Gus Dur, Tempo, dan Kepala Babi

Gus Dur, Tempo, dan Kepala Babi

Gus Dur, Tempo, dan Kepala Babi

​Teror ‘kepala babi’ dan ‘tikus’ terhadap Tempo mengingatkan kita pada masa lalu ketika media dan jurnalis menghadapi tekanan dan ancaman saat menyuarakan kebenaran. Seperti diceritakan Anita Wahid, puteri Gus Dur dalam akun media sosialnya. Pengalaman ancaman teror melalui telepon di jam tertentu pernah dialami keluarga Gus Dur ketika ayahnya sangat keras mengkritik kekuasaan.

Ya, pada 19 Maret 2025 lalu, kantor redaksi Tempo di Palmerah Barat, Jakarta Selatan, menerima paket berisi kepala babi tanpa telinga. Beberapa hari kemudian, pada 22 Maret 2025, mereka kembali menerima paket berisi enam bangkai tikus dengan kepala terpenggal. Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, menilai bahwa kiriman tersebut merupakan upaya teror terhadap kerja jurnalis dan kebebasan pers.

Peristiwa teror ini bisa menjadi cermin besar bagi situasi politik dan kebebasan pers di tanah air. Peristiwa teror kepala babi yang ditujukan kepada Francisca Christy Rosana (Cica), serta respons Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi, membuka ruang diskusi lebih luas tentang bagaimana pemerintah memahami kebebasan pers, komunikasi politik, dan respons pemerintah terhadap intimidasi jurnalis.

Gus Dur dan Tempo

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah kolumnis tetap di Tempo pada era 1970-an hingga 1990-an. Sebagai insan pers, ia memahami pentingnya peran pers yang bebas dan kritis dalam demokrasi. Sebagaimana kesaksian para jurnalis senior majalah tersebut, seperti Goenawan Mohammad, Syu’bah Asa dan Fikri Jufri. Gus Dur bisa tiba-tiba saja datang ke Kantor Tempo di Tanah Abang, diskusi sebentar dan duduk di kursi kerja Fikri Jufri dan menggunakan mesin ketik yang tersedia. Ia sering menulis tentang berbagai isu sosial, politik, dan budaya, menunjukkan dukungannya terhadap kebebasan berekspresi. ​

Dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru, Gus Dur menjabat sebagai presiden (1999–2001). Pola kepemimpinan Gus Dur jelas menjaga nilai-nilai demokrasi. Meski Majalah Tempo kerap mengkritik berbagai kebijakan dan gaya kepemimpinan Gus Dur. Salah satu kritik utama adalah terkait keputusan Gus Dur yang dianggap kontroversial dan sering mengambil keputusan secara mendadak tanpa konsultasi memadai. Misalnya, reshuffle sejumlah menteri tanpa penjelasan memuaskan, menimbulkan ketidakstabilan dalam kabinet. Selain itu, skandal seperti “Buloggate” dan “Bruneigate” jadi sorotan, di mana Gus Dur dituding terlibat penyalahgunaan dana, meskipun tidak terbukti secara hukum hingga saat ini.

Sekeras apapun kritik kepada Gus Dur, ia tidak pernah mengirim signal ancaman terhadap Tempo atau media manapun. Dalam konteks teror yang dialami Tempo saat ini adalah bentuk ancaman serius bagi demokrasi dan kebebasan pers. Gus Dur selalu menekankan pentingnya media sebagai salah satu pilar utama demokrasi yang bebas mengawasi dan mengkritisi kekuasaan tanpa rasa takut.​

Teror Tidak Bisa Dianggap Sepele

Pengiriman kepala babi kepada seorang jurnalis yang terlibat dalam investigasi politik bukan sekadar ancaman pribadi. Ini adalah pesan politik yang dikemas dalam teror simbolik. Dalam teori komunikasi semiotika Charles Sanders Peirce, tanda (sign) memiliki makna yang bergantung pada interpretan (penerima pesan). Dalam konteks ini, kepala babi bukan sekadar objek fisik, tetapi sebuah kode ancaman yang menunjukkan bahwa si penerima pesan sedang diawasi, diintimidasi, bahkan boleh jadi dalam bahaya.

Di banyak negara dengan sejarah panjang represi kebebasan pers, simbol serupa digunakan untuk menanamkan rasa takut. Di Meksiko, jurnalis yang memberitakan korupsi kartel narkoba sering menerima peringatan dalam bentuk kepala hewan atau pesan tertulis yang mengancam keselamatan mereka. Di Indonesia sendiri, kita masih mengingat bagaimana era Orde Baru menekan jurnalisme kritis dengan berbagai cara, mulai dari sensor, ancaman fisik terhadap jurnalis hingga pembredelan.

Dalam situasi serius seperti ini, respons pejabat pemerintah sangat menentukan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pernyataan Hasan Nasbi menyarankan agar kepala babi itu “dimasak saja” menunjukkan kegagapan fatal komunikasi politik.

