Gus Baha: Ajarkanlah Keikhlasan dengan Humor dan Tawa, Bukan dengan Kemarahan

Gus Baha: Ajarkanlah Keikhlasan dengan Humor dan Tawa, Bukan dengan Kemarahan

Gus Baha: Ajarkanlah Keikhlasan dengan Humor dan Tawa, Bukan dengan Kemarahan

Selain terkenal dengan kealimannya, Gus Baha’ juga masyhur sebagai kiai yang selalu ceria dalam menyampaikan pelajaran kepada pada jamaah. Gus Baha selalu menyampaikan agama dengan humor. Kiai dengan muhibbin (pecinta/penggemar) yang tersebar seantero Nusantara ini kerap menyisipkan guyonan-guyonan (komedi) ringan dalam pengajiannya, khas kiai pesantren, khususnya dalam materi tentang keikhlasan.

Apa yang dilakukan beliau memang memiliki pedoman yang jelas, yakni berpegang pada wejangan yang disampaikan ayah beliau; K.H. Nursalim Rembang, agar kajiannya dapat menjadi solusi atas permasalahan umat, bukan justru menambah beban kehidupan mereka.

Baca juga:  Gus Baha: Lawanlah Kemarahan dengan Ceria

Lebih lanjut beliau menguraikan bahwa orang yang datang ke majelis ilmu itu belum tentu semuanya dalam keadaan hati yang tenteram. Ada kalanya mereka sedang memendam kesusahan, kesedihan, dan lain sebagainya. Meminjam bahasa Gus Baha; “Wong sing ngaji iku yo ono sing kakehan utang, ono sing diamuk bojone, terus milih ngaji.” (Orang yang mengaji itu juga ada yang punya banyak utang, ada yang dimarahi istrinya, kemudian memilih mengaji).

Nah, orang-orang yang termasuk dalam golongan tersebut bisa jadi lebih membutuhkan saran yang setidaknya bisa sejenak membuat tenang hidupnya. Bukan malah mendapatkan saran yang semakin membuat hidupnya tertekan. Harapan selanjutnya ialah mereka bisa merasakan nikmatnya mengaji, merasakan nikmatnya mempelajari ilmu-ilmu Allah SWT, serta menjadikan mengaji dan mempelajari ilmu-ilmu Allah sebagai jalan ketenangan dalam menjalani kehidupan.

Tetapi siapa sangka, ternyata guyon–menurut Gus Baha–dapat dijadikan sebagai formula untuk merangsang keikhlasan seseorang dalam beramal. Untuk mendukung argumentasi tersebut, beliau menyebutkan makalah Said bin Abdurrahman az-Zubaidi, sebagaimana yang dikutip Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin.

عَنْ حَكَّامِ بْنِ سَلْمٍ ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الزُّبَيْدِيَّ ، يَقُولُ: “يُعْجِبُنِيْ مِنَ القُرَّاءِ كُلُّ طَلِقٍ مِضْحَاكٍ، فَأَمَّا الَّذِي تَلْقَاهُ بِبَشَرٍ وَيَلْقَاكَ بِعَبُوْسٍ يَمُنُّ عَلَيْكَ بِعَمَلِهِ، فَلَا أَكْثَرَ اللّٰهُ فِي القُرَّاءِ ضَرْبَ هَذَا”

Dari Hakkam bin Salm, ia berkata: Saya mendengar Sa’id bin ‘Abd ar-Rahman az-Zubaidi, ia berkata: “Saya kagum kepada pada ahli qira’ah yang santai, ceria, dan banyak tertawa. Adapun orang yang ketika dijumpai engkau berbahagia, sedangkan ia cemberut ketika bertemu denganmu, serta mengungkit-ungkit amal yang dilakukannya atasmu, maka semoga semoga Allah tidak memperbanyak para ahli qiraah dari semacam ini.”

Berdasarkan makalah di atas, Gus Baha memberikan penjelasan bahwa sebagian dari tanda-tanda keikhlasan seseorang dalam beramal ialah santai dan ceria dalam bersikap. Dengan menampakkan kebahagiaan dan keceriaannya, selain orang lain yang memandangnya akan merasa bahagia, dirinya sendiri pun akan merasa lebih nyaman karena tidak terbebani keinginan mendapatkan balasan.

Lalu, bagaimana bisa tawa dan humor dijadikan sebagai formula untuk merangsang keikhlasan? Gus Baha menambahkan bahwa poin penting untuk mencapai derajat keikhlasan ialah dengan lupa. Yakni lupa akan jasa-jasanya, bahwa seseorang itu telah berbuat baik kepada orang lain. Adapun cara yang bisa ditempuh untuk membuatnya lupa akan jasa-jasanya ialah dengan guyon.

Baca juga: Kisah Gus Baha’ Tentang Istri yang Marah dan Pemberi kebaikan

Oleh karenanya, Az-Zubaidi secara tegas menyatakan bahwa ia begitu kagum kepada orang-orang yang bisa menampakkan keceriaan ketika mengajarkan ilmu Allah. Sebaliknya, beliau tak mengharapkan semakin banyak orang yang bermuka masam di hadapan orang lain hanya karena merasa telah berjasa atas orang lain, padahal orang lain yang menjumpainya sangat bahagia.

Untuk mengingatkan para jamaah supaya belajar ikhlas dalam beramal, sembari tertawa Gus Baha berkata, “Aku sing ngajar Ihya’ wae ikhlas kok, mosok kwe sing ngajarke alif, ba’, ta’ wae ora gelem ikhlas. Coba piro wae kitab tafsir akhire sing iso ndek pelajari.” (Saya yang mengajar Ihya’ Ulumiddin saja bisa ikhlas, kalian yang mengajarkan huruf hijaiyah saja tidak mau ikhlas. Coba berapa saja kitab tafsir yang akhirnya bisa kalian pelajari). Ungkapan Gus Baha itu pun akhirnya mengundang gelak tawa para muhibbin beliau. (AN)