فلما كثر عقل الرجل قل اعتراضه على الناس

Tatkala seseorang memiliki pengetahuan yang luas, maka akan semakin sedikit kritik dan protesnya terhadap orang lain. Hal ini dilatarbelakangi oleh luasnya ilmu. Saat menjumpai sesuatu yang berbeda, ia akan menyikapinya dengan arif dan tak mudah menyalahkan, sebab ia sendiri tahu bahwa apa yang dilakukan orang lain memiliki dasar yang kuat pula. Lagi-lagi, inilah pentingnya ilmu dalam beragama. Sehingga, jangan sampai ilmunya justru kalah dengan semangat keberagamannya yang menggebu-gebu.

Sebagai seorang dai atau siapapun kita, Habib Jindan mengingatkan, janganlah dengan mudah memonopoli jalan kebenaran. Al-Tharīq al-Mūshilah ila Allah bi ‘Adad Anfas al-Basyar, bahwa jalan menuju Allah sangatlah banyak, sebanyak tarikan nafas manusia di dunia ini. Kita semua dipersilakan menggunakan metode dakwah apapun, selama tidak keluar dari apa yang diizinkan oleh Allah dan Rasulullah saw.

“Metode dakwah yang haram tidaklah dibenarkan. Begitu juga metode dakwah dengan cacian, makian, mengkafirkan, ujaran kebencian, mensyirikkan orang lain, atau memprovokasi orang lain untuk saling membenci dan mendengki.” Tegas Habib Jindan.

Lantas beliau mengutip Syaikh Abdullah bin Bayyah, seorang Ulama yang juga menjadi salah satu anggota Majelis Hukama al-Muslimin bersama Habib Quraish. Dikatakan:

التكفير مقدمة التفجير

Bahwa sikap mudah mengkafirkan sesama adalah pintu pengantar menuju sikap terorisme dan pengeboman.

Habib Jindan menceritakan, banyak dari kawan-kawan beliau yang menjadi pendakwah dengan menyasar anak-anak muda maupun orang-orang di pedalaman. Seringkali saat melihat penceramah penuh dengan cacian dan makian, mereka mengaku bersyukur dulu mengenal Islam melalui dai-dai yang ramah dan santun, bukan melalui mereka. Bahkan, seandainya mengenal Islam melalui penceramah tersebut, mereka membayangkan mungkin saja tidak akan memeluk Islam.

Memang sudah sepatutnya bagi seorang dai, tidak melihat latar belakang dari mereka yang menjadi target dakwah. Kita harus melihat semua dengan pandangan kasih sayang, bahkan teradap orang yang bermaksiat sekalipun.

من لا يرحم رجل السوء فهو السوء حالا منه

“Seseorang yang tidak memiliki kasih sayang kepada orang berperilaku buruk, maka ia justru lebih buruk dari orang tersebut”

“Kita ingin menyambut Ramadan dengan hati yang macam begini. Penuh kasih sayang, penuh cinta, dan wataknya (masyarakat) Indonesia alhamdulillah bersama watak yang indah yang diiringi dengan keindahan agama Islam. Ini menjadi sempurna insyaAllah. Wataknya kita adalah rahmat, kasih sayang, begitu peduli kepada sesama. Ini adalah sebuah hal yan terpuji yang tidak kita temukan di negeri yang lain seperti Indonesia, Alhamdulillah.” Pungkas Habib Jindan.

Terakhir, Gus Baha menutup dengan sebuah riwayat yang sangat layak untuk dijadikan sebagai panduan:

إِنْ اردت أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ وليس فِي قَلْبِكَ غِشٌّ على أحَدٍ فَافْعَلْ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي.

“Kamu bangun tidur, kamu berada di sore hari; hati kamu tidak punya kebencian dengan seseorang maka lakukanlah, karena itu sunnahku. Bapak saya, utamanya KH. Maimoen Zubair itu pesannya pokoknya illa man ata Allaha bi qalbin salim, kita semua nanti bertemu Allah dalam keadaan hati yang bersih dan ridha.”