Dalam teori komunikasi politik, ada konsep framing yang diperkenalkan oleh Erving Goffman. Framing adalah bagaimana seseorang membentuk makna dalam sebuah interaksi, baik sengaja maupun tidak. Dalam konteks ini, Hasan memilih frame yang tidak relevan dengan situasi. Bukannya mengecam teror dan menegaskan perlindungan bagi jurnalis dan kebebasan berpendapat, ia justru membelokkan narasi dengan candaan yang tidak pada tempatnya.

Kesalahan komunikasi ini memperlihatkan kurangnya kepekaan terhadap bagaimana sebuah pesan akan dikonsumsi publik. Dalam perspektif komunikasi krisis (crisis communication), menurut William Benoit dalam teori Image Restoration, ada beberapa strategi yang bisa digunakan ketika sebuah institusi menghadapi situasi sensitif. Salah satu strategi yang paling buruk adalah mencoba meredam isu, menormalisasi dengan bercanda atau tidak mengakui seriusnya situasi. Inilah yang dilakukan Hasan, dan hasilnya mengundang reaksi negatif publik.

Pergeseran Narasi dan Makna

Ketika kritik meluas, Hasan berusaha meluruskan pernyataannya. Ia mengklaim, idenya soal memasak kepala babi berasal dari unggahan Cica sendiri di akun sosial medianya. Dalam komunikasi politik, ini bisa dilihat sebagai strategi reframing, yakni mengubah konteks pernyataan meredam kontroversi. Namun, masalahnya, ini dilakukan setelah publik sudah terlanjur marah. Apalagi, sebagaimana disampaikan Wakil Pemimpin Redaksi Tempo, Bagja Hidayat di Metro TV, Cica sempat sangat terkejut dan menangis saat mengetahui isi bingkisan kepala babi. Bagja juga mengatakan, dalam beberapa waktu sebelumnya, akun Whatsapp Ibu Cica di Jawa Tengah, sempat mengalami penyadapan karena tiba-tiba akun tersebut merespon pesan dengan cara yang tidak semestinya.

Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana dinamika komunikasi politik di era digital semakin kompleks. Publik tidak hanya mengonsumsi informasi satu sumber, tetapi dari berbagai platform. Rekam jejak digital dari sebuah pernyataan sulit dihapus, sehingga upaya reframing sering kali tidak bisa dipandang sepele.

Kasus ini juga menyoroti hubungan pemerintah dengan pers. Jika sebuah ancaman kepada jurnalis terang-terangan hanya direspons candaan, apa yang bisa diharapkan dari perlindungan bagi kebebasan pers?

Dalam teori demokrasi deliberatif, media memiliki peran sebagai ruang publik (public sphere) di mana masyarakat bebas mendiskusikan kepentingan dan situasi yang dialaminya. Namun, jika jurnalis yang berusaha mengungkap kebenaran justru mendapat teror dan respons pejabat negara tidak serius, maka ruang publik ini menjadi terancam.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan, pernyataan Kepala Komunikasi Kepresidenan tidak sepantasnya disampaikan karena menormalisasi tindakan kriminal. Ninik juga mengatakan, dalam banyak peristiwa intimidasi yang dialami jurnalis dan media sering tidak sampai tuntas oleh penegak hukum. Insan pers justru kerap menjadi korban.

Pernyataan Hasan Nasbi, terlepas dari klarifikasinya, mencerminkan bagaimana pejabat negara gagal memahami bahwa kebebasan pers bukan konsepsi metafisik, melainkan pilar utama demokrasi. Jika pemerintah gagal menanggapi insiden dengan serius, maka preseden buruk akan terjadi, di mana ancaman terhadap jurnalis dianggap lelucon dengan dalih normalisasi.

Bukan Kesalahan Kata, Cerminan Kekuasaan

Lebih dari sekadar blunder komunikasi, respons Hasan Nasbi mencerminkan bagaimana sebagian pejabat negara masih melihat kebebasan pers sebagai sesuatu yang bisa dipermainkan. Dalam politik, kata-kata atau sebuah pernyataan bukan hanya yang diucapkan, tetapi memiliki konsekuensi yang meminta pembuktian.

Jika pemerintah ingin menunjukkan komitmen terhadap demokrasi dan kebebasan pers, maka harus ada langkah serius. Tidak cukup klarifikasi di media. Perlu investigasi serius kasus teror ini, memastikan perlindungan bagi jurnalis, dan yang terpenting, pejabat negara harus memahami bahwa dalam komunikasi politik, setiap kata memiliki dampak yang tidak bisa diabaikan. Hasan Nasbi bisa menentukan diksi tapi tidak bisa mengatur konsekuensi.

Seperti kata pepatah, “Kata-kata bisa lebih tajam dari sebilah pedang.” Dalam kasus ini, pernyataan Hasan Nasbi bisa jadi ancaman terhadap demokrasi itu sendiri.

Demokrasi yang sehat hanya akan bisa tumbuh di alam kebebasan dan keberanian melawan ancaman. Kita buktikan, apakah Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengambil langkah dengan memastikan usaha Kepolisian menyingkap pelaksana lapangan hingga aktor intelektual teror kepala babi?

(AN)