Pada zaman dahulu ada seorang laki-laki memiliki hidung mancung dan sedikit bengkok ke bawah seperti paruh burung beo, janggutnya runcing seperti jangut kambing, sorbannya tebal seperti bantal, rompinya terbuat dari sutra mengkilap dan bersulamkan benang emas, dan sepatunya berujung lancip seperti haluan kapal.
Anda kenal siapakah lelaki ini? Dia tidak lain adalah Abu Nuwas al-Hasan Ibn Hani al-Hakami, yang di Indonesia lebih dikenal dengan Abu Nawas, sebagai tokoh lucu lahir di Ahwaz Persia (145 H/762 M. Meninggal 199 H/813 M.) terlahir dari seorang ibu Persia dan ayahnya dari Damsyik, seorang prajurit Suria.
Dalam cerita, Abu Nawas adalah seorang seniman yang pandai menggubah syair. Ia dikenal sebagai orang bijak yang suka memberi nasihat dan pandai menguraikan berbagai masalah yang pelik-pelik. Disamping itu ia juga pandai melucu, dan perbuatanya selalu kocak. Ada-ada saja akalnya untuk mempermainkan orang, namun tanpa mempunyai maksud jahat. Karena itu, ia sangat disukai oleh banyak orang, terlebih-lebih oleh Sultan Harun al-Rasyid.
Sejak berabad-abad, setidaknya berpuluh-puluh tahun sepanjang yang kita dengar dan kita baca dalam literatur Melayu dan Indonesia, nama Abu Nawas lebih dikenal sebagai tokoh yang lucu dan cerdik. Sehingga baru namanya saja disebut, orang sudah mau tertawa. Begitu juga bila terjadi suatu peristiwa yang tak masuk diakal, karena kebodohan atau karena kepintarannya, orang lalu mengaitkanya kepada Abu Nawas kadang dalam arti pujian, dan terkadang cemoohan.
Tokoh ini sebenarnya jelas sekali sejarahnya. Dalam literatur berbahasa Arab dan beberapa bahasa Barat, baik dalam penulisan sejarah sastra Arab atau biografi, orang itu dikenal hanya dengan satu sebutan sebagai penyair besar dengan gaya yang khas. Ensiklopedia Britanica menyebutkan Abu Nawas adalah penyair Arab terbesar pada masanya. Kadang timbul pertanyaan, dari mana datangnya predikat Abu Nawas yang pelawak itu? Bagaimanapun juga, entah dari mana datangnya, predikat yang salah ini timbul sekitar 5-6 abad yang lalu. Ada dugaan, mungkin berasal dari Turki, India dan Persia. Sedang ditempat asalnya, Irak, predikat sebagai pelawak tidak dikenal. Sebaliknya, dalam literatur Arab, tokoh legenda yang jenaka, cerdik dan sekaligus bodoh dikenal dengan nama Juha.
Sajak-sajaknya dalam kritik sastra digolongkan ke dalam sastra mujun. Dalam kamus-kamus bahasa Arab kata mujun pada umumnya diartikan jenaka/lawak, sedang dalam kamus besar seperti Lisan’l ‘Arab misalnya, kata ini berarti “serba tak acuh terhadap yang diperbuatnya”.
Selain mendapat julukan seperti diatas, ia juga dijuluki sebagai penyair Anggur (Khamr), bukan saja karena dia piawai dalam memerankan anggur dalam puisi-puisinya tetapi juga karena dia memang peminum berat. Namun belakangan Abu Nawas taubat. Berhenti minum dan berhenti berpuisi anggur. Bahkan kemudian dia memilih hidup zuhud.
Berbeda dengan Abu Nawas versi asli, di Indonesia sendiri ada tokoh cukup terkenal. Selain memiliki idealisme tinggi, ia terbiasa menyampaikan kritik-kritik tajam terhadap berbagai macam persoalan menyangkut persoalan umat berbangsa dan bernegara, seperti demokrasi, penegakan hukum dan keadilan, HAM, pemberantasan korupsi dll. Ada yang setuju dengan kritiknya, ada pula yang bersikap sebaliknya. Karena kritik-kritiknya yang tajam ia pernah ditetapkan sebagai target orang yang harus “dilenyapkan” oleh pemerintah Orde Baru pada waktu itu, namun berkat kepiawaianya ia selalu selamat sampai masa Orba pun berakhir.
Banyak yang mengakui bahwa sosok yang satu ini selain kreatif, cerdas, gigih dalam membela kepentingan rakyat, dan cerdik. Selalu mempunyai cara untuk melepaskan diri dari berbagai macam masalah, meskipun pernah menjadi salah satu target operasi rejim Orba. Tokoh yang satu ini tidak lain kalo bukan Gus Dur namanya. Mungkin karena banyaknya kemiripan dengan tokoh diatas, maka khalayak ramai sering mengidentikkan Gus Dur sebagai Abu Nawas-nya Indonesia.
Konon puisinya yang populer dan sering untuk puji-pujian dibanyak surau “Ilahi lastu lil Firdausi ahla …” masyarakat menyebutnya puji-pujian Abu Nawas, bahkan sering kita jumpai di beberapa daerah selalu dilantunkan setelah sholat Jum’at ditunaikan.
Sama halnya dengan Gus Dur, pada setiap kesempatan bahkan beberapa acara selalu melantunkan puji-pujian yang sama. “Ilahi lastu lil Firdausi ahla walaa aqwa ‘ala an-naari al-Jahiemi/ Fahab lie taubatan waghfir dzunuubie fainnaka Ghaafiru adz-dzambi al-‘azhiemi (Tuhanku, aku tidak pantas jadi penghuni surga Firdaus, tapi untuk dibakar neraka Jahim mana aku tahan/ maka terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku, Engkau-lah pengampun dosa besar).” (AN)
Wallahu a’lam.