“Sepak bola tidak hanya 90 menit di lapangan.” Demikian kata para pengamat sepak bola. Tidak hanya mengisahkan sebelas lawan sebelas, soal wasit, tapi sepak bola juga telah menjadi budaya masyarakat modern. Sebagai olahraga paling populer di dunia, sepak bola telah menjelma ideologi, juga identitas, yang bagi sebagian orang, terleburkan dalam dirinya.
Di Indonesia, klub-klub sepak bola terutama yang punya sejarah panjang, erat sekali dengan kedaerahan masyarakat. Kita kenal Persija, Persib, Persebaya, PSIS, dan banyak klub bola lainnya yang lahir di era Perserikatan. Ketika era Galatama bergulir, klub-klub swasta yang lahir dari rahim masyarakat pun juga membentuk kultur hooliganism yang tidak kalah kuat. Itulah yang terjadi pada Arema Malang.
Lahir tahun 1987, klub bola Arema disebut-sebut sebagai entitas yang mampu mewadahi arek Malang yang lebih terbuka, punya kolektivisme yang kuat, dan mungkin terkesan urakan dan kasar dalam laku dan pilihan kata. Kultur Arema dan Aremania dipandang turut mengurangi kekerasan antar kelompok di Malang. Hari ini, bicara Malang, orang akan menyebut Bhumi Arema. Negerinya Arema, negerinya Singo Edan.
Kultur tersebut tidak hanya ada di kalangan pemuda dan hooligan. Sepak bola juga turut berakulturasi dengan baik dengan identitas keagamaan. Dalam kasus Arema Malang – baik sebelum maupun pasca dualisme – ada satu fenomena unik dakwah Islam berbasis ke-Arema-an. Inilah yang diwakili dengan sangat baik oleh almarhum KH. Abdul Wahid Ghozali, atau yang dikenal luas dengan Gus Wahid Arema.
Dilahirkan di kampung santri, tepatnya daerah Gading – kebetulan ndalem orang tua Gus Wahid, KH. Ghozali, persis bersebelahan dengan salah satu pondok tertua di Indonesia, Pondok Miftahul Huda Gading. Ilmu agamanya didapat dengan berguru ke masyayikh Pondok Gading, dan juga pada kiai-kiai Malang Raya. Info dari beberapa tetangga maupun kawan main Gus Wahid semasa muda, Gus Wahid muda dikenal agak bengal, serta bergaul dengan masyarakat jalanan. Tapi konon, itulah momentum penempaan spiritual beliau, dan menjadikannya mampu memahami problem rakyat Malang kebanyakan.
Berbeda dengan budaya Jawa Tengah atau Yogyakarta, penggunaan kasta bahasa Jawa bagi masyarakat Malang cenderung lebih cair. Karena itulah orang Malang lebih sering menggunakan diksi ngoko, kesannya lebih kasar. Apalagi orang Malang, juga menyelipkan boso-boso walikan yang menjadi prokem sehari-hari.
Demikian pula yang terjadi dalam setiap kesempatan dakwah Gus Wahid Arema. Ia menggunakan boso walikan, ceplas-ceplos, cenderung urakan, tapi justru karena itulah pesan-pesannya sebagai muballigh diterima luas semua kalangan. Ia bak menjadi representasi kultur Arema dalam dakwah keagamaan. “Kadit helob ococem,” Tidak boleh mecoco – jangan cemberut, demikian Gus Wahid sering menyampaikan ke jamaahnya agar tetap optimis dan tersenyum menghadapi persoalan hidup.
Tak heran, semasa hidupnya, pengasuh Pondok As Salam Singosari ini dijadikan semacam guru spiritual oleh klub Arema Malang dan Aremania: mengisi forum-forum kajian untuk ofisial dan tim, mengadakan majelis Arema Berdzikir, dan dalam berbagai kesempatan pertandingan atau HUT Arema, Gus Wahid bak simbol kedekatan Arema dan Aremania dengan ulama dan lslam. Lumrahnya kiai tampil ceramah dengan sorban, Gus Wahid sering tampil dengan mengenakan syal Arema dan kadang melilitkannya di kepala seperti imamah.
Ia dekat dengan banyak kalangan. Sebagai ulama dan pendakwah, ia termasuk pengurus teras NU setempat dan MUI Kabupaten Malang semasa hidupnya. Di kalangan Aremania dan Arema, sudah tidak diragukan lagi kiprah dan loyalitasnya pada Arema. Dalam jejaring politik, ia mendapat simpati dari pemerintah Malang Raya, maupun berbagai fraksi politik.
Gus Wahid juga berterima di kalangan seniman lokal. Komunitas D’ Kross sebagai grup musik legendaris Kota Malang, menaruh respek pada beliau. “Gus Wahid mampu membawakan lagu-lagu Scorpions. Suatu saat D’ Kross pernah jam session sepanggung bersama beliau membawakan aransemen Shalawat Asyghil dan Shalawat Bani Hasyim yang dikemas dengan genre hard rock.” demikian terang Sam Ade, salah satu pentolan D’Kross. Bahkan dalam keterangan tersebut, Gus Wahid juga mendukung pengembangan sasana tinju yang didirikan grup musik ini.
Kiai ini wafat pagi hari tanggal 4 Juli 2020, dan dimakamkan di pesantren yang dirintisnya, Pesantren As Salam di Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Saat hari wafatnya, ucapan duka berdatangan dari Arema sebagai entitas klub dan tentu saja Aremania. Bahkan, salah satu akun yang menyebarkan kabar duka tersebut pertama kali adalah Ovan Tobing, salah satu tokoh Aremania dan penyiar radio kawakan di Kota Malang.
“Saya kehilangan seorang kawan, walau beda keyakinan asal ketemu guyon ngakak hilang semua perbedaan karena saling menghargai, menghormati dan sama Arema nya.” Demikian tulisnya di Twitter.
Saya kehilangan seorang kawan, walau beda keyakinan asal ketemu guyon ngakak hilang semua perbedaan karena saling menghargai, menghormati dan sama Arema nya.
Selamat jalan Gus Wahid Arema. Meninggal pagi tadi 5.50 an wib ketika isi pengajian dipondok beliau.
Ndisiki yo Gus Gus pic.twitter.com/JOP5Wp18Lf— Ovan Tobing/0T (@OvanTobing) July 4, 2020
Mendiang Gus Wahid Arema menjadi satu fenomena menarik bagaimana seorang ulama bisa identik dengan kultur klub sepak bola maupun komunitas suporternya, dan berfungsi sebagai perekat sosial tidak hanya dalam lingkup suporter bola, namun juga masyarakat Kota Malang.
Kita melihat fanatisme sepak bola menjadi anugrah sekaligus petaka bagi suporter. Sudah banyak nyawa melayang dan korban dari fanatisme yang tidak sehat. Dan Gus Wahid menunjukkan bahwa loyalitas dan fanatisme sepak bola yang sehat, adalah modal pemersatu yang baik. (AN)