“Ke depan, KPK perlu diperkuat, anggaran perlu ditambah, perkiraan saya kurang-lebih 10 kali” (Calon Presiden Joko Widodo, 26 Juni 2019).
Gambar kedua adalah wajah Jokowi dengan tampang wajah seperti orang bingung. Ada sesuatu yang mengganjal tergambar dari wajah presiden. Kutipan surat yang ditandatangani presiden disertakan.
https://twitter.com/arifz_tempo/status/1171958277132804096
Sialnya masyarakat sipil berada di struktur paling bawah dalam sebuah relasi kuasa. Para dewan yang semestinya mendengar aspirasi rakyat ternyata memili
“Kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut (RUU KPK).” (Surat Presiden Joko Widodo, 11 September 2019).
Apa yang disampaikan di halaman depan Koran Tempo tentu bukan sekedar gertak sambal. Sindiran salah satu harian terkemuka itu tentu memiliki maksud. Maksud yang menjadi warning para pegiat anti-korupsi. Saat ini tantangannya begitu mengerikan. Bukan lagi cicak versus buaya. Saat ini bisa jadi cicak versus raptor!
Terdengar cukup berlebihan menggunakan perumpamaan raptor, salah satu binatang purba paling ganas. Tetapi begitulah keadaannya. Cicak vs buaya tiga jilid yang lalu masih bisa dimenangkan oleh cicak. Namun di edisi keempat ini? Buaya tampaknya sudah mampu beradaptasi. Mereka berevolusi menjadi makhluk mengerikan yang siap menerkam lawan-lawannya.
Pegiat anti-korupsi tentu ingat bagaimana mengerikannya serangan terhadap institusi KPK saat mengulik kasus besar yang menyeret nama jendral. Ada tiga fase yang semuanya diiringi kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK pada tahun 2009, 2012, dan tahun 2015. Ketiga kasus tersebut bisa diatasi karena suara dukungan publik masih menjadi kekuatan KPK tetap bertahan. Lalu bagaimana dengan tahun 2019?
Pelemahan terhadap KPK tercium begitu kuat. Dimulai dengan bermasalahnya calon pimpinan, adanya revisi kilat UU KPK, adanya penggiringan opini seolah-olah KPK dikuasai kaum radikal, hingga sikap ‘bodo amat’ seorang presiden Joko Widodo membuat publik mulai menyadari lembaga ini digoyang.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil survei terkait lembaga paling dipercaya publik pada akhir agustus 2019 lalu. Hasilnya, KPK menjadi lembaga paling dipercaya dengan tingkat kepercayaan 84 persen. Di urutan kedua ditempati oleh presiden dan polisi dengan 79 persen. Di posisi paling bawah adalah partai politik (51 persen) dan DPR (61 persen).
Baca juga: Taliban oh Taliban, Ngapain Kamu di KPK?
Sayangnya, KPK berada di posisi kurang menguntungkan. Bagaimana mungkin pimpinan lembaga yang paling dipercaya oleh publik kemudian dipilih oleh kelompok yang paling rendah mendapatkan kepercayaan? Undang-undang KPK bahkan mau direvisi. Padahal UU KPK tidak masuk program legislasi nasional tahun 2019. Mengapa tiba-tiba muncul? Sementara RUU PKS yang sudah bertahun-tahun mandeg tidak mendapatkan kepastian!
Beberapa orang berkilah bahwa revisi UU KPK adalah jalan untuk memperbaiki UU KPK. Namun jika ditelaah, rancangan perubahan itu justru sangat melemahkan KPK, utamanya terkait fungsi penyelidikan.
Di UU yang baru, tugas penyelidikan akan dijalankan oleh kepolisian. Berarti ada sekitar 20 Satgas dengan personel 300-an orang yang ada di Direktorat Penyelidikan harus berhenti melaksanakan tugasnya di seluruh Indonesia dengan alasan mereka bukan polisi. Padahal Satgas inilah yang kerap melakukan operasi tangkap tangan.
Pimpinan KPK mengatakan tidak ada urgensi revisi UU KPK. Pengamat menyatakan bahwa UU KPK tidak perlu direvisi. Masyarakat sipil menyatakan #TolakRevisiUUKPK. Tetapi mengapa Jokowi terburu-buru menandatangani permintaan DPR untuk merevisi?
Di sini kita bisa melihat bahwa presiden lebih mengutamakan kepentingan para elite partai dibanding suara masyarakat yang ingin KPK diperkuat. Alih-alih memperkuat sebagaimana janji kampanyenya, tindakan presiden justru mengancam pemberantasan korupsi.ki agenda sendiri. Terbukti semua fraksi setuju. Rakyat di bawah hanya bisa menonton. Hanya bisa berusaha mengetuk pintu hati.
Saya selalu terharu melihat bagaimana Bu Nyai Sinta Nuriyyah turun ke jalan untuk mengingatkan para pemilik kuasa agar tidak melemahkan KPK. Seorang Bu Nyai berusia 71 tahun berjuang untuk mendidik para politisi agar tidak merusak negara ini dengan membunuh pemberantasan korupsi. Ia turun gunung karena kecintaan, bukan sikap oportunis seperti anak-anaknya yang mempermainkan undang-undang.
Hal tersebut sekaligus menunjukkan sebuah semangat. Semangat memperjuangkan warisan Gus Dur. Semasa hidupnya, Gus Dur tidak mewariskan harta. Gus Dur hanya mewariskan nilai dan keteladanan. KPK adalah salah satu warisan Gus Dur karena di eranyalah embrio lembaga ini dirancang.
Semangat memberantas korupsi adalah semangat menciptakan kehidupan demokrasi yang lebih baik. Inilah mengapa keluarga dan pengikut Gus Dur begitu kencang menolak pelemahan KPK. Karena KPK adalah warisan perjuangan tokoh yang sangat dicintai.
Namun sejarah terus bergulir. Pada tanggal 6 September 2019 Jokowi mengaku belum membaca draft revisi UU KPK. Namun tanggal 11 September ia sudah menandatangani surat persetujuan pembahasan revisi UU KPK.
Akankah lembaga rancangan Gus Dur ini dibunuh oleh Jokowi? Kita masih menunggu dalam beberapa hari ke depan.
*Bisa juga dibaca di sini