Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri menyebutkan tajdid atau upaya pembaharuan dan penyegaran hukum Islam untuk menjawab persoalan dan tantangan zaman, hukumnya Fardhu Kifayah. Hal ini disampaikan dalam seminar “Kajian Keislaman: Antara Konservatif (Tradisional) dan Inovatif (Modern)” yang diselenggarakan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa (23/8) lalu.
Karena hukumnya Fardhu Kifayah, menurut Habib Ali Al-Jufri, harus ada ulama yang melakukan tajdid di setiap zaman. Dan, jika tidak ada satupun yang melakukannya, maka seluruh ulama dianggap berdosa.
“Jika tidak ada satupun yang melakukan pembaharuan, maka setiap kami (ulama) adalah pendosa,” jelasnya.
Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan. Karena, persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang dari masa ke masa. Karena itu, harus ada ulama yang melakukan pembaharuan. Sehingga hukum Islam senantiasa dapat menjawab berbagai persoalan sesuai dengan kondisi yang aktual.
Meski demikian, Habib Ali Al-Jufri menggarisbawahi bahwa tajdid hanya terbatas pada persoalan syari’at (masa`il as-syar’iyyah) yang berlandaskan pada dalil yang tidak pakem (al-mutaghayyirat). Adapun yang berlandaskan pada dalil yang pakem (ats-tsawabit), maka tidak berlaku tajdid di dalamnya. Seperti jumlah raka’at sholat yang jumlahnya telah ditentukan, dan semacamnya.
“Apa itu dalil yang tidak pakem? Yaitu nash yang mengandung banyak kemungkinan pemahaman,” terangnya.
Sebagai contoh, Habib Ali Al-Jufri membacakan sebuah hadis masyhur tentang kisah sahabat yang berbeda dalam memahami sabda Rasulullah SAW berikut.
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدُكُمْ اْلعَصْرَ إِلَّا فِيْ بَنِيْ قُرَيْضَةَ
Jangan ada satupun di antara kalian yang shalat asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.
Seperti yang banyak diketahui, terjadi ikhtilaf di antara para sahabat. Sebagian tetap kekeuh untuk tidak shalat asar hingga tiba di perkampungan Bani Quraizhah. Sebagian lainnya memilih untuk shaolat di tengah perjalanan karena khawatir waktu Maghrib datang sebelum mereka tiba di tujuan.
Menurut Habib Ali Al-Jufri, ada satu poin penting dari peristiwa tersebut. Yaitu, bahwa Rasulullah tidak hanya menerima kedua pemahaman yang berbeda dari sahabat, melainkan juga tidak menguatkan salah satu dari kedua pendapat tersebut.
“Dan saya mengingatkan di sini bahwa kebenaran hanya ada satu, namun jalan untuk menuju ke sana banyak,” tegasnya.
Sebuah pernyataan singkat namun mendalam. Semua orang tentu ingin mencari dan meraih kebenaran. Namun, bisa jadi jalan yang ditempuh berbeda-beda, dan hal tersebut sangatlah wajar. Oleh karena itu, selama tujuan yang ingin dicapai sama, jangan sampai membatasi bahwa kebenaran hanya dapat diraih melalui jalan tertentu saja.
Pelajaran lain yang dapat diambil adalah bahwa dalam upaya mendialogkan teks yang terbatas dengan konteks yang tidak terbatas, sangat mungkin terjadi perbedaan dalam memahami teks. Selama bukan persoalan yang berlandaskan pada dalil yang pakem, maka tajdid boleh dan bahkan harus dilakukan. Sehingga Islam senantiasa menjadi shalihun li kulli zaman wa makan. Islam yang selalu relevan dan menembus batas ruang dan waktu. Wallahu a’lam.