YOGYAKARTA, ISLAMI.CO – Cendekiawan Habib Ja’far Husein al-Haddar berpendapat bahwa bangsa ini sudah terlanjur mengenal istilah mayoritas dan minoritas sehingga sampai hari ini pelabelan tersebut masih terdengar di sekitar kita. Ia juga menyebut, Presiden Kelima Republik Indonesia (RI) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sudah memberi contoh terbaik untuk itu.
“Negeri ini sudah terlanjur tidak bersikap setara kepada muslim dan non muslim, kepada yang mayoritas dan kepada yang minoritas,” ungkap Habib Ja’far di Haul Gus Dur ke-15 di Laboratorium Agama Masjid Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga pada (15/11/2024)
“Bangsa ini sudah terlanjur punya istilah mayoritas dan minoritas. Dan bagi kita, sebagai orang-orang yang berjalan dalam ajaran Gus Dur tidak menerima hal ini karena bagi kita, semua setara.” ungkap Habib Ja’far.
Karena itu, Habib Ja’far mengajak kepada jamaah yang hadir untuk menjadikan mereka yang tidak setara sebagai prioritas bersama agar cita-cita kesetaraan ini dapat diwujudkan bersama.
“Kepada kita teman-teman mayoritas maka kita menjadikan minoritas sebagai prioritas dalam segala urusan kita, agar mereka terus tergerek naik sehingga setara dengan mayoritas umat Islam,” ujar Habib Ja’far.
Habib Ja’far menambahkan, Gus Dur berhasil membawakan dakwah-dakwah yang menggembirakan dan menyatukan, tidak malah memecah belah umat Islam di Indonesia.
Menurutnya, Gus Dur tidak hanya menjadi rahmat untuk umat muslim tetapi untuk lintas umat.
“Dengan wawasan keislaman yang begitu luas sehingga bisa merangkul semuanya, bukan saja orang yang sudah baik, tapi orang yang belum baik bahkan orang yang belum Islam sekalipun Gus Dur dapat menampung mereka dengan suasana yang toleran, moderat dan kehangatan,” imbuh Habib Ja’far
Selain itu, sebab keluasan wawasan kebangsaannya, Gus Dur dapat menerima siapa saja, semuanya dinilai setara oleh Gus Dur.
“Siapapun orang yang menjadi warga negara ataupun bukan warga negara Indonesia bisa dipeluk Gus Dur. Siapapun bisa diterima oleh Gus Dur dengan ragam perbedaan pandangan kebangsaannya,” jelas Habib Ja’far.
Dengan demikian proses dakwah yang dilakukan Gus Dur benar-benar menggunakan jalur keturunannya untuk kemaslahatan bersama bukan semata untuk dirinya sendiri.
“Privilege Gus Dur sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama tidak digunakan untuk memperkaya diri, tidak untuk mengkultuskan diri, tidak untuk mencari jabatan, tidak untuk digunakan untuk hal yang sifatnya remeh temeh, tapi digunakan oleh Gus Dur bukan untuk dirinya, bukan untuk keluarganya tapi untuk umat dan masyarakat, orang-orang tertindas dan minoritas,” pungkas Habib Ja’far