Gus Baha memaparkan pandangan mengganti kurban hewan dengan uang, untuk menaikkan daya beli masyarakat. Dalam penjelasan Gus Baha, kurban uang bisa jadi ribet. Bagaimana bisa kita menyembelih uang?
Situasi pandemi Covid-19 tidak dipungkiri memberi dampak di segala sektor, termasuk ekonomi masyarakat. Pemutusan kerja dan turunnya daya beli masyarakat menjadikan pergerakan ekonomi menjadi lesu. Sehingga muncul wacana jika kurban hewan diganti dengan uang tunai.
Dalam sebuah seminar nasional online yang diselenggarakan oleh MUI Kota Salatiga pada 15 Juli 2020, terdapat sebuah pertanyaan yang menanggapi situasi tersebut: Bagaimana jika kurban hewan diganti dengan uang?
Pertanyaaan ini mengingat situasi di tengah pandemic Covid-19 yang menuntut meminimalisir interaksi dan kerumunan warga. Selain itu, konversi kurban ke bentuk uang tunai dianggap mampu meningkatkan produktivitas ekonomi, melalui meningkatkan daya beli masyarakat, terutama yang terdampak secara ekonomi oleh pandemi Covid-19.
Dalam kesempatan tersebut KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) memberi keterangan secara tegas, bahwa ibadah kurban tidak bisa diganti dengan uang. Jika ada yang memang ingin bersedekah senilai harga hewan kurban tetap dipersilakan. Namun, tidak perlu menyebutnya sebagai pengganti kurban.
“Di dalam mazhab kita, udlhiyah (kurban) itu kan tidak wajib. Jadi monggo (silakan) kalau mampu beli kambing atau sapi. Tapi jika ada orang yang ingin bersedekah dengan uang senilai kambing tiga juta, ya monggo, sedekah saja kepada fakir miskin.” Demikian penjelasan Gus Baha’ dalam video yang diunggah oleh Channel Youtube.
Gus Baha menuturkan bahwa di dalam al-Quran, terdapat redaksi kata perintah yang secara tegas menunjukkan aktivitas penyembelihan, dan kosakata spesifik tentang hewan kurban. Sehingga tidak bisa digantikan dengan uang.
“Karena kata udha, atau udhiyah itu bermakna menyembelih. Uang kan tidak bisa disembelih, nanti jadi ribet. Di dalam Quran, lafal wal-budna (unta) itu disebut secara jelas, maknanya unta. An’am (hewan ternak) juga disebut. Dan ada kata wanhar (dan sembelihlah). Itu ribet jika kita menafsirkan menyembelih uang.”
Ditambahkan oleh Gus Baha, bahwa perintah dalam agama itu memiliki urgensi dan skala prioritas yang berbeda-beda. Kurban dan sedekah menempati skala prioritas dan tujuan syiar yang berbeda. Sehingga tidak perlu memaksakan sebuah ibadah untuk menggantikan syiar ibadah yang lainnya.
“Kalau ada orang yang nuraninya ingin bersedekah dengan uang ya silakan, tapi tidak perlu mengistilahkan sebagai pengganti kurban.. Tapi tolong jangan katakan uang ini sebagai pengganti udhiyah. Itu nanti terlalu musyarri’, atau mengada-adakan syariat baru bahwa kurban boleh pakai uang.”
Lebih jauh lagi, Gus Baha menerangkan bahwa agama Islam pada dasarnya menyarankan skala prioritas, dan fiqih pun memberi kelongggaran. Gus Baha mengilustrasikan bahwa seandainya kita punya uang haji, sementara orangtua kita sedang sakit, maka disarankan uang haji tersebut digunakan untuk biaya berobat yang kebutuhannya lebih urgen dan seketika. Maka ukurannya adalah nilai maslahat dan kebaikannya. Sehingga tidak perlu menganggap bahwa ibadah satu sebagai pengganti yang lain.
“Agama kita kan menyarankan prioritas, maka tidak usah lah sebagai pengganti-pengganti. Sedekah itu kan luas, dan banyak macamnya. Sehingga tidak perlu disebutkan yang satu mengganti yang lainnya. Karena fungsinya beda-beda, dan syiarnya beda-beda. Kalau maslahatnya sedekah ya sedekah saja. Kalau hanya punya uang lima ratu ribu, kan lebih baik sedekah uang. Kalau kurban kambing kan uangnya tidak cukup..” Demikian pungkas Gus Baha disambut tawa para hadirin.