Dalam salah satu pengajiannya, KH. Baha’uddin Nur Salim, atau yang biasa dipanggil Gus Baha’, bercerita tentang sebuah forum diskusi di sebuah pondok pesantren, di mana dia menjadi narasumbernya. Tema diskusi itu adalah “Menguak Ayat-ayat Qital”.
Ayat-ayat qital merujuk pada ayat-ayat di dalam Alquran yang berisi tentang peperangan fisik. Qital sendiri adalah istilah Arab yang artinya perang. Misalnya, yang banyak dianggap sebagai ayat qital adalah ayat 190-193 surah al-Baqarah (2):
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ . وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ . فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ . وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu.
Jika mereka memerangi kalian (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Jadi, jelas bahwa di dalam Alquran ada ayat-ayat yang membicarakan perang, bahkan memerintahkan untuk melakukan peperangan. Bagi seorang Muslim, tidak mungkin mengingkari adanya ayat-ayat ini. Karena itu, tidak heran jika sang moderator dalam forum sebagaimana yang diceritakan Gus Baha’ tersebut melontarkan sebuah pernyataan menggelitik tentang dilema yang mungkin dihadapi oleh seorang Muslim saat ini jika hendak menjalankan perintah ayat-ayat tersebut.
Pernyataannya kurang lebih sebagai berikut: “Gus, kalau kita ndak perang, kesannya kita jadi pecundang; Kalau kita perang, kita ditangkap Pak Jokowi.” Tentu saja Pak Jokowi di sini adalah representatif umum dari kekuatan negara.
Bisa jadi, ini adalah dilema yang menghinggapi banyak Muslim. Masalah ini tidak bisa dihindari terutama di tengah situasi di mana seruan jihad (dalam arti perang) diobral seperti ‘kacang goreng’. Setiap pebedaan pendapat selalu dipahami seperti peperangan antara kebenaran melawan kebatilan, antara pasukan Tuhan melawan pasukan setan. Pengkritik selalu bergaya seperti Jibril pembawa wahyu yang pasti benarnya sehingga objek kritik diperlakukan seperti setan yang harus dihancurkan.
Menghadapi pertanyaan-pertanyaan pelik seperti ini, Gus Baha’ memberi jawaban yang sangat cerdas. Menurutnya, seruan perang zaman sekarang tidak sama dengan seruan perang pada zaman Nabi. Perang di era Nabi tidak memerlukan klarifikasi mana yang benar dan mana yang yang salah. Rumusnya jelas, kubu Nabi adalah benar, kubu lawan Nabi adalah salah. Perang membela Nabi adalah jihad dan mati untuknya adalah syahid.
Seruan perang zaman sekarang tidak bisa disamakan seperti seruan perang zaman Nabi Muhammad; yang kita hadapi sekarang adalah sesama Muslim. Lalu, siapa yang menjamin bahwa kubu kita pasti benar dan musuh kita pasti salah? siapa pula yang dapat menggaransi bahwa musuh yang kita hadapi adalah taghut sehingga perang yang kita lakukan adalah jihad, di mana yang mati berstatus sebagai syahid?
Lebih lanjut, Gus Baha’ mengatakan bahwa musuh kita belum pasti salah dan kita belum pasti benar. Semua kelompok yang berkonflik sama-sama bersyahadat, meneriakkan Allah Akbar. Lalu, bagaimana mungkin kita sebegitu pede menyerukan jihad (perang) melawan kelompok yang kita anggap sebagai musuh. Jika kita membunuh mereka, status kita adalah pembunuh seorang Mukmin, dan kalau kita mati belum tentu status kita syahid.
Karena itu, mestinya kita menghadapi perselisihan yang ada saat ini dengan sikap wajar-wajar saja. Tanpa harus ke-pede-an mencari referensi pada ayat-ayat qital seakan kita berada dalam posisi benar mutlak seperti Nabi Muhammad. Seakan pimpinan yang kita bela berstatus sebagai Nabi yang pasti tergaransi kebenarannya.
Bahkan, jika kita membela pimpinan kita yang seorang ulama pun tetap tidak ada jaminan bahwa kita sepenuhnya berada dalam posisi benar seperti kebenaran sang Nabi melawan para musuhnya.
Kecerdasan dan kesantunan dalam melihat konflik ini sebetulnya telah dicontohkan oleh para imam mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika menghadapi perbedaan pendapat. Kesantunan itu tercermin dalam jargon: Mazhabuna showab yahtamilu khotho’, mazhabuka khoto’ yahtamilu showab (pemikiranku benar tapi mengandung kemungkinan salah, pemikiran kalian salah tapi mengandung kemungkinan benar).
Sikap ini juga yang membuat para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak membuat judgment benar-salah atas peperangan antara Ali bin Abi Thalib melawan Mu’awiyah.
Jadi jika saat ini ada yang memprovokasi kalian untuk melakukan jihad membela seseorang (sekalipun bergelar ulama) melawan kelompok rivalnya sesama Muslim, ingatlah bahwa ini sama sekali berbeda konteksnya dengan perang di zaman kanjeng Nabi.
*Selengkapnya, bisa klik di sini