Sebuah video yang memperlihatkan Dai yang juga Utusan Khusus Presiden, Miftah Maulana atau Gus Miftah menghina seorang penjual es teh tengah viral di media sosial. Video ini dengan cepat menjadi perbincangan publik dan memicu berbagai komentar.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengulas fenomena tersebut sebagai bahan refleksi terkait gelar keagamaan. Kejadian ini mencerminkan bagaimana masyarakat kini semakin terbuka terhadap sorotan publik, namun juga semakin rentan terhadap penilaian dan kritik yang sering kali kurang bijaksana.
Jika kita melihat lebih jauh, fenomena ini sebenarnya mencerminkan perubahan dalam cara kita memandang gelar dan penghormatan dalam masyarakat.
Dahulu, mereka yang benar-benar berasal dari keluarga pesantren atau memiliki latar belakang keilmuan agama yang mendalam, cenderung menghindari penggunaan gelar seperti Gus, Kiai, dan sejenisnya.
Gelar tersebut diberikan dengan penuh pertimbangan, bukan sekadar sebagai simbol sosial, melainkan sebagai representasi dari kedalaman ilmu dan pengabdian mereka terhadap masyarakat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat gelar-gelar ini menjadi lebih mudah didapatkan, bahkan sering kali digunakan sebagai alat untuk memperoleh status sosial atau daya tarik publik.
Perubahan ini dapat dipahami dengan merujuk pada teori otoritas agama (religious authority), yang membahas bagaimana otoritas keagamaan tidak hanya berfungsi sebagai sumber kebenaran dalam konteks spiritual, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap identitas sosial dan masyarakat.
Peter L. Berger dalam karyanya The Sacred Canopy (1967), menjelaskan bahwa agama memberikan suatu kerangka atau “kanopi sakral” yang membentuk cara individu dan kelompok memahami dunia mereka.
Dalam masyarakat modern, peran otoritas agama sering kali terfragmentasi, dengan banyak individu atau kelompok yang merasa berhak untuk menyuarakan otoritas mereka, meskipun tidak memiliki kedalaman keilmuan atau pengalaman spiritual yang mendalam.
Fenomena Gelar Agama dan Otoritas Sosial
Pergeseran ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: apa sebenarnya yang membuat seseorang dianggap layak menyandang gelar keagamaan seperti Gus atau Kiai?
Jika pada masa lalu, gelar ini lebih banyak berhubungan dengan pengakuan masyarakat atas ilmu agama dan kesalehan, kini gelar tersebut kadang lebih dipandang sebagai simbol sosial yang menunjukkan status atau pengaruh dalam masyarakat, ketimbang pemahaman dan dedikasi mereka dalam pengajaran agama.
Salah satu tokoh misalnya, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), yang dikenal tidak hanya sebagai seorang Kyai karena ilmunya, tetapi juga karena pendekatannya yang inklusif terhadap agama, kebudayaan, dan politik. Gus Dur, yang lahir dalam keluarga pesantren terkemuka, tidak hanya mengedepankan pengetahuan agama, tetapi juga pemikiran kritis tentang sosial-politik dan kebangsaan.
Ia menjadi simbol otoritas agama yang diterima luas oleh berbagai kalangan, baik di dalam maupun luar komunitas Muslim Indonesia. Gus Dur mengajarkan bahwa Kiai tidak hanya bertugas sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai pembawa pesan kemanusiaan yang universal.
Salah satu pesan penting Gus Dur adalah bahwa keberagaman dalam Islam adalah keniscayaan dan harus dihormati, dan pesan-pesan lainnya.
Jika boleh sedikit mengutip dari sebuah film anime, saya teringat pada nasihat bijak yang disampaikan oleh Uchiha Itachi, seorang tokoh dalam serial Naruto.
Dalam cerita tersebut, Itachi memberikan pesan kepada Naruto yang sangat ambisius untuk menjadi Hokage.
Itachi berkata, ‘Menjadi Hokage (pemimpin) bukan berarti semua orang akan mengakuimu. Namun, jika semua orang mengakuimu, itulah Hokage yang sebenarnya.’
