
Di sebuah kuliah, profesor yang mengajar menceritakan bagaimana para jenderal di tubuh TNI pasca reformasi ingin berbenah. Saat itu, ada upaya militer untuk berubah dengan menjadi tentara yang lebih humanis dan dekat dengan rakyat. Alasan inilah yang membuat mereka mau belajar dan berdiskusi dengan kampus.
Profesor tersebut menjadi salah satu pembicaranya.
Dalam kisahnya, terlihat bagaimana reformasi 1998 turut membentuk kesadaran baru dalam pikiran para jenderal. Sebelum reformasi, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, sekarang TNI) memiliki peran dwifungsi yang memungkinkan mereka bisa menempati posisi-posisi strategis di bidang sosial dan politik. Menteri, gubernur, bupati, dan banyak jabatan sipil lain diisi oleh tentara aktif.
Semangat reformasi ini disambut baik oleh banyak kalangan, termasuk TNI yang sepakat dengan meritokrasi.
Meritokrasi menyandarkan kepemimpinan pada kemampuan atau kapasitas seseorang. Sementara Orde Baru dikenal menerapkan politik ABS alias ‘asal bapak senang’ untuk merekrut orang-orang di lingkar kekuasaan.
Untuk memuluskan berbagai kebijakan, Orde Baru menguasai hampir sepenuhnya ruang parlemen. Militer bahkan memiliki faksinya sendiri. Sidang untuk melahirkan keputusan penting seringkali dihiasi dengan manutisasi. Hal ini direkam oleh penyanyi Iwan Fals melalui lirik ‘wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju’.
Reformasi ibarat jamu brotowali yang kaya khasiat, namun pahitnya tak tanggung-tanggung. Saat itu, semua pihak tampak legawa untuk meneguknya demi masa depan Indonesia yang sehat.
BJ Habibie mengawalinya dengan membuat kebijakan yang berkomitmen pada tuntutan reformasi, di antaranya mengenai kebebasan pers, kebebasan berpendapat di muka umum, dan pembebasan tahanan politik.
Estafet kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh Gus Dur.
Di era Gus Dur inilah suara sipil diperkuat, salah satunya dengan membatasi kewenangan tentara. Pada masa itu faksi ABRI dalam parlemen ditiadakan. ABRI bahkan dipisah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang fokus pada aspek pertahanan dan Polisi Republik Indonesia (Polri) yang mengurus urusan keamanan sipil. Keduanya menjadi lembaga yang terpisah.
Lebih dari itu, Gus Dur juga menghapus dwifungsi ABRI yang berimplikasi pada hilangnya peran sosial dan politik tentara.
Singkatnya, tentara kembali ke barak. Penunjukkan Widodo AS yang berasal dari Angkatan Laut sebagai Panglima TNI juga merupakan sebuah pernyataan dari Gus Dur bahwa semua marta dalam tubuh TNI sama-sama memiliki kesempatan untuk menjadi panglima, tidak hanya dari Angkatan Darat.
Deabsolutisasi kekuasaan
Mengapa harus supremasi sipil?
Pertama, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mensyaratkan pentingnya pengawasan yang hanya mungkin terjadi apabila peran sipil dan militer dipisah secara tegas. Militer merupakan elemen yang diberi kewenangan untuk membawa dan menggunakan senjata. Tanpa pengawasan dan batasan kekuasaan, militer rawan melakukan berbagai tindakan represif dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kedua, tentara dibentuk untuk tugas-tugas pertahanan dan perang yang membuat watak tentara sangat sentralistik. Sementara demokrasi merupakan sistem yang membuka ruang inklusivitas dan memungkinkan terjadinya retakan-retakan dialektis.
Ketiga, kekuasaan absolut hanya melahirkan rezim yang korup. Kita pernah mempunyai pengalaman dipimpin secara militeristik selama tiga dekade lebih.
Di periode itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur yang membuat tentara menjadi kekuatan super tanpa kontrol.
Kekuasaan yang mapan dan ugal-ugalan inilah yang didekonstruksi oleh Gus Dur. Sepanjang sejarah, ada banyak tokoh yang terobsesi pada kekuasaan kemudian berubah menjadi tiran.
Setiap rezim yang tiran selalu melindungi kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan mengorbankan atau mengebiri kepentingan masyarakat luas. Oleh karenanya, sistem demokrasi yang baik harus memastikan adanya pembatasan-pembatasan pada kekuasaan. Tampaknya, Gus Dur megamini apa yang pernah Lord Acton (1887) ucapkan, bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.
Kembali ke kisah di awal tulisan ini, apakah para jenderal yang dulu berada di sisi ‘baik’ sejarah masih tetap mengonsumsi jamu bernama reformasi itu?
Jawaban sederhananya bisa dilihat dari bagaimana posisi TNI dalam berbagai peristiwa sosial dan politik aktual. Yang jelas, saat ini ada upaya membangkitkan dwifungsi ABRI melalui rencana revisi UU TNI.
Jika sampai revisi itu disahkan dan militer bisa masuk ke ranah sipil, maka selamat datang era post-reformasi. #ReformasiDikorupsi bukan lagi sebuah peringatan, namun sudah hadir tepat di depan kita semua.