Tanggal 4 agustus, tepat 77 tahun hari kelahiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Semasa hidup, beliau dikenal sebagai seorang kiyai, intelektual, budayawan, politisi sekaligus sufi, sesuatu yang begitu kompleks hadir dalam diri seorang manusia yang lahir dan tumbuh besar dalam kultur keagamaan pesantren dan sekian tahun hidup dalam tradisi dua kutub peradaban; Timur Tengah dan Eropa.
Perjalanan panjang Gus Dur dalam mengarungi samudera intelektualitas dengan bacaan yang begitu luas dan keragaman realitas yang dijumpainya, kiranya turut membentuk pemikiran dan cara pandangnya terhadap banyak hal yang kemudian ia perjuangkan.
Sepulang dari timur tengah dan eropa, Gus Dur mulai meniti jalan hidup untuk mengabdi pada agama dan bangsanya, terpilih sebagai ketua umum PBNU sejak tahun 1984 hingga 1999, membuatnya menjadi tokoh kunci utama dalam membawa organisasi para Ulama ini mengarungi perubahan di tengah rezim otoriter orde baru.
Aktif sebagai Ketua PBNU selama tiga periode tak membuat ruang gerak perjuangan Gus Dur menjadi terbatas hanya untuk kalangan nahdliyyin semata, ia justru semakin menunjukkan bahwa perjuangannya bukan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu saja, itu dibuktikan dengan pembelaannya terhadap orang-orang/kelompok dari berbagai latar agama dan golongan yang diperlakukan tidak adil, dilemahkan dan mengalami tindakan diskriminatif.
Spirit Pemberdayaan
Gus Dur harus diakui sebagai tokoh yang berkontribusi besar dalam gerakan sosial di Indonesia, ide-idenya tentang Islam, demokrasi, HAM dan civil society menjadi angin segar bagi diseminasi gagasan-gagasan perubahan sosial yang transformatif. Salah satu gagasan transformatif seorang Gus Dur adalah tentang pemberdayaan masyarakat dan pesantren. Sejak dekade 70-an hingga akhir 80-an, Gus Dur bersama sejumlah tokoh, mendirikan berbagai Ornop dan LSM nirlaba untuk mengimbangi arus pembangunanisme orde baru yang hegemonik dan bersifat top down, karena kerapkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi masyarakat di lapis bawah.
Diantara ornop/LSM yang mula-mula didirikan diantaranya Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), ketiganya bergerak pada upaya peningkatan kesadaran melalui gerakan intelektual dan usaha pemberdayaan berbasis pada community development. Dalam hal ekonomi, salah satu usaha Gus Dur adalah mendirikan Bank Penkreditan Rakyat Nusumma yang merupakan hasil kerjasama PBNU yang diketuai Gus Dur dengan Bank Summa milik Edward Soeryadjaya.
Gagasan pemberdayaan Gus Dur setidaknya terdiri atas tiga elemen penting: Pertama membangun kesadaran masyarakat melalui gerakan intelektual. Kedua meningkatkan modalitas sosial masyarakat melalui pengembangan sumberdaya manusia. Ketiga menciptakan usaha ekonomi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kecil. Ketiganya merupakan satu batang tubuh pemberdayaan yang utuh, sebagaimana sembilan nilai utama Gus Dur, yakni; ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan dan kearifan tradisi, yang kesemuanya saling berkelindan dan mengikat satu dengan yang lain. Jika diperas, kesemua nilai-nilai itu bermuara pada ikhtiar menciptakan kemaslahatan.
Kemaslahatan bagi rakyat banyak selain dapat diupayakan melalui tangan negara lewat kuasa pemimpin – sebagaimana Gus Dur memegang kaidah “tasharruful Imam ‘ala raiyyah manutun bil maslahah (Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan)”- juga sangat bisa diusahakan melalui gerakan pemberdayaan yang terstruktur, seperti yang telah Gus Dur teladankan dan tentu dengan sumbangsih berbagai pihak.
Warisan Gus Dur
Gagasan Gus Dur tentang pemberdayaan, menjadi satu poin penting yang butuh terus dikaji sebagai sumber inspirasi dalam melakukan gerakan pemberdayaan, khususnya pemberdayaan masyarakat dan pesantren. Agar gagasan-gagasan progresifnya terus tersemai menjadi kerja-kerja kongkrit-kolektif yang dapat dirasakan oleh rakyat banyak.
Gagasan dan gerakan pemberdayaan masyarakat dan pesantren merupakan satu hal yang imanen dalam diri Gus Dur, sebab Gus Dur adalah seorang intelektual yang tidak senang duduk di atas menara gading pengetahuan dengan sekelumit teori-teori, tetapi ia adalah sosok yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, membaur, mendengar curahan hati, merasakan denyut nadi kehidupan dan kebudayaan rakyat di negeri ini, serta turut mengerakkan perubahan sosial yang transformatif bagi bangsa Indonesia. Di samping itu, pengalaman hidup di pesantren, membuatnya mengalami betul asam-manis dan suka-duka menjadi seorang santri, olehnya, ia menaruh perhatian begitu jauh pada kehidupan dan masa depan pesantren.
Gus Dur memang tak lagi ada di tengah-tengah kondisi bangsa yang kian repot. Tetapi yang pasti, beliau senantiasa hidup sebagai spirit dalam diri banyak orang yang menyebut dirinya “GUSDURian”, spirit itu kian menjelma menjadi gerakan perjuangan yang hadir dimana-mana, dari gerakan intelektual yang mencerahkan, hingga gerakan sosial-pemberdayaan yang membebaskan. Itulah jalan hidup yang diwariskan presiden RI ke empat ini. Karena pada hakikatnya, Gus Dur tidak sama sekali pergi apalagi mati, ia hanya berpulang, kembali kepada Sang pemilik kehidupan.