Bagi sebagian orangtua, meyakini bahwa mendidik anak itu harus dengan cara yang disiplin dan ketat. Bahkan kadang keras. Sampai kadang tidak memuliakan si anak, dengan memberi perlakuan yang tidak menyenangkan.
Dalam konteks ini, KH. Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha mengedepankan pendapatnya, bahwa memanjakan anak – bahkan memuliakan anak – itu merupakan ajaran dari nabi-nabi terdahulu, dengan niat untuk menjaga nilai ketauhidan yang diajarkan orang tua kepada anak. Pendapat ini beliau sampaikan dalam sebuah video pengajiannya di channel Youtube Santri Gayeng.
Mengapa memuliakan anak menjadi penting? Jangan sampai karena orang tua terlampau keras, sehingga anak jadi kecewa dengan sistem Islam yang diterapkan keluarganya sendiri. Sebab anak adalah harapan orangtua untuk melanjutkan kalimat tauhid ke generasi dan keturunan selanjutnya di masa depan.
Gus Baha mengutip doa Nabi Zakaria ketika memohon kepada Allah supaya dikaruniai keturunan sebagaimana tertera di surat Maryam ayat 4:
وَاِنِّيْ خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَّرَاۤءِيْ وَكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا فَهَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّا ۙ يَّرِثُنِيْ وَيَرِثُ مِنْ اٰلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul, maka anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu, yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Yakub; dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridai.”
Ayat tersebut merupakan doa Nabi Zakaria yang meyakini bahwa anak merupakan pewaris kalimat tauhid dan ajaran Islam di masa mendatang. Lebih lanjut, Gus Baha menyebutkan bahwa amal saleh yang dilakukan anak sendiri jauh lebih memberi pahala bagi kita, dibandingkan amal saleh dari santri atau murid.
Menurut Gus Baha, “Santri itu orang lain, paling mereka hanya kirim fatihah. Atau ketika hati mereka gusar, baru mereka mencari kuburanmu. Itu juga kalau hati mereka sedang gusar. Kalau anak, baik dia niat mengirim fatihah untukmu atau tidak, selama dia beramal saleh maka otomatis pahalanya akan mengalir ke kamu.”
Sebagaimana kita tahu, bahwa amal yang tidak terputus setelah manusia meninggal itu ada tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan terakhir adalah anak saleh. Bagi Gus Baha, yang terakhir ini lah yang peluangnya paling besar untuk diterapkan.
“Untuk sedekah jariyah, kamu harus kaya. Ilmu yang bermanfaat, kamu harus pintar. Sementara kebanyakan kamu bukan keduanya. Yang lebih mudah ya anak saleh. Kebanyakan dari kamu pasti punya anak.” Tutur Gus Baha kepada jamaahnya.
Ulama asal Rembang ini melanjutkan, beliau akan terus mengingatkan bahwa orang tua juga harus menghormati dan memuliakan anak. Dalam artian, hubungan antara orang tua dan anak itu saling menghormati, sehingga hubungan antara orang tua dan anak itu senang dan nyaman di antara kedua belah pihak. Al-Quran sudah mengabadikan perihal memuliakan anak ini dalam surat Maryam ayat 12-13:
يٰيَحْيٰى خُذِ الْكِتٰبَ بِقُوَّةٍ ۗوَاٰتَيْنٰهُ الْحُكْمَ صَبِيًّاۙ وَّحَنَانًا مِّنْ لَّدُنَّا وَزَكٰوةً ۗوَكَانَ تَقِيًّا ۙ
”Wahai Yahya! Ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Dan Kami berikan hikmah kepadanya (Yahya) selagi dia masih kanak-kanak, dan (Kami jadikan) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dan dia pun seorang yang bertakwa,
Gus Baha menekankan redaksi kata hanan di ayat tersebut. Beliau menjelaskan bahwa arti kata hanan di sini adalah bermakna sifat aris, sifat senang dan menciptakan suasana nyaman. Maka seyogianya demikian pula hubungan antara orang tua dan anak.
“Jadi, di antara adabnya para nabi itu adalah memuliakan anak. Karena anak itu yang kelak lebih panjang waktunya untuk membawa kalimat tauhid.” Demikian penuturan Gus Baha.