Jika kita sesuaikan dengan konteks keagamaan, kita bisa mengungkapkan, ‘Menjadi Gus, Kiai, atau gelar-gelar agama lainnya, bukan berarti semua orang akan mengakuimu. Namun, jika semua orang mengakuimu, itulah Kiai yang sesungguhnya.’
Jika kita sesuaikan nasehat ini dengan konteks gelar agama, bisa dikatakan, “Menjadi Gus, Kiai, atau tokoh agama lainnya, bukan berarti semua orang akan mengakuimu. Namun jika semua orang mengakuimu, itulah Kiai yang sesungguhnya.”
Kiai yang sesungguhnya adalah mereka yang diakui karena pengabdian nyata kepada umat, bukan hanya karena status atau gelar yang disandang.
Seorang Kiai seperti Gus Dur, misalnya, dihormati bukan hanya karena gelar yang disandang, tetapi juga karena pemikirannya yang merangkul pluralisme, keberagaman, dan toleransi.
Gelar itu datang sebagai pengakuan terhadap integritas dan kedalaman ilmu yang tidak dapat dipisahkan dari tindakan dan kontribusinya dalam masyarakat.
Penting untuk diingat bahwa penghormatan terhadap otoritas agama seharusnya tidak didasarkan pada popularitas atau seberapa banyak seseorang dikenal publik.
Dalam banyak tradisi keagamaan, otoritas agama berakar pada pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama dan kontribusi nyata terhadap masyarakat. Namun, dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh media sosial dan pencitraan publik, seringkali kita melihat gelar-gelar ini menjadi alat untuk meraih status atau perhatian, bukan sebagai refleksi dari otoritas keagamaan yang sejati.
Izinkan saya megutarakan isi hati, saya sedih menyaksikan video Gus Miftah yang memperlihatkan seorang tokoh agama yang bercanda dengan seorang penjual es teh di tengah kerumunan.
Penjual es teh tersebut sedang memikul dagangannya, sementara Gus Miftah bersama para tokoh berbicara di depan publik. Meskipun niatnya mungkin hanya untuk bercanda, video tersebut memunculkan pertanyaan: apakah perilaku seperti ini mencerminkan penghormatan yang seharusnya dimiliki oleh seseorang yang mengaku sebagai pemimpin agama? Atau justru ini menunjukkan bahwa kita harus lebih kritis dalam melihat siapa yang pantas menyandang gelar tersebut di masyarakat?
Dalam hal ini, fenomena tokoh agama yang mengundang perhatian publik melalui video viral, termasuk yang menunjukkan sikap merendahkan orang lain seperti penjual es teh, memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara gelar yang disandang dengan sikap dan perilaku yang diharapkan dari seorang pemimpin agama.
Gelar agama, yang seharusnya mencerminkan otoritas moral dan intelektual, terkadang disalahgunakan untuk mencapai popularitas semata. Ini menjadi tantangan dalam memahami kembali esensi dari otoritas agama dalam masyarakat modern.
Kesimpulan
Fenomena viral yang terjadi di media sosial saat ini menggambarkan bagaimana gelar agama menjadi semakin politis dan sosial, bukannya murni berdasarkan otoritas ilmu dan pengabdian.
Oleh karena itu, sangat penting untuk kita kembali memaknai gelar-gelar tersebut dengan mengedepankan integritas, kesalehan, dan kontribusi nyata bagi masyarakat, sebagaimana yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh agama besar Indonesia seperti Gus Dur.
Pada akhirnya, pengakuan atas otoritas agama harus didasarkan pada kualitas dan dedikasi, bukan sekadar gelar yang mudah didapatkan atau popularitas sesaat.
Akhir kata, meskipun saya memahami bahwa maksud penceramah (baca: Gus Miftah) yang saya bahas dalam tulisan ini mungkin adalah untuk bercanda, namun humor yang disampaikan terasa kurang tepat.
Kita patut mengingat ajaran Gus Dur, yang mengungkapkan bahwa humor terbaik adalah yang mampu menertawakan diri sendiri, sementara humor yang paling merugikan adalah ketika ia digunakan untuk merendahkan mereka yang lemah, daif, dan tak memiliki kuasa.