Perbedaan dalam menyikapi sesuatu adalah hal yang wajar terjadi. Hasil olah pikir, sudut pandang, kecenderungan membuat perbedaan itu semakin luas. Lantas, bagaimana sikap kita menyikapinya? Apakah kita boleh merasa paling benar dan mengklaim pihak lain salah?
Dalam hal ini, pandangan Gus Baha boleh jadi solusi. Perbedaan pandangan itu tetap bisa diakomodir asalkan dilandasi dengan ilmu. Gus Baha memberikan contoh tentang satu sisi kehidupan Nabi Muhammad SAW, yakni tentang khitan. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Apakah Nabi Muhammad SAW itu lahir sudah dalam keadaan terkhitan atau dikhitan oleh kakek tercintanya, Abdul Muthalib?
Pendapat yang menyebutkan bahwa Nabi sudah terkhitan ketika lahir di dunia adalah baik. Hal ini merupakan keistimewaan beliau dari segi dikhitan oleh (kekuasaan) Tuhan secara langsung.
Namun pendapat yang mengatakan Nabi dikhitan oleh kakeknya juga baik. Ini merupakan keistimewaan bagi diri Nabi karena ia dididik oleh orang yang shalih. FYI, Abdul Muthalib adalah orang yang masih menjalankan agama Nabi Ibrahim as. Perbedaan ini jika didasari dan dianalisis dengan ilmu pengetahuan maka akan sama-sama benar.
Dengan menggunakan kacamata ilmu pengetahuan, maka seseorang akan selalu obyektif dalam menyikapi setiap hal. Mereka yang memiliki obyektifitas tinggi, akan mudah diajak berpikir.
Di satu sisi, ia akan mudah diajak dan dipengaruhi. Namun di sisi yang berbeda, untuk mengajak/mempengaruhi mereka harus dengan ilmu juga. Tentu ini bukan pekerjaan sederhana.
Jika pada akhirnya kedua belah pihak (yang mengajak dan diajak) sama-sama tidak sependapat dan keukeuh pada pendapatnya, maka semua pasti bisa memakluminya. Dikatakan demikian karena semua bil ‘ilmi (dilandasi dengan ilmu), bukan emosi. Karenanya, semua akan bisa legowo.
Kembali ke ilmu dan obyektifitas.
Obyektivitas inilah yang menjadi alasan M. Quraish Shihab menerima penafsiran orang-orang non-Muslim terhadap Al-Qur’an. Sebagaimana diketahui, ada lima belas syarat yang harus dipenuhi manakala seseorang hendak menafsirkan Al-Qur’an. Satu di antaranya adalah Shihat al-‘Aqidah (lurusnya akidah, yang salah satu turunannya “beragama Islam”). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh al-Suyuti dalam al-Itqan fii ‘Ulum al-Qur’an.
Dalam buku Kaidah Tafsir, M. Quraish Shihab memberi beberapa catatan tentang beberapa catatan tentang syarat-syarat yang terlampaui sulit—untuk tidak mengatakan mustahil—dikuasai itu, tak terkecuali dengan syarat lurusnya akidah tersebut.
Quraish Shihab secara tegas menawarkan solusi untuk merevisi atau memaknainya dengan cara yang berbeda terhadap frasa itu, yakni diganti dengan bahasa “obyketifitas”. Ia menyatakan penafsiran non-Muslim bisa diterima jika memenuhi syarat minimal, yaitu pengetahuan bahasa Arab dan memiliki obyektifitas.
Apa yang diuraian pakar tafsir Indonesia iki menyadarkan kita bahwa kebenaran adalah tetap kebenaran meski datang dari orang non-Muslim. Kita memang berbeda dengan mereka dalam hal keyakinan, namun informasi kebenaran dari mereka harus tetap diterima. Bila kita menolak atau keberatan dengan data/kebenaran yang ia sampaikan, maka harus ditolak dengan ilmu.
Contoh lain yang sering bersinggungan dengan kita adalah cara beribadah yang berbeda karena perbedaan mazhab yang dianut. Katakanlah, dalam satu kasus: qunut. Ada mazhab yang menganggap qunut sunah dan ada yang tidak. Perbedaan-perbedaan itu bisa diterima dan dimaklumi asalkan sama-sama bersikap ilmiah dan obyektif.
Walhasil, perbedaan akan menjadi sangat indah dan menyenangkan ketika disikapi, dilihat, dan atau dianalisis dari sudut pandang keilmuan. Lain halnya jika yang menjadi pedoman adalah kepala batu/emosi. Perbedaan yang demikian akan tetap dan terus menjadi perbedaan. Yang pada akhirnya, tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan perpecahan. Na’udzubillah.
Sumber:
Al-Suyuti, Jalaluddin. al-Itqan fi Ulum al-Qur’an. Mesir: al-Haiah al-Mishriyah, 1974.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2